Ketika Kaisar Heraclius Bertanya tentang Nabi Muhammad ﷺ
Oleh: Abdan Syakura
Keagungan Nabi Muhammad ﷺ sudah sejak lama diketahui orang-orang, bahkan sebelum beliau diangkat sebagai Nabi dan Rasul. Gelar ‘Al-Amin’ atau ‘orang yang dapat dipercaya’ menjadi bukti tentang keagungan yang disematkan kepadanya karena sifat terpujinya tersebut.
Kekaguman terhadap Nabi Muhammad ﷺ bukan hanya karena mukjizat, melainkan juga sifat terpuji yang dimilikinya.
Syekh Safiyyurahman Mubarakfuri dalam buku ‘Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad ﷺ’ yang ditulisnya menceritakan banyak kisah sebagai bukti agungnya sosok Muhammad ﷺ.
Salah satunya adalah sebuah kisah ketika Kaisar Heraclius bertanya kepada Abu Sufyan tentang sosok Nabi Muhammad ﷺ. Abu Sufyan yang saat itu belum masuk Islam, diminta menghadap Raja Romawi tersebut bersama rombongan orang-orang Quraisy.
Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari meriwayatkan kisah ini dari Ibnu Abbas, bahwa Abu Sufyan (setelah masuk Islam) pernah bercerita kepadanya.
Ketika itu mereka sedang melakukan perdagangan Negeri Syam, dan saat Nabi Muhammad masih memberi kelonggaran kepada Abu Sofyan dan kaumnya. Mereka menemuinya ketika berada di Iliya. Raja Romawi Heraclius mengundang mereka ke majelisnya dengan didampingi pembesar Romawi lainnya. Lalu ia memanggil juru bahasanya dan bertanya.
Raja Romawi: “Siapa di antara kalian yang paling dekat nasabnya dengan orang yang mengaku Nabi itu?”
Abu Sufyan: “Aku yang paling dekat nasabnya di antara mereka.”
Raja Romawi kemudian berkata, dekatkan dia dariku, juga sahabat-sahabatnya, dan berdirikan mereka di belakangnya.” Kemudian, dia berkata kepada juru bahasanya, “Aku akan menanyakan orang ini tentang yang mengaku Nabi itu. Jika ia membohongiku, dustakanlah orang ini oleh kalian. “Abu Sufyan berkata, “Demi Allah, kalaulah tidak karena takut menanggung malu jika ketahuan bohong, pasti aku berdusta tentang Nabi.”
Raja Romawi: “Pertanyaanku yang pertama, tentangnya adalah, Bagaimanakah nasab keturunannya menurut kalian?”
Abu Sofyan: “Dalam masyarakat kami, dia memiliki nasab yang baik.”
Raja Romawi: “Apakah salah seorang di antara kalian ada yang pernah mengaku sebagai nabi sebelumnya?”
Abu Sufyan: “Tidak.”
Raja Romawi: “Apakah ada di antara kakek-kakeknya yang menjadi raja?”
Abu Sufyan: “Tidak.”
Raja Romawi: “Ia diikuti pemuka-pemuka masyarakat atau orang-orang lemah?”
Abu Sufyan: “Diikuti orang lemah.”
Raja Romawi: “Mereka semakin bertambah atau berkurang?”
Abu Sufyan: “Semakin bertambah.”
Raja Romawi: “Apakah ada seorang di antara mereka yang murtad karena benci kepada agamanya setelah ia memeluknya?”
Abu Sufyan: “Tidak.”
Raja Romawi: “Pernahkan kalian menyangkanya berbohong sebelum dia mengaku Nabi?”
Abu Sufyan: “Belum.”
Raja Romawi: “Pernahkah dia berkhianat?”
Abu Sufyan: “Belum pernah walau sekalipun, setidaknya untuk saat ini, kami tidak tahu apa yang ia perbuat.”
Raja Romawi: “Tidak bisa aku memeriksanya lebih jauh lagi kecuali dengan pertanyaan itu tadi. Apakah kalian memeranginya?”
Abu Sufyan: “Ya.”
Raja Romawi: “Bagaimana peperangan antara kalian dengannya?”
Abu Sufyan: “Peperangan antara kami seimbang, kadang dia yang menang, kadang kami juga yang menang.”
Raja Romawi: “Apa yang dia perintahkan kepada kalian?”
Abu Sufyan: “Sembahlah Allah semata, janganlah kalian mempersekutukanNya dengan sesuatu pun, tinggalkan apa yang dikatakan oleh leluhur kalian. Ia memerintah kami melakukan shalat, berkata jujur, menjaga kehormatan, dan menyambung silaturahim.”
Kemudian, kepada penerjemahnya, Raja Romawi berkata, “Katakan kepadanya, aku tanyakan kepadamu tentang nasab keturunannya, lalu kau sebutkan bahwa ia mempunyai nasab yang jelas, begitulah memang para rasul diutus (dari keluarga) yang mempunyai nasab luhur di antara kaumnya.”
“Aku tanyakan padamu apakah ada seorang dari kalian yang menyerukan kepada hal ini sebelumnya, kamu jawab belum pernah, kataku, “Bila ada orang yang pernah menyeru kepada hal ini sebelumnya, niscaya aku berkata, ia cuma mengikuti perkataan yang pernah diucapkan sebelumnya.”
“Aku tanyakan apakah kakek-kakeknya ada yang pernah menjadi raja, kau jawab tidak ada. Kataku,”Bila ada di antara kakek-kakeknya yang pernah menjadi raja, pasti aku katakan, ia hanya ingin mengembalikan kekuasaan leluhurnya.”
“Aku tanyakan, apakah kalian pernah menuduhnya berdusta sebelum ia mengaku Nabi, kau jawab belum pernah. Aku tahu, tidakah mungkin ia meninggalkan perkataan dusta kepada manusia kemudian dia berani berbohong kepada Allah.”
“Aku tanyakan, pemuka-pemuka masyarakat yang menjadi pengikutnya ataukah orang-orang lemah di antara mereka, kau jawab orang lemah yang menjadi pengikutnya. Aku tahu, memang orang-orang lemahlah pengikut para Rasul.”
“Aku tanyakan, apakah mereka bertambah atau berkurang, kau jawab mereka selalu bertambah. Begitulah halnya perkara Iman sampai ia sempurna.”
“Aku tanyakan, apakah ada orang yang murtad karena benci agamanya setelah ia memeluknya, kau jawab tidak ada. Begitulah halnya perkara iman ketika telah bercampur pesonanya dengan hati.”
“Aku tanyakan, apakah ia pernah berkhianat, kau jawab belum pernah. Begitulah para Rasul, tidak pernah berkhianat.”
“Aku tanyakan, apa yang ia perintahkan, kau jawab bahwa ia memerintahkan agar kalian menyembah Allah, tidak mempersekutukanNya dengan sesuatu pun, melarang kalian menyembah berhala, memerintah kalian shalat, berkata benar, dan menjaga kehormatan.”
“Jika yang telah kau katakan adalah benar, maka ia akan dapat memiliki tempat kedua kakiku berdiri ini. Aku tahu bahwa ia akan diutus. Aku tidak menyangka ternyata dia dari bangsa kalian. Jika saja aku dapat memastikan bahwa aku akan bertemu dengannya, niscaya aku memilih bertemu dengannya. Jika aku ada di sisinya, pasti aku cuci kedua kakinya (Sebagai bentuk penghormatan).”
Kemudian, Raja Heraclius meminta diambilkan surat dari Nabi Muhammad lalu dibacanya. Setelah selesai dari membaca surat, ramailah suara-suara di sampingnya dan semakin gaduh. Abu Sufyan pun diperintahkan untuk keluar.
Abu Sufyan kemudian berkata, “Aku katakan kepada sahabat-sahabatku ketika kami keluar, Sungguh masalah anak Abi Kabsyah (Muhammad) ini semakin runyam, sungguh ia ditakuti raja orang kulit kuning. Maka aku senantiasa selalu meyakini perkara Rasulullah bahwa ia akan meraih kejayaan hingga akhirnya Allah memasukanku ke dalam agama Islam.”
Inilah yang dilihat Abu Sufyan dari pengaruh surat Nabi Muhammad kepada Raja Romawi. Di antara kesan surat itu adalah, dia menghadiahi hadiah berupa uang dan pakaian kepada Dihyah bin Khalifah bin al-Kalbi, pembawa surat Nabi itu.
Ketertarikan Kaisar Heraclius pada kepribadian Nabi Muhammad ﷺ sesungguhnya mewakili keingintahuan banyak orang. Umumnya, mereka yang tertarik untuk mengetahuinya adalah orang-orang yang memiliki pikiran cerdas dan terbuka untuk menerima kebaikan-kebaikan.
Mereka inilah orang-orang yang tak lelah untuk mencari dan mendapatkan cahaya kebenaran. Bukan orang-orang yang bertahan dengan sifat egoisnya karena merasa benar dan melihat orang lain berada di jalur yang salah.
Sungguh beruntunglah orang-orang yang senang menapaki kisah-kisah Rasulullah ﷺ, karena sejatinya, mereka tengah dibimbing Allah Ta’ala untuk meraih cahaya kebenaran. (Fath)
Sumber: Muslim Obsession.