RATA-RATA, orang-orang PDIP hanya berkomentar normatif tentang pembunuhan 6 anggota FPI dan tentang pembubaran FPI. Tidak ada kritik terhadap pemerintah maupun Polri. Kritik manis saja pun tidak ada, apalagi kritik pedas.
Anggota DPR dari PDIP, I Wayan Sudiarta, malah memuji tindakan polisi. Dia mengatakan, langkah melindungi diri oleh Polisi dengan menembak 6 pemuda FPI, sudah benar. Meskipun dia meminta agar pembunuhan itu diusut lebih dalam, tapi Sudiarta cenderung senang dengan tindakan Polisi menembak mati anggota FPI tsb.
Kolega Sudiarta, yaitu Arteria Dahlan, juga ikut setuju ‘tindakan tegas’ terhadap FPI dan Habib Rizieq Syihab (HRS). Arteria mengatakan, ada kesan HRS tidak patuh hukum. Pada 11/12/2020, Arteria mengatakan HRS pantas menjadi tersangka pidana kerumunan Covid. Namun, pada 11/01/2029 politisi PDIP ini menyatakan ikut berduka terhadap kematian 6 anggota FPI. Hanya Tuhan yang tahu apakah itu benar dukacita atau ‘duka citra’.
Setelah itu, politisi PDIP lainnya yang juga ketua Komisi III DPR, Herman Herry, menyatakan dukungan terhadap tindakan pemerintah membubarkan FPI. Kemudian, puncak sikap PDIP keluar dari mulut Ketum Megawati Soekarnoputri. Bu Mega menyerahkan sepenuhnya masalah FPI kepada pemerintah.
Dari komentar Bu Mega ini dan dari berbagai komentar para politisi PDIP di atas, bisa disimpulkan bahwa Partai Banteng tidak begitu peduli ada atau tidak pelanggaran HAM berat maupun ringan terhadap anggota FPI. Mau ditembak atau dibunuh dengan sadis, PDIP tak ambil pusing. Ada atau tidak kriminalisasi terhadap para ulama, biarkan saja. Bukan urusan.
Mengapa PDIP bersikap seperti itu? Ringkas saja jawabannya. Karena mereka tampaknya ikut menikmati penindasan yang dilakukan oleh para penguasa sekarang ini. Khususnya sejak “petugas partai” mereka mengemudikan pemerintahan. Mereka senang bisa menjadi bagian dari penindasan itu.
Persis sama seperti pengalaman Golkar yang sangat menikmati penindasan yang dilakukan para penguasa Orde Baru, dulu. Waktu itu, Golkar menjadi pendukung setia sekaligus stempel penguasa. Dan yang ditindas pada masa itu termasuklah PDIP sendiri.
Hari ini, PDIP adalah pendukung setia penguasa. Sekaligus pendukung terkuat. Seharusnya Bu Megawati dan PDIP menentang kesewenangan. Mereka memiliki kuasa besar untuk mencegah itu. Dan mereka sudah merasakan sakitnya di bawah penindasan. Sangat antagonistik. Sudah mengalami dan paham betul penderitaan di bawah kekuasaan otoriter Orba, tapi PDIP seperti lupa semuanya.
Bahasa tubuh Bu Mega dan PDIP menunjukkan mereka tidak berkeberatan dengan cara sewenang-wenang yang dipraktikkan penguasa hari ini.
Sulit dipahami mengapa blok politik terkuat menjadi begitu. Wallahu a’lam. Bisa jadi sekarang ini orang-orang PDIP baru tahu betapa enaknya menjadi penindas. Seperti kenikmatan Golkar menindas rakyat di era Orba. Mereka bisa melakukan apa saja. Bisa mengatur semua yang diinginkan.
Sumber: Eramuslim