OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Rabu, 10 Februari 2021

Industri Kegaduhan di Negeri Para Buzzer

Industri Kegaduhan di Negeri Para Buzzer


10Berita – Maraknya buzzer dan munculnya istilah tersebut di publik, barangkali sejak hajatan pemilu di Indonesia bermodel one man one vote (satu orang satu suara) atau pemilihan langsung (pilsung) pada tahun 2004 yang diikuti 24 partai politik, 5 pasangan calon presiden/wapres dan berjalan dua putaran serta mengantar SBY-JK sebagai presiden dan wakil.

Memang belum ada penelitian sejak kapan buzzer diikutsertakan dalam politik. Namun jika menengok era sebelum pilpres pilsung, istilah buzzer hampir tidak ditemui. Boleh jadi dulu juga sudah ada, mungkin dengan nama lain, misalnya, atau dalam skala kecil. Tidak semarak-semasif seperti sekarang. Dan tak boleh dipungkiri, revolusi industri 4.0 yang berciri digitalisasi turut berperan meriuhkan fenomena tersebut.


Tujuan buzzer tak lain ialah mensupport habis-habisan si kandidat peserta pemilu yang didukungnya. Entah pilkades, pilkada dan khususnya pilpres. Tak bukan. Motifnya macam-macam. Ada faktor simpati terhadap kandidat karena program yang diusung masuk akal; visinya mewakili aspirasi rakyat serta selaras dengan kepentingannya; atau karena performance; atau sebab integritas moral; track record masa lalu dan seterusnya lantas timbul empati, kemudian turut mensukseskan bahkan berupaya memenangkan kandidat dengan harapan bila calonnya berkuasa, “mimpi”-nya bisa terealisir.

Ciri buzzer di atas biasanya cenderung logis, dialogis, rela berkorban dan punya militansi sepanjang si kandidat yang didukung timbul tenggelam bersama rakyat. Sebaliknya, mereka akan marah dan kecewa besar tatkala kandidat dipersepsikan telah “mengkhianati” perjuangan.

Sumber: Eramuslim