by M. Rizal Fadillah
Rezim ini seperti berlebihan, tetapi sebenarnya tidak. Namun patut menjadi bahan renungan, apakah rezim Jokowi memang sedang menzalimi umat Islam? Tentu saja harus berdasarkan indikasi-indukasi sosial politik yang sedang dirasakan oleh umat Islam. Meskipun demikian, wajar juga apabila tidak semua umat Islam dapat merasakannya. Aada lima indikasi yang mengarah.
Pertama, penangkapan dan penahanan terhadap Habib Rizieq Shihab (HRS) yang jelas-jelas dan nyata “dipaksakan dan dicari-cari” kesalahan. Ada segudang tuduhan yang dialamatkan kepada HRS. Apakah HRS adalah salah satu tokoh umat Islam? Jawabannya pasti iya. Bahkan HRS adalah tokoh umat Islam terdepan dalam mengkritik dan mengoreksi berbagai beijakan pemerintah yang merugikan rakyat.
Karena kebijakan pemerintah merugikan rakyat, maka otomatis juga merugikan Umat Islam. Itu pasti. Tidak perlu diperjelas lagi apa penyebabnya. Makanya penzoliman kepada HRS satu paket dengan pembubaran dan pelarangan Front Pembela Islam (FPI) yang tercatat telah berbuat banyak untuk kepentingan umat Islam. Sebelumnya HTI lebih dulu dibubarkan.
Kedua, pembunuhan terhadap enam anggota laskar FPI yang mengawal HRS dan keluarga di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek),dalam perjalanan dari sentul menuju karawang. Pembunuhan yang terkesan diproteksi oleh rezim yang berkuasa. Sehingga pengungkapan dan tindak lanjut kasus ini juga menjadi bertele-tele, tidak serius, dan penuh konspiratif.
Padahal berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah ditemukan adanya pelanggaran HAM. Untuk perkara yang sangat mudah saja, seperti siapa petugas kepolisian yang menembak keempat anggota laskar FPI, teryata sampai sekarang tak terungkap. Aneh juga. Kasus ini merupakan pelanggaran HAM berat terhadap bagian dari perjuangan keumatan.
Ketiga, penangkapan dan penahanan Zaim Saidi dengan tuduhan penggunaan mata uang selain rupiah dalam bertransaksi di Pasar Muamalah. Semangat Zaim adalah inovasi dalam berekonomi syari’ah. Tidak ada unsur penipuan (gharar), spekulasi (maisir), dan rente (riba). Upaya untuk berekonomi mendekati Nubuwah. Jika dinilai ada masalah dengan perundang-undangan, maka selayaknya dilakukan pendekatan persuasif terlebih dahulu. Klarifikasi dan edukasi.
Keempat, eksploitasi dana umat Islam, baik itu haji, zakat, maupun wakaf. Masyarakat muslim masih mempertanyakan penggunaan dana haji, zakat, dan terakhir wakaf uang yang dicanangkan Menkeu untuk digunakan sebagai sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur. Masyarakat Ekonomi Syari’ah berubah menjadi “lembaga politik” yang diisi personal yang tidak kompeten.
Kelima, tuduhan terorisme, radikalisme, dan ekstrimisme yang ditujukan kepada simbol yang ke Islam-Islaman. Pengaturan, baik melalui UU maupun Kepres serta kebijakan politik yang dialokasikan melalui berbagai Kementrian terarah kepada umat Islam. Pelumpuhan kekuatan keumatan dengan isu terorisme, radikalisme, ekstrimisme tersebut menjadi nyata adanya.
Sumber: Eramuslim