OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Sabtu, 20 Maret 2021

Eksepsi HRS: Dakwaan Tak Jelas, JPU Manipulasi Fakta

Eksepsi HRS: Dakwaan Tak Jelas, JPU Manipulasi Fakta



10Berita, Jakarta – Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah selesai membacakan dakwaannya kepada Habib Rizieq Rizieq Syihab (HRS). Penuntut Umum mendakwa HRS dengan lima dakwaan. Dakwaan tersebut adalah:

1. Pasal 160 KUHP juncto Pasal 93 Undang-undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, atau

2. Pasal 216 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, atau

3. Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, atau

4. Pasal 14 ayat (1) UU RI Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan

5. Pasal 82A ayat (1) juncto 59 ayat (3) huruf c dan d UU RI Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 10 huruf b KUHP juncto Pasal 35 ayat (1) KUHP.

Melalui dokumen eksepsi atau bantahan atas dakwaan, Anggota Tim Penasehat Hukum HRS, Munarman menegaskan bahwa terdapat kekeliruan konstruksi dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Misalnya dengan memasukkan UU Ormas dalam dakwaan.

“Padahal Ormas Front Pembela Islam sudah bubar. ibarat terdapat seorang tersangka atau terdakwa yang telah meninggal dunia untuk apa melanjutkan proses penyidikan, penuntutan, dan persidangannya?,” tuturnya kepada Kiblat.net, Jumat (19/03/2021).

Menurutnya, jika hanya ingin mendalilkan bahwa Front Pembela Islam yang memiliki catatan hitam dengan Imam Besarnya adalah Habib Rizieq, maka sudah sepatutnya Habib Rizieq dihukum. Maka ia meminta ini menjadi preseden bagi para koruptor yang berasal dari partai politik dengan segala catatan hitamnya.

“Tulis semua dengan jelas dan terang pada tiap surat dakwaan tindak pidana korupsi bahwa partai tersebut kadernya telah banyak melakukan korupsi bahkan sampai buron,” ucapnya.

Munarman juga menilai bahwa dakwaan pasal 160 KUHP tidak bisa didakwakan secara bersamaan dengan pasal 93 UU No 6 Tahun 20118 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Hal ini dikarenakan kedua pasal tersebut mempunyai unsur masing-masing dan mempunyai ancaman masing-masing.

“Maka tidak dibenarkan untuk dijadikan satu surat dakwaan seperti surat dakwaan pertama JPU tersebut. Ini mengakibatkan dakwaan JPU kabut atau tidak jelas,” ulasnya.

Dalam dakwaannya, JPU menuliskan bahwa HRS menyatakan diri sebagai Imam Besar pada Organisasi FPI yang telah dilarang berdasarkan SKB 6 Kementrian/Lembaga. Munarman menegaskan, tidak ada relevansi antara larangan dalam SKB 6 Kementrian/Lembaga dengan unsur-unsur pasal yang didakwakan sehingga menyebabkan dakwaan kabur dan tidak jelas.

Selain tidak ada hubungan dengan unsur-unsur pasal yang didakwakan kepada Terdakwa, Munarman menilai JPU juga telah memanipulasi fakta karena Acara Peringatan Maulid Nabi SAW diselenggarakan pada tanggal 14 November 2020. Sementara SKB 6 Kementrian/Lembaga tersebut baru terbit pada tanggal 30 Desember 2020.

Tim Penasehat Hukum juga menilai bahwa ada pelanggaran asas legalitas pada dakwaan kelima. Sebab, JPU memasukkan perbuatan pidana sebelum disahkannya Undang-undang No. 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2017.

“Pada dakwaan JPU halaman 42 huruf a, halaman 44 huruf i, j, k dan halaman 45 huruf i ada pelanggaran asas legalitas. Karena JPU mencantumkan tindakan pidana sebelum dibentuknya UU Ormas,” paparnya.

Ia mencontohkan, vonis HRS pada tahun 2008, vonis pengurus DPW dan anggota FPI Pekalongan tahun 2009, putusan Ketua FPI DPW FPI tahun 2012. Menurutnya, Peristiwa yang diuraikan menunjukkan ketidakcermatan JPU dalam merumuskan dakwaan.

Bahkan, JPU dalam rumusan dakwaan dilanjutkan dengan menyebut Habib Bahar Bin Smith sebagai anggota FPI yang divonis bersalah berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta sebagaimana dakwaan kelima halaman 45 huruf m.

“Faktanya Habib Bahar Bin Ali Bin Smith tidak pernah menjadi anggota ataupun sebagai pengurus FPI. Selain itu putusan terhadap Habib Bahar bukan produk dari PN Yogyakarta melainkan PN Bandung,” terang Munarman.

Maka, ia berharap Majelis Hakim menerima dan mengabulkan Nota Keberatan atau Eksepsi Penasihat Hukum Terdakwa untuk seluruhnya. Munarman juga meminta kepada Majelis Hakim dakwaan ini tidak dapat diterima

Sumber:  Kiblat.