10Berita
Oleh: Tamsil Linrung
Bangsa ini sering dipuja sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara. Juga dielu-elukan sebagai negara hukum. Namun, sejarah membuktikan, pertarungan ideologi dan kepentingan politik tak jarang mengangkangi hukum dan demokrasi.
Kini, sejarah itu kembali menampakkan kepongahannya. Kasus hukum yang bertubi-tubi menimpa Front Pembela Islam (FPI), ditengarai cacat hukum, intimidatif dan diskriminatif. Konon, itu terjadi sejak kepulangan Habib Rizieq Shihab, penutupan organisasi FPI, dan seterusnya.
Puncaknya adalah unlawful killing, pembunuhan di luar hukum terhadap enam pemuda laskar FPI di KM 50 Jalan Tol Jakarta Cikampek, beberapa waktu lalu. Terhadap pembunuhan di luar hukum ini, Komnas HAM meminta aparat berwenang menyelidiki lebih lanjut.
Permintaan Komnas HAM merujuk secara khusus kepada wafatnya empat laskar FPI. Soalnya, empat pemuda ini harus menemui ajal dalam penguasaan polisi. Versi polisi, mereka merebut pistol aparat sehingga bentrok tak terelakkan di dalam mobil.
Namun argumen itu terasa janggal. Kedua laskar harusnya diborgol, sebagaimana jamaknya Standard Operation Procedure (SOP) penangkapan. Apalagi, mereka dituding terlibat adu tembak sebelum akhirnya dibekuk.
Meski polisi beralasan aparat tidak dilengkapi borgol karena mereka bukan tim penangkapan, namun tetap saja kita mencium aroma kelalaian. Borgol bukanlah barang “mewah” yang memerlukan kualifikasi tertentu untuk ditenteng aparat, sebagaimana senjata berpeluru tajam.
Dua anggota laskar FPI lainnya wafat lebih dulu di lokasi kejadian. Baik kepolisian maupun Komnas HAM, keduanya berpendapat terjadi baku tembak. Namun, sejumlah pihak menemukan keterangan berbeda. Salah satunya wartawan Forum News Network (FNN) Edy Mulyadi.
Saat menginvestigasi ke Rest Area KM 50 Tol Jakarta-Cikampek, di akun youtubenya, Edy mengaku telah mewawancara tiga orang saksi. Para saksi itu menerangkan tidak melihat baku tembak, melainkan hanya mendengar dua kali tembakan. Dua tembakan itu diduga menewaskan dua laskar FPI.
Belakangan, Rest Area KM 50 dibongkar. Ketua Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) 6 anggota Laskar FPI Abdullah Hehamahua mempertanyakan tindakan ini. Menurutnya, di lokasi bukan tak mungkin terdapat barang bukti yang masih dapat ditelisik. Kekhawatiran Hehamahua tentu bisa dipahami.
Yang menyedihkan, dalam perjalanan perkara selanjutnya, keenam pemuda FPI itu dijadikan tersangka meski telah wafat. Alasan versi Menkopolhukam, konstruksi hukum mengharuskan penersangkaan. Tetapi sejumlah ahli hukum membantah dan menyebut langkah hukum ini justru melawan Pasal 77 KUHP.
Sumber: Eramuslim