10Berita, TURKISTAN – Amnesty International awal bulan ini merilis kesaksian baru para kerabat 48 orang etnis minoritas Uyghur dan Kazakh yang ditahan rezim komunis di Xinjiang, Cina.
Kesaksian tersebut dihimpun berdasarkan wawancara langsung Amnesty International di Turki.
Mereka menggambarkan bagaimana orang yang mereka cintai telah ditangkap karena terkait “terorisme” atau tuduhan palsu lainnya, untuk hal-hal seperti bepergian ke luar Cina, mengikuti upacara keagamaan, maupun berhubungan dengan kerabatnya yang berada di luar negeri.
Keluarga yang Dicabik-cabik
Gulaisha Oralbay, seorang wanita Kazakh, menceritakan apa yang terjadi pada saudara laki-lakinya, Dilshat Oralbay, seorang pensiunan wartawan dan penerjemah.
Setelah rezim Cina membujuknya untuk kembali ke Xinjiang dari Kazakhstan pada tahun 2017, paspornya langsung disita dan dia ditangkap beberapa bulan kemudian.
“Tidak ada pengadilan, mereka langsung memasukkannya ke penjara, (dan mengatakan bahwa vonisnya) selama 25 tahun,” ucap Gulaisha.
“Saya bahkan tidak yakin (dia) sendiri tahu alasannya. Seseorang mengatakan karena dia bepergian ke Kazakhstan, dan alasan-alasan lainnya; tidak ada keterangan maupun alasan yang jelas.”
Dua saudara perempuan Gulaisha dan Dilshat, Bakytgul dan Bagila Oralbay, juga ikut ditahan.
Abdullah Rasul mengatakan kepada Amnesty International bagaimana saudara laki-lakinya, Parhat Rasul, seorang petani Uyghur dan tukang jagal paruh waktu, ditahan dan dibawa ke kamp konsentrasi pada Mei 2017.
Keluarga tidak mendengar kabar lagi darinya sejak itu. Akan tetapi, pada tahun berikutnya sebuah sumber yang dapat dipercaya memberi tahu mereka bahwa Parhat telah dijatuhi hukuman sembilan tahun penjara.
Keluarga Parhat percaya bahwa dia ditangkap hanya karena dia adalah seorang Muslim yang taat dan sedang melakukan pekerjaan amal.
Mereka juga mengatakan, istri Parhat (Kalbinur) dan ibu mertuanya (Parizat Abdugul) juga dipenjara. Parhat dan Kalbinur memiliki dua putri, berusia 14 dan 16 tahun, serta seorang putra berusia 11 tahun.
“Mereka (rezim Cina) ingin menghapus identitas kami, menghapus budaya kami, menghapus agama kami,” kata Abdullah Rasul. “Saya berharap semua orang dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di tanah air kami.”
Medine Nazimi menggambarkan bagaimana dia terakhir mendengar suara saudara perempuannya, Mevlüde Hilal, pada akhir 2016. Mevlüde sudah tinggal di Turki untuk belajar, tetapi setelah dia pulang ke Xinjiang untuk membantu ibunya yang sakit, dia dimasukkan ke kamp konsentrasi pada tahun 2017 lalu diduga dijatuhi hukuman 10 tahun penjara atas tuduhan “separatisme”. Dia sudah menikah dan memiliki seorang putri yang masih kecil.
“Ketika mereka mengambil saudara perempuan saya, keponakan saya, Aisha, baru berusia satu tahun,” kata Medine kepada Amnesty International. “Kami hanya menjalani kehidupan normal sehari-hari, dan kami adalah keluarga yang bahagia. Adikku diambil hanya karena satu alasan: karena dia seorang Uyghur.”
Warga Uyghur yang berbicara mengenai situasi di Xinjiang, akan berhadapan dengan risiko besar. Beberapa anggota keluarga tahanan menyebutkan, mereka diancam dan diteror oleh pihak berwenang jika berani berbicara di hadapan publik.
Abudurehman Tothi, seorang pengusaha dan aktivis Uyghur yang tinggal di Turki, diwawancarai oleh media internasional tentang pemenjaraan istri dan ibunya, serta penahanan sewenang-wenang ayahnya.
Dia mengatakan kepada Amnesty International bahwa setelah itu konsulat Cina di Turki menghubunginya dan mengancamnya dengan penahanan atau kematian melalui “kecelakaan mobil”.
Kesaksian-kesaksian yang dikumpulkan ini adalah bagian dari kampanye “Bebaskan Tahanan Xinjiang”, yang sampai sekarang berisi kisah 120 orang yang berhasil selamat dari sistem pemenjaraan dan kamp penyiksaan rezim komunis Cina yang masif di Turkistan Timur.
“Kisah keluarga-keluarga ini memberikan jendela untuk melihat masuk ke dalam kengerian yang terjadi di Xinjiang, yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan,“ kata Agnès Callamard, Sekretaris Jenderal Amnesty International.
“Banyak orang mengatakan mereka memiliki beberapa anggota keluarga yang ditahan, hal tersebut mengindikasikan seberapa besar skala kejahatan tersebut,” bahkan lanjutnya, “seorang pria mengatakan 40 kerabatnya telah ditahan.”
VIDEO : https://youtu.be/MIlDky9nEVw
Bukti Bergunung-gunung
Sejak 2017, telah ada dokumentasi ekstensif mengenai tindakan keras Cina terhadap etnis Uyghur, Kazakh, dan minoritas Muslim lainnya di Xinjiang, yang dilakukan dengan kedok memerangi “terorisme”.
Pada tahun 2021, sebuah laporan komprehensif oleh Amnesty International menunjukkan bahwa pemenjaraan massal, penyiksaan, dan penganiayaan sistematis yang dilakukan oleh otoritas Tiongkok adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pada Mei 2022, beberapa media internasional pun menerbitkan investigasi bersama: Arsip Polisi Xinjiang, yang mencakup sejumlah pidato internal pejabat yang bocor, gambar, dokumen, serta data yang diperoleh dari jaringan kepolisian Cina.
“Meskipun semakin banyak bukti (terungkap), pihak berwenang Cina masih membohongi dunia tentang penahanan sewenang-wenang dalam skala besar di Xinjiang,” ujar Callamard.
“Ribuan orang yang masih ditahan secara sewenang-wenang beserta keluarga mereka, berhak mendapatkan kebenaran, keadilan, dan pertanggungjawaban.”
Callamard menegaskan, “Kami terus menyerukan rezim Cina untuk membongkar sistem kamp tahanannya yang masif; mengakhiri semua penahanan sewenang-wenang, penghilangan paksa, dan penyiksaan, baik di dalam penjara maupun di tempat-tempat lain; serta mengakhiri penganiayaan kejam terhadap etnis Uyghur, Kazakh, dan minoritas lainnya di Xinjiang.”
“Otoritas Cina harus bertanggung jawab, dan sebuah langkah genting bagi Komisaris Tinggi Bachelet untuk menerbitkan laporannya yang telah lama tertunda dan harus segera dipresentasikan di Dewan Hak Asasi Manusia PBB.”
Kunjungan Komisaris Tinggi ke Cina
Kepala Dewan HAM PBB, Michelle Bachelet, hingga saat ini masih belum merilis laporan yang telah lama dijanjikannya mengenai pelanggaran HAM yang serius di Xinjiang. Ia juga telah terbukti berulang kali tak mampu menyatakan beratnya kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Cina tersebut.
Lemahnya tanggapan PBB terhadap tragedi kejam di Xinjiang menambah penghinaan terhadap para korban dan penyintas pemenjaraan massal, penyiksaan, dan penganiayaan yang dilakukan Cina terhadap minoritas Muslim di Xinjiang sejak 2017.
Pada akhir Mei, dalam konferensi pers setelah perjalanannya yang telah lama ditunggu-tunggu ke Cina–termasuk kunjungan singkat ke Xinjiang, Bachelet masih gagal mengakui pelanggaran HAM yang serius di sana.
Pernyataannya di akhir kunjungannya hanya memberi kesan bahwa dia telah berkunjung langsung ke panggung propaganda Cina. Dia mengakui bahwa dia tidak dapat berbicara dengan warga Uyghur yang ditahan maupun keluarga mereka saat berada di Xinjiang.
Kegagalannya yang terus-menerus untuk menyatakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran hak asasi manusia serius lainnya di Xinjiang, merupakan hambatan bagi keadilan. Hal itu juga mempermalukan sistem yang dimiliki PBB.
Sidang ke-50 Dewan Hak Asasi Manusia PBB berakhir pada 8 Juli. Ini akan menjadi sidang terakhir dengan Michelle Bachelet sebagai Komisaris Tinggi; mandatnya berakhir pada 31 Agustus 2022 dan dia telah mengumumkan bahwa ia tidak akan mengincar masa jabatan kedua. (Amnesty.org)
Kesaksian Muhajirin Uyghur
“Dia sedang hamil 7 bulan. Ketika dalam perjalanan ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungan, melalui telepon ibunya memberitahu bahwa polisi sudah menunggunya di rumah. Ia lalu pulang. Sejak saat itu… tidak ada kabar lagi (darinya).” Istri Almas, Buzaynap Abdureshit, sampai sekarang masih dipenjara.
“Mati terbunuh memang suatu hal (yang sangat berat), tetapi harus hidup tanpa bisa berhubungan lagi dengan keluarga, juga terasa sangat berat.” Paman Mafivet, Abudumijiti Abudula, ditahan aparat rezim komunis Cina karena pernah bepergian ke luar negeri.
“Saya tidak bisa tidur berhari-hari… Dulu, saya pernah ditahan juga oleh (aparat) Cina. Polisi bertindak sangat brutal. Mereka memperlakukan kami dengan buruk. Jika semua orang di dunia bisa bersatu untuk menghentikan opresi Cina, barulah kesewenangan ini dapat berakhir.” Saudara Habubulla, Zekeriya Emet, saat ini masih mendekam di tahanan.
“Kami ingin bisa hidup bebas seperti kalian. Kami ingin hidup mandiri di tanah air kami. Kami ingin bisa berkumpul lagi dan makan bersama keluarga kami.” Adik Minawa, Aniver Abulamiti, juga ditahan oleh aparat rezim Cina.
“Kami (warga Uyghur) tidak pernah berbuat kejahatan, tetapi kami tetap ditahan di kamp-kamp konsentrasi dan harus merasakan hidup penuh penderitaan.”
Saudara Abuduaini, Ablet Ablez dan Abdulshukür Ablez, ikut dijebloskan ke dalam kamp tahanan.
“Jika pemerintah Cina berkata, ‘Di sana orang-orang hidup bahagia dengan normal’, seharusnya saya bisa berkomunikasi dengan keluarga saya dengan lancar. Keluarga saya, terutama ibu saya yang sudah berumur 70 tahun, semestinya tinggal di dalam rumah, bukan di dalam kamp.”
Saudari Selamet, Muherrem Muhammed Tursun, ditahan di kamp ataupun di penjara.
“Di satu tangan, mereka (aparat Cina) menahan ayah dan ibu saya. Sementara di tangan yang lain, (mereka juga menahan) saudara-saudari saya, anak saya, dan istri yang saya cintai… Mereka tidak membiarkan satu pun keluarga yang saya sayang. Hanya tinggal saya seorang.”
Keluarga Abudureheman ditahan secara sewenang-wenang.
“Tidak ada peradilan, mereka langsung memenjarakannya begitu saja, memvonisnya 25 tahun. Tidak ada yang tahu, saya pikir termasuk dirinya, yang mengetahui alasannya. Seseorang berkata karena dia pernah pergi ke Kazakhstan. Tidak ada keterangan maupun alasan yang jelas.”
Saudara Gulaisha, Dilshat Oralbay, saat ini dikurung di penjara.
“Ibu saya ditangkap pada pertengahan Maret 2018 karena ia menghadiri upacara keagamaan pada tahun 2013. Saya sangat sedih, hati saya hancur, karena ibu saya pada saat itu sedang sakit. Saya sangat rindu melihat wajahnya kembali. Saya selalu membayangkan untuk bisa bertemu dengannya lagi.”
Ibu Memet, Baishihan Hushur, berada di kamp konsentrasi.
“Kami tidak sanggup menjelaskan perasaan kami (ketika ia mendengar bahwa sepupunya ditangkap)… Kenapa mereka menahannya. Dia bukan orang jahat. Kami sangat terpukul ketika mereka menangkapnya. Kami tidak tahu apa alasan sebenarnya.”
Sepupu Zohre, Muhammedali Omer, ditangkap dan dimasukkan ke penjara oleh aparat Cina.
“Ketika saya mendengar saudari saya diperlakukan dengan kejam di dalam kamp, saya hanya bisa berharap bahwa sayalah yang berada di posisinya… Pada saat tertentu, saya tidak bisa menerimanya, saya sering mengalami mimpi buruk, saya tak bisa berhenti menangis. Saya mengalami kejatuhan mental. Saya sampai tidak mau berbicara dengan siapa pun.”
Saudari Tursuncan, Aygul Ablet, ditahan di kamp konsentrasi.
Sumber: Sahabat Al-Aqsha.