OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Jumat, 25 November 2022

Facebook Loloskan Gelombang Kampanye Anti-Rohingya, Belasan Aktivis Gugat Meta ke OECD

Facebook Loloskan Gelombang Kampanye Anti-Rohingya, Belasan Aktivis Gugat Meta ke OECD



Foto: MedRocky/Stock.adobe.com

Belasan aktivis Rohingya melayangkan gugatan ke Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), guna meminta Meta untuk bertanggung jawab karena platformnya telah mempermudah–bahkan cenderung membiarkan–penyebaran kebencian dan hasutan kekerasan di dunia nyata terhadap etnis minoritas tersebut. 

oleh Maung Sawyedullah*

Seluruh desa dibakar habis, keluarga dibunuh, wanita dan anak-anak diperkosa, dan semua warganya dibiarkan sengsara ketika militer Myanmar melancarkan serangan brutal terhadap bangsa saya, etnis Muslim Rohingya, pada Agustus 2017. Delapan puluh persen lebih dari kami dipaksa untuk mengungsi ke negara-negara tetangga, seperti Bangladesh.

Di Myanmar pada saat itu, Facebook bisa dikatakan adalah internet itu sendiri, yakni satu-satunya sumber informasi bagi orang banyak.

Menurut laporan Amnesty International baru-baru ini, perusahaan Meta (sebelumnya Facebook) mengetahui betul bahwa sistem algoritmiknya “meningkatkan” penyebaran konten anti-Rohingya yang penuh kebencian, kekerasan, dan diskriminatif di Myanmar; tetapi memilih diam saja lalu membiarkan disinformasi dan kebencian itu menyebar seperti api.

Awal tahun ini, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken menyatakan bahwa militer Myanmar melancarkan (serangan tersebut) dengan niat untuk benar-benar menghancurkan bangsa Rohingya, baik seluruhnya maupun sebagian.

Dengan demikian, AS menetapkan bahwa genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan telah terjadi untuk kedelapan kalinya dalam sejarah terhadap etnis Rohingya.

Mengejar Keadilan Tanpa Henti

Setelah lima tahun berkampanye tanpa lelah, keadilan tetap menjadi mimpi yang jauh bagi bangsa kami. Saya bersama dengan 15 pemimpin komunitas Rohingya lainnya tidak menyerah, terlepas dari hambatan besar yang kami hadapi dan penolakan terus-menerus atas kesempatan untuk membangun kembali apa yang telah hilang dari kami.

Kami berusaha untuk mendidik diri kami sendiri, untuk menjaga diri kami aman, dan untuk memiliki kebebasan.

Penyebab dari penghalang-penghalang itu adalah Meta. Laporan yang mencengangkan dari Amnesty International berhasil menguraikan bagaimana platform media sosial tersebut “secara substansial” telah berkontribusi terhadap kekejaman yang dilakukan kepada orang-orang Rohingya.

Perjuangan kami mencari keadilan tidak akan tuntas sampai Meta mengambil tanggung jawab dan memberikan obat penawar atas perannya dalam kekejaman yang dilakukan terhadap kami. Meta pun telah menghasilkan miliaran dolar di saat kebencian menyebar melalui Facebook di Myanmar.

Itu sebabnya kami menyeret perusahaan triliunan dolar itu dengan mengajukan gugatan ke OECD. Badan internasional ini bertugas memastikan bahwa perusahaan di seluruh dunia harus menghormati hak asasi manusia dalam praktik bisnis mereka.

Kami tidak dapat menghidupkan kembali kehidupan yang kami jalani sebelum tahun 2017. Yang dapat kami lakukan adalah menatap masa depan dan memberdayakan diri sendiri untuk membangun kembali kehidupan kami.

Laporan Amnesty menyimpulkan bahwa kejahatan genosida yang dilancarkan terhadap etnis Rohingya didorong oleh “gelombang kampanye anti-Rohingya” yang difasilitasi oleh Meta.

Sementara keputusan atas bagaimana Facebook beroperasi di Myanmar, ditentukan di dalam ruang rapat berdinding kaca yang nyaman, seperti kantor pusat internasional Facebook di ‘Silicon Docks’ di Dublin.

Model bisnis Meta memprioritaskan cara agar orang terus berselancar di platformnya, baik Facebook maupun Instagram, selama mungkin. Semakin banyak waktu yang kita habiskan di sana, semakin banyak data tentang kita yang dijual ke pengiklan, dan meningkatkan keuntungan Meta.

Selama pembersihan etnis yang kejam pada tahun 2017, dan selama bertahun-tahun sebelumnya, algoritme pembentuk konten Meta secara proaktif memperkuat dan mempromosikan konten-konten di Facebook yang menghasut kekerasan, kebencian, dan diskriminasi terhadap Rohingya.

Tidak ada yang tahu lebih banyak tentang bahaya besar dari desain platform yang tidak bertanggung jawab dan disengaja ini, selain Muslim Rohingya.

Sesuatu yang mungkin tidak disadari adalah dominasi Facebook di negara berkembang. Facebook bukan hanya platform media sosial di internet; bahkan telah menjadi internet itu sendiri.

Perusahaan berusaha memonopoli pasar di Myanmar dengan mengaktifkan akses tanpa biaya data, yang berarti penggunaannya di seluruh negeri bebas dan tersebar luas. Hal yang disadari pemerintah India dan kemudian dilarang diterapkan langkah serupa pada tahun 2016 di sana.

Harapan Nun Jauh 

Peran misinformasi media sosial dalam kemenangan Trump, keputusan Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa, dan pengabaian atas krisis perubahan iklim telah didokumentasikan dengan baik.

Namun, terlepas dari banyaknya bukti, hanya sedikit komunitas internasional yang tampaknya peduli atas dampak tragis algoritme Meta terhadap bangsa dan negara kami.

Apa yang terjadi pada bangsa kami tidak terpikirkan dan tidak dapat diungkapkan dengan cara yang hanya dapat dipahami oleh sedikit orang.

Yang pasti, Meta harus menghadapi konsekuensi atas keputusannya: berhenti memicu kemarahan dan kebencian, serta membayar utangnya kepada bangsa kami. (Siliconrepublic.com) 

*Maung Sawyedullah adalah advokat dan aktivis Rohingya terkemuka, yang saat ini masih bertahan di kamp pengungsian Cox’s Bazar, Bangladesh. Sawyedullah dan 15 aktivis Rohingya lainnya telah mengajukan gugatan terhadap Meta ke OECD dengan mengklaim bahwa Facebook telah melanggar standar bisnis dan hak asasi manusia atas perannya dalam genosida etnis Rohingya tahun 2017.

 

 

Sumber: Sahabat Al-Aqsha.