OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Selasa, 06 Desember 2022

BROUK: “Genosida terhadap Etnis Rohingya Terus Berlangsung, Rezim Myanmar Tantang Mahkamah Internasional”

BROUK: “Genosida terhadap Etnis Rohingya Terus Berlangsung, Rezim Myanmar Tantang Mahkamah Internasional”



Muhajirin Rohingya berjalan di lingkungan kamp darurat di Kutupalong, Distrik Ukhiya, Cox’s Bazar, Bangladesh, 24 Agustus 2022. Foto: EPA

10Berita– Etnis Muslim Rohingya terus menghadapi genosida yang membahayakan kelangsungan hidup mereka, sebut Burmese Rohingya Organisation UK (BROUK) dalam laporan terkini yang dirilis 2 Desember 2022.

Mahkamah Internasional (ICJ) memerintahkan dilakukannya tindakan sementara guna mencegah genosida berkelanjutan terhadap minoritas Rohingya di Myanmar. Namun, BROUK mendokumentasikan bagaimana Myanmar mengabaikan perintah tersebut sehingga genosida masih terus berlangsung.

BROUK juga menyatakan bahwa merupakan tanggung jawab Dewan Keamanan (DK) PBB untuk menegakkan putusan pengadilan tertinggi PBB tersebut, namun mereka tetap gagal melakukannya.

Melalui laporan tersebut, BROUK menyerukan pemerintah Inggris, sebagai penanggung jawab tentang Myanmar di DK PBB, untuk segera mengadakan pertemuan DK guna membahas kegagalan militer Myanmar dalam menegakkan putusan ICJ.

Laporan berjudul “Prevent the Unthinkable: The International Community Must Leverage the International Court of Justice’s Provisional Measures Order Before It’s Too Late”, menyuarakan peringatan bahaya akan situasi di Negara Bagian Rakhine, di mana terjadi peningkatan konflik bersenjata antara Militer Myanmar dan Arakan Army (AA).

Komunitas Rohingya terus terperangkap di tengah pusaran konflik kekuasaan antara kedua belah pihak.

Laporan BROUK mencatat berbagai pelanggaran serius terhadap etnis Rohingya yang dilakukan selama enam bulan terakhir, termasuk pembunuhan, kekerasan seksual, bahkan pengeboman rumah, desa, dan masjid.

BROUK memerinci bagaimana pasukan keamanan Myanmar terus menargetkan Rohingya. Dalam satu insiden, peluru artileri yang ditembakkan oleh militer Myanmar menyasar ke desa Rohingya dan menewaskan seorang bocah Rohingya berusia 7 tahun.

Serdadu lalu memasuki desa dan menyerang warga Rohingya lain, menikam setidaknya satu orang di kepala dan lengan, sebuah tindakan yang mengingatkan Muslim Rohingya akan ‘operasi pembersihan’ 2016–2017.

Pada bulan Juli, Pasukan Penjaga Perbatasan menembaki sebuah kapal yang membawa para Muhajirin Rohingya yang kembali dari Bangladesh ke kota Maungdaw, Rakhine. Sedikitnya tujuh orang tewas ketika tentara melepaskan tembakan ke kapal, termasuk wanita dan anak-anak.

BROUK juga mendokumentasikan lebih lanjut bagaimana pasukan keamanan Myanmar telah membunuh setidaknya tiga pria Rohingya lainnya di Sittwe sejak Mei 2022.

“Pertama, militer Myanmar diizinkan lolos atas genosidanya terhadap Rohingya. Sekarang, mereka juga diizinkan untuk mengabaikan Pengadilan PBB dan terus melakukan genosida,” tukas Tun Khin, Presiden BROUK.

“Situasi di Myanmar mungkin telah menghilang dari berita-berita utama dunia, tetapi genosida terhadap Rohingya terus berlanjut, terlepas dari perintah Mahkamah Internasional.“

“Selama enam bulan terakhir, rezim telah membunuh, menyiksa, dan membuat hidup warga Rohingya tak tertahankan lagi, di mana satu-satunya ‘kejahatan’ mereka adalah identitas mereka. Dewan Keamanan PBB harus segera bertindak untuk mengakhiri situasi parah ini sebelum terlambat.”

Kasus genosida di “Pengadilan Dunia” 

Laporan BROUK ini dirilis satu minggu setelah Myanmar dijadwalkan mengirim laporannya ke ICJ atas kepatuhannya terhadap perintah dini yang diberlakukan oleh Pengadilan pada Januari 2020, sebagai bagian dari kasus genosida yang diajukan oleh Gambia.

Perintah tersebut secara efektif merupakan perintah hukum, yang mengharuskan negara Myanmar untuk melindungi Rohingya dari bahaya lebih lanjut. Myanmar secara hukum berkewajiban untuk melapor setiap enam bulan ke Pengadilan atas kepatuhannya terhadap langkah-langkah ini, dengan laporan terbarunya jatuh tempo pada 23 November 2022.

Sayangnya, Myanmar tidak berkewajiban untuk memublikasikan laporannya, dan sejauh ini pun tidak ada laporan sebelumnya yang dirilis. BROUK dan LSM lainnya mendesak agar laporan tersebut dipublikasikan untuk memastikan lebih banyak pengawasan yang bisa dilakukan atas tindakan Myanmar.

Genosida Terus Berlangsung

Sekira 600.000 warga Rohingya yang tetap bertahan di Rakhine terus hidup di “penjara terbuka”, dengan pembatasan ketat atas kebebasan bergerak serta akses ke perawatan kesehatan, pendidikan, maupun mata pencaharian.

Terkait perintah yang mengikat secara hukum dari ICJ guna ‘mengambil semua tindakan dalam kekuasaannya’ untuk melindungi warga Rohingya, junta Myanmar tidak melakukan apa pun untuk mengatasi situasi tersebut.

Undang-undang dan kebijakan yang diskriminatif, termasuk Undang-Undang Kewarganegaraan 1982 yang menolak kewarganegaraan Rohingya, tetap diberlakukan.

Rezim terus memaksa Rohingya untuk menerima Kartu Verifikasi Nasional (NVC)–sistem pendataan yang menyangkal identitas mereka sebagai bangsa Rohingya dan memaksa mereka untuk menerima status sebagai ‘Bengali’. Ini untuk memojokkan mereka seolah imigran asing dari Bangladesh.

BROUK melalui laporannya telah memerinci bagaimana warga Rohingya dipaksa menerima NVC; di bawah ancaman tak mendapat bantuan makanan, akses ke pendidikan, izin perjalanan, maupun pekerjaan.

Junta telah menggunakan konflik bersenjata di Rakhine sebagai alasan untuk memblokir jalan dan saluran irigasi, sambil memberlakukan pembatasan baru bagi PBB dan badan kemanusiaan di sana.

Hal ini menimbulkan konsekuensi parah bagi warga Rohingya, termasuk kekurangan makanan dan penutupan klinik keliling yang merupakan satu-satunya cara bagi Rohingya untuk mengakses layanan kesehatan.

Pembatasan perjalanan yang diperketat telah membuat warga Rohingya di kamp pengungsian internal terkurung di wilayah yang kumuh selama satu dekade terakhir. Mereka semakin sulit dijangkau oleh bantuan kemanusiaan karena keamanan yang ketat di pos pemeriksaan.

“Ratusan ribu warga Rohingya menghadapi kehidupan yang sangat sulit di Negara Bagian Rakhine. Alih-alih menganggap serius tatanan hukum ICJ, junta malah melipatgandakan praktik genosidanya. Perempuan, laki-laki dan anak-anak Rohingya mencoba untuk bertahan hidup tanpa ada layanan kesehatan, pendidikan dan penghasilan yang memadai. Dengan kata lain, mereka dipaksa hidup tanpa harapan,” tegas Tun Khin.

BROUK mendesak masyarakat internasional untuk menemukan cara guna menegakkan perintah dini ICJ. Ini termasuk penerapan embargo senjata dan sanksi yang ditargetkan kepada junta, serta memberikan dukungan lebih dalam proses peradilan internasional.

Sangat penting jika ada lebih banyak negara yang mengikuti jejak Kanada dan Belanda yang secara terbuka mengumumkan dukungan formal mereka untuk kasus genosida yang dibawa oleh Gambia ke ICJ.

“Para arsitek genosida terhadap Rohingya selama puluhan tahun harus bertanggung jawab. Keadilan adalah satu-satunya cara untuk menghentikan teror militer–tidak hanya terhadap Rohingya, tetapi terhadap semua orang di Myanmar yang menderita di bawah junta,” ujar Tun Khin. (Mizzima.com)