OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Minggu, 22 Januari 2023

Kisah Suami-Istri di Gaza yang Terpisah Akibat Blokade Zionis

Kisah Suami-Istri di Gaza yang Terpisah Akibat Blokade Zionis



Seorang wanita Palestina menghapus air mata saat demonstrasi menentang “kebijakan pemisahan” di Gaza utara pada 17 Januari 2023. Foto: MEE/Mohammed al-Hajjar

10Berita, KOTA GAZA – Saat hari pernikahannya di Gaza, Sally Abujumeiza tidak bisa melepaskan ponselnya. Ayahnya, Qassem Abujumeiza, yang berada di Tepi Barat terjajah, tidak bisa menunggui hari istimewa itu. Dia hanya bisa mengikuti acara melalui video.

“Hari pernikahannya menjadi salah satu hari paling menyedihkan dalam hidup kami. Dia menangis sepanjang hari,” kata ibu Sally, Tassahil Abujumeiza, kepada Middle East Eye.

Pada tahun 2009, ketika Sally berusia 10 tahun, Qassem meninggalkan kampung halamannya di Gaza untuk bekerja di Ramallah, Tepi Barat terjajah. Jaraknya sekitar 80 km.

Saat itu, manajer di sebuah pabrik garmen itu mengira, hanya perlu beberapa hari untuk mengatur perpindahan keluarganya dari Gaza ke Ramallah. Namun, hingga 14 tahun kemudian cita-cita itu belum terlaksana juga.

Keluarga Qassem adalah satu di antara ribuan keluarga Palestina yang terpisah akibat blokade rezim Zionis ‘Israel’. Mobilitas warga Gaza dan Tepi Barat terjajah sangat dibatasi oleh militer ‘Israel’, yang telah memberlakukan blokade darat, laut, dan udara di Jalur Gaza sejak tahun 2007.

Keluarga yang ingin hidup bersama, harus mengurus birokrasi yang amat rumit. Alhasil, hampir tidak mungkin bagi Tassahil dan anak-anaknya untuk dipersatukan kembali dengan Qassem. Menurut ibu lima anak ini, rezim telah menolak banyak permintaan izin selama bertahun-tahun bagi warga Gaza yang ingin ke Tepi Barat terjajah.

“Selama bertahun-tahun, saya harus membesarkan anak-anak sendiri, meskipun suami masih menanggung biaya kami,” kata Tassahil.

“Seperti ketika pernikahan Sally dua tahun lalu, suami saya hanya bisa mengikuti acara melalui ponsel. Dia, para tamu, kerabat, kami semua menangis.”

Blokade

Pada hari Selasa (17/1/2023), Tassahil bergabung dalam protes terhadap blokade di persimpangan Beit Hanoun. Lokasi ini satu-satunya titik penyeberangan pejalan kaki antara Jalur Gaza dan ‘Israel’.

Lusinan wanita Palestina dan anak-anak memegang poster bertuliskan “Selamatkan para istri yang terjebak di Gaza” dalam bahasa Arab dan Ibrani. Mereka menuntut hak untuk dipersatukan kembali dengan pasangan mereka di Tepi Barat.

Para wanita itu juga menuntut rezim Zionis ‘Israel’ mengizinkan mereka mengubah alamat di KTP dari Jalur Gaza ke Tepi Barat terjajah. Tujuannya agar mereka bisa bersatu kembali dengan pasangan yang berasal dari Tepi Barat terjajah atau yang berasal dari Gaza dan tinggal dan bekerja di Tepi Barat terjajah.

Pada tahun 1990-an, rezim zionis ‘Israel’ memberlakukan pembatasan bagi warga Palestina antara Gaza dan Tepi Barat terjajah. Juga mengisolasi wilayah Jalur Gaza.

Selama periode ini, zionis ‘Israel’ berhenti memperbarui alamat warga Palestina yang berasal dari Gaza dan pindah ke Tepi Barat terjajah dalam salinan daftar penduduk Palestina. Warga kemudian diperlakukan sebagai “warga asing ilegal”.

Tahun 2007, Zionis ‘Israel’ memblokade Jalur Gaza. Akibatnya, gerakan warga Palestina keluar-masuk daerah tersebut hampir tidak mungkin dilakukan. Yang bisa hanyalah untuk keperluan darurat, seperti kasus medis dan kemanusiaan kritis, pedagang, pekerja, staf organisasi internasional, atau siswa dengan beasiswa untuk belajar di luar negeri.

Dalam praktiknya, orang yang memenuhi syarat itu pun harus menunggu berminggu-minggu atau berbulan-bulan untuk mendapatkan izin. Banyak yang ditolak izinnya karena “alasan keamanan” yang tidak jelas, banyak pula yang tidak mendapatkan penjelasan sama sekali.

Kesehatan Mental Anak-anak

Tassahil Abujumeiza awalnya berharap agar suaminya bisa mengunjungi Gaza untuk menghadiri pernikahan Sally. Namun, untuk mendapat izin rupanya harus melalui prosedur birokrasi yang amat panjang dan berliku. Hal ini dikhawatirkan akan memengaruhi pekerjaan dan status tinggalnya di Tepi Barat terjajah.

Dalam 14 tahun terakhir, Qassem baru bisa berkunjung ke Gaza lima kali ketika darurat, yakni ketika ada keluarga yang sakit parah dan kerabat yang wafat. Izin itu hanya berlaku tidak lebih dari tiga hari setiap kunjungan.

“Hal ini menambah beban yang sangat berat bagi saya. Kesehatan mental anak-anak memburuk karena tumbuh terpisah dari ayahnya,” kata Tassahil.

Suatu saat anak bungsunya cerita, “Bu, saya melihat paman menggendong sepupu di pundaknya dan membawanya untuk membeli permen di pasar swalayan.”

“Dalam situasi seperti itu, saya akan meminta si sulung untuk melakukan hal yang sama agar anak-anak tidak merasa seperti yatim piatu,” tambah Tassahil.


Tassahil Abujumeiza (kanan) dengan dua putranya di Gaza. Foto: MEE/Mohammed al-Hajjar

Anak sulungnya, Nabil, 22 tahun, harus mengambil tanggung jawab sebagai ayah. Dia mengalami depresi akibat stres.

Alhamdulillah, kami bisa menyelamatkannya sebelum kondisinya memburuk,” kata Tassahil. Nabil dibawa ke psikiater setelah gurunya memberitahu bahwa dia mungkin mengalami gejala depresi.

Musim panas lalu, Nabil mendapat izin ke Ramallah. Ini adalah satu-satunya perizinan yang didapatkan oleh keluarga Qassem. Sejak saat itu, Nabil bersama ayahnya.

“Dia menelepon saya, ‘Bu, saya rindu, tetapi saya harus tinggal bersama ayah saya lebih lama’,” ujar Tassahil.

Rekayasa Demografi

Menurut organisasi HAM di ‘Israel’, B’tselem, jumlah keluarga Palestina yang terkena dampak blokade diperkirakan mencapai ribuan orang.

“Orang-orang tahu tidak ada peluang dan bahkan tidak mau repot untuk mencoba lagi,” kata Roy Yellin, Direktur Publik B’tselem.

“Otoritas ‘Israel’ mengizinkan pergerakan satu arah dari Tepi Barat ke Gaza. Ini bertentangan dengan hak paling mendasar warga Palestina untuk hidup sebagai sebuah keluarga,” jelasnya.

Hingga saat ini, hampir mustahil warga Gaza bisa ke Tepi Barat terjajah. Izin dari penjajah Zionis amatlah sulit.

Menurut kelompok HAM Gisha, prosedur yang amat sulit itu sama saja sebagai “rekayasa demografis”. Ada upaya pemindahan paksa, yang merupakan pelanggaran berat hukum internasional yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang.

Bagi banyak warga di Gaza, mencari pekerjaan di Tepi Barat terjajah adalah kebutuhan, bukan pilihan. Hal itu disebabkan oleh sedikitnya kesempatan bekerja dan mencari nafkah di wilayah yang terblokade sekian lama.

Menurut Biro Pusat Statistik Palestina (PCBS), tingkat orang yang kehilangan pekerjaan di Gaza mencapai 44,1% pada kuartal kedua tahun 2022. Bandingkan dengan Tepi Barat yang 14%.

Susahnya menjadi warga terpenjara blokade dialami oleh Wafaa Shanghan. Wanita berusia 21 tahun ini harus hidup sendirian di Gaza.

Wafaa menikah pada 2019. Sebulan kemudian, suaminya mendapatkan pekerjaan di Tepi Barat terjajah. Apa boleh buat, ia harus pindah ke sana.

Kakak-kakak Wafaa juga pindah ke Tepi Barat terjajah untuk bekerja. Adapun orangtuanya telah meninggal bertahun-tahun yang lalu. Jadilah Wafaa sebatang kara.

“Suami saya pergi ke Ramallah untuk bekerja. Dia tidak dapat kembali (ke Gaza), karena jika dia melakukannya, maka dia akan kehilangan pekerjaan,” kata Shanghan kepada Middle East Eye.

“Saya tidak punya pekerjaan. Saya dapat kiriman uang dari suami dan saudara. Akan tetapi, situasi saat ini semakin parah. Mereka tinggal di Tepi Barat, tetapi mereka tidak memiliki pekerjaan tetap.”

Cinta dan Harapan

Banyak lagi pasangan yang terpaksa berpisah, termasuk mereka yang belum menikah, tetapi sudah bertunangan. Misalnya dialami Hadil al-Qassas, yang belum bisa bertemu dengan calon istrinya dari Al-Khalil sejak mereka bertunangan delapan tahun silam.

“Saya telah mengajukan banyak permohonan izin, termasuk perubahan alamat dan permohonan kunjungan. Akan tetapi, terus ditolak karena alasan keamanan dan karena usia saya masih muda,” kata pria berusia 25 tahun itu.

“Satu-satunya tempat di planet ini yang Anda berharap tidak jadi muda adalah Gaza,” tambahnya.

Karena tidak jelas dan telah memakan waktu sekian lama, beberapa kerabat menyarankan Qassas agar “pindah ke lain hati” saja. Namun, dia mengaku bahwa cinta masih mengobarkan harapannya.

“Mereka tidak mengerti perasaan yang kami miliki. Meskipun kami belum pernah bertemu, cintalah yang membuat kami tetap bersama saat berpisah,” kata Qassas.

“Menderita bukan berarti putus asa. Terkadang yang membuat Anda berharap adalah bahwa hal yang mustahil bisa saja terjadi. Suatu hari kami pasti akan berada di tempat yang sama, meskipun ada pengepungan dan penjajahan,” pungkasnya. (Middle East Eye)

Sumber:  Sahabat Al-Aqsha.