OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Jumat, 24 Februari 2023

Independensi Politik Luar Negeri Mohammad Natsir: Menolak Bantuan Senjata AS, Mengkritisi Utopia Rusia

Independensi Politik Luar Negeri Mohammad Natsir: Menolak Bantuan Senjata AS, Mengkritisi Utopia Rusia


Oleh: Pizaro Gozali Idrus

Mahasiswa Ph.D di Center for Policy Research and International Studies Universiti Sains Malaysia 

Sosok Mohammad Natsir selama ini masih jarang diungkap dalam buku-buku teks mengenai sejarah diplomasi Republik Indonesia. Meski pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan, Perdana Menteri maupun Ketua Umum Partai Masyumi, nama Natsir seolah-seolah tenggelam di antara kebesaran para pendiri bangsa lainnya, khususnya dalam upaya melawan kolonialisme dan imperialisme, serta mewujudkan perdamaian dunia. 

Padahal peran Natsir dalam membangun diplomasi Indonesia dan meletakkan fondasi kebijakan luar negeri Indonesia tidak dapat diremehkan. Untuk menekankan pentingnya menjaga independensi politik luar negeri Indonesia, proklamator RI Mohammad Hatta dalam bukunya Dasar Politik Luar Negeri Republik Indonesia (Djakarta, Tintamas: 1953) melampirkan pidato Mohammad Natsir pada tahun 1950 saat menjabat perdana menteri.  

Hatta menilai Natsir, yang menjadi Perdana Menteri RI sejak 7 September 1950 hingga 21 Maret 1951, telah berkontribusi dalam menjaga haluan politik internasional Indonesia agar on the track dalam prinsip kebijakan luar negeri yang bebas aktif.  

Menurut Hatta, kiblat kebijakan luar negeri Indonesia tidak dapat ditentukan oleh haluan politik negeri lain yang hanya bergerak berdasarkan kepentingan negeri mereka sendiri. Hatta menegaskan prinsip politik independen merupakan dasar ‘jang fundamentil’ dalam visi kebijakan internasional Republik Indonesia. 

“Kabinet Natsir yang menjabat sesudah terbentuk Negara-Kesatuan, menindjau djuga politik luar negeri kita dari djurusan pertentangan antara blok Amerika Sarikat dan ‘blok-Rusia. Dalam keterangan tentang program pemerintahnja kepada Parlemen, tanggal 21 September 1950,” terang Hatta. 

Pidato Perdana Menteri Mohammad Natsir 

Perdana Menteri Natsir dalam pidatonya, seperti diungkap Hatta, mengatakan dua kekuataan besar dunia saat itu, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet telah muncul persaingan atas dasar pertentangan paham dan haluan politik. Di mana perselisihan antara kedua negara itu sangat keras.  

Menurut Natsir, kedua belah pihak tidak hanya berseberangan dalam ideologi, tetapi juga mencari sekutu guna membangun aliansinya masing-masing. Dunia pun terpecah menjadi dua. Antara blok Barat yang dipimpin AS dan blok Timur yang dikomandoi Uni Soviet. 

“Dengan demikian itu pertentangan paham dan haluan itu tambah meluas dan mendalam sehingga menimbulkan keadaan jang telah merupakan perang dingin dan dikuatirkan sewaktu-waktu mungkin menjebabkan petjah mperang di daerah perbatasan antara pengaruh kekuasaan antara dua blok itu,” terang Natsir. 

Dalam kondisi pertentangan dua kutub itu, Natsir yang juga merupakan pemimpin Partai Masyumi, menegaskan kebijakan luar negeri Indonesia harus tetap independen dan tidak boleh terjebak pada salah satu kubu. Sebab, Indonesia telah meletakkan fondasi politik internasional untuk mewujudkan perdamaian global. 

“Dalam keadaan jang berbahaja itu Indonesia telah memutuskan akan melakukan politik luar negeri jang bebas. Dalam mendjalankan politik jang bebas itu, kepentingan rakjatlah jang akan mendjadi pedomannja, dan disamping itu Pemerintah akan berusaha atau membantu tiap-tiap usaha untuk mengembalikan perdamaian dunia,” ucap Natsir. 

Dengan menamakan diri politik yang bebas, ucap Natsir, pemerintah bertujuan untuk menempuh jalan ‘jang njata’ sehingga Indonesia dapat membantu dengan cara yang positif dalam mencapai cita-cita umum manusia. Dengan itu, Indonesia terhindar dari politik luar negeri yang pragmatis yang hanya mencari keuntungan materi semata. 

“Politik bebas bukan politik opportunis, jang hanja menghitungkan laba-rugi, tidak berdasar kepada suatu tjitatjita luhur. Sekian tentang pendirian Kabinet Natsir jang mengenai politik bebas,” tulis Hatta mengutip pidato Natsir. 

Praksis independensi politik luar negeri Natsir 

Sejatinya, gagasan Natsir dalam politik internasional tidak hanya diucapkan dalam mimbar-mimbar pidato, tetapi juga diterjemahkan ke ranah praksis.

Dalam buku Biografi Mohammad Natsir: Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan (Jakarta, Pustaka Al Kautsar: 2019), Lukman Hakim menjelaskan di permulaan tahun 1950, Vietnam Utara atau Vietminh menjadi rebutan blok Timur dan Barat.  

Dalam konteks politik internasional di masa itu, Vietminh adalah gerakan komunis yang ingin memisahkan diri dari kekuasaan Saigon yang berpihak kepada Barat. Indonesia pun diseret untuk pro antara blok Komunis maupun blok Kapitalis. 

Sakirman dari PKI mengusulkan agar pemerintah Indonesia segera menjalin hubungan diplomatik dengan Vietminh, yang artinya lebih berpihak pada blok Soviet. Sedangkan Natsir mengusulkan agar pemerintah Indonesia tidak terburu-buru mengakui Vietminh dan seharusnya mengumpulkan informasi yang lengkap terlebih dahulu.  

Mosi Natsir ini akhirnya dipilih oleh anggota Dewan saat itu. Ridwan Saidi menyebut, lewat mosinya, Natsir telah merintis pemikiran ke arah pembentukan Kekuatan Ketiga di tengah percaturan politik global. 

Selain itu, Natsir pernah melakukan kritik kepada sesama koleganya di Masyumi, yakni Sukiman saat menjalin kerja sama dengan negara kapitalis Amerika Serikat dalam Mutual Security Act (MSA). Perjanjian tersebut merupakan kesepakatan bantuan ekonomi dan senjata yang diberikan Paman Sam kepada Pemerintah Indonesia.  

Menurut Perdana Menteri Sukiman yang menjabat sejak April 1951 hingga Februari 1952, perjanjian itu dapat berguna untuk menghambat laju pergerakan komunis di wilayah Pasifik. Meski sama-sama sepakat melawan komunisme, Natsir menolak keputusan Sukiman dengan menggandeng blok AS karena hal itu bertentangan dengan politik bebas aktif Indonesia. 

Tidak silau dengan Rusia 

Di sisi lain, Natsir juga secara tegas mengkritik Rusia yang ajaran komunismenya tidak compatible dengan jati diri masyarakat Indonesia dan tidak perlu diadopsi sebagai kiblat politik Jakarta. Beberapa kali Natsir melayangkan kritik kepada PKI yang sangat menganakemaskan Rusia. 

Dalam tulisannya Djawab Kita pada tahun 1952 yang dimuat dalam Capita Selecta II, Natsir ‘menelanjangi‘ satu per satu utopisme komunisme Rusia yang diagung-agungkan oleh sejumlah pihak. Dia mengatakan bisa jadi memang kemelaratan tidak ditemukan di Rusia seperti sebelum negara Beruang Merah itu menerapkan komunisme. Namun, imbas penindasan terhadap kebebasan berpolitik berlaku luas di Rusia. Bagi mereka yang mengembangkan pemikiran di luar komunisme, harus siap hidup dalam jeruji besi.  

“Untuk itu kepribadian manusia mendjadi hilang musnah, kemerdekaan pribadi dikungkung dan ditekan dengan alat2 kekuasaan pemerintah. Disana tentu terdapat djuga berbagai matjam aliran pikiran akan tetapi hanja satu sadja jang berada diluar bui, selebihnja dari jang satu itu berada didalam pendjara atau didalam kamp2 pembuangan di Siberia, jang didjaga kuat dengan mitraliur dan bajonet,” tulis Natsir.

Selanjutnya, Natsir menambahkan mungkin saja orang-orang di Rusia mendapatkan makanan dan minuman yang cukup baik. Namun, kalau itu hanya standar tujuan hidup manusia, tidaklah beda dengan orang yang hidup di balik pagar kawat. Bagi Natsir, Rusia adalah negara yang jauh dari ideal untuk diikuti. 

“Pada waktu2 jang telah ditetapkan masing2 anggota masjarakat dalam lingkungan pagar kawat itu mendapat sepotong daging atau buah2-an jang dibagikan oleh pemimpinnja. Tetapi mereka tidak boleh keluar terali besi, selalu berada dalam kungkungan. Keadaan jang seperti ini bagi binatang mungkin sudah dapat dikatakan Makmur,” tulis Natsir.  

Begitulah Natsir meletakkan kiblat politik negeri Indonesia agar tetap berjalan sesuai rel dan tidak silau dengan blok kapitalisme maupun komunisme. Bagi Natsir, setiap kebijakan luar negeri harus dilakukan demi kepentingan rakyat dan tidak mengorbankan jati diri Indonesia.  

Natsir bukanlah sosok oportunistik yang menggadaikan politik luar negeri Indonesia demi kepentingan jangka pendek dan keuntungan pribadi. Gagasan dan perjuangan arsitek utama NKRI ini perlu menjadi keteladanan bagi setiap lapisan anak bangsa saat ini. (*)

Sumber: Sahabat Al-Aqsha.