10Berita, Pekerja pertahanan sipil Suriah, White Helmets, di kota Jinderis menggali puing-puing bangunan tempat tinggal yang runtuh untuk mencari seorang anak laki-laki berusia 13 tahun dan empat orang lainnya pada hari Jumat. Foto: Ruth Sherlock | NPR
(The Washington Post) – Usai gempa mengguncang Turkiye dan Suriah, puing-puing yang tersisa berubah menjadi sunyi. Kadang ada suara kuat dari kaum wanita, yang berpisah dengan anak-anak mereka. Ada pula suara menyayat hati yang berjuang untuk menyelamatkan diri. Mereka berteriak sampai napas di paru-paru mereka habis.
Di suatu tempat di wilayah Suriah barat laut yang terlupakan, tidak ada petugas penyelamat internasional yang datang. Tidak ada pengiriman bantuan yang membawa obat penghilang rasa sakit kepada para penyintas.
Sementara itu, hanya enam mil jauhnya, melintasi perbatasan di Turkiye, ribuan ton bantuan berdatangan. Ketika itu datang tim kemanusiaan dari Taiwan, yang tanggap merespons permintaan bantuan pemerintah Turkiye.
Warga Suriah seperti berjuang sendirian, juga terisolasi dari dunia. Mereka seakan dibiarkan menyelamatkan diri sendiri, seperti yang berulang kali terjadi selama lebih dari satu dekade perang dan dislokasi.
Di kota Jinderis, Aleppo, yang hancur, setidaknya 850 mayat telah ditemukan pada Jumat pagi. Ratusan orang masih hilang, dan hanya sedikit yang percaya masih ada nyawa yang bisa diselamatkan.
“Kami membutuhkan bantuan, kami meminta bantuan,” kata wali kota Jinderis, Mahmoud Hafar, “itu tidak pernah datang.”
Krisis Demi Krisis
Pada hari Jumat, perbatasan Bab Al-Salama yang melintasi Suriah, hampir kosong. Satu ambulans dengan lampu berkedip sedang menunggu untuk masuk. Satu-satunya kelompok warga Suriah yang bisa menyeberang adalah mereka yang dikembalikan ke keluarganya dalam kantong jenazah.
Di Jinderis, The Washington Post menemukan sekelompok warga yang dicengkeram oleh kebingungan dan sangat kesepian. Kaum pria berdiri menjaga sisa-sisa rumah mereka, serta berusaha menemukan istri dan anak mereka yang mungkin berada di reruntuhan. Saat ekskavator raksasa mencakar puing-puing bangunan, seorang pria tampak mencari anak laki-lakinya yang berusia 13 tahun. Ia meminta wartawan untuk menghubungi PBB dan meminta bantuan.
“Mungkin mereka tidak tahu apa yang terjadi di Jinderis,” ujarnya. “Tidak ada yang bisa melihat ini dan tidak datang ke sini.”
Wilayah ini seperti tak pernah henti mengalami krisis demi krisis. Aleppo menjadi rumah bagi jutaan orang yang berani menghadapi perang dan pengungsian, kelaparan, dan penyakit. Bahkan sebelum gempa, sebanyak 4,1 juta orang di sini amat membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Rezim Bashar Al-Assad memberlakukan pembatasan pergerakan bantuan kemanusiaan di daerah-daerah di luar kendali pemerintah. Warga yang berada di daerah tersebut kemudian dibantu oleh PBB, kadang-kadang oleh negeri tetangga, seperti Turkiye dan Yordania. Jutaan warga sipil yang tinggal di luar kendali Assad pun jadi korban.
“Semua Orang Mati”
Di Sawran, sebuah kota kecil 10 mil dari perbatasan Turkiye, warga mengenang gemuruh bumi yang berguncang. Begitu kerasnya seolah-olah bumi sedang menggeram. Saat bangunan runtuh, warga menangis dan menengadah ke langit. Saat itu 36 orang tewas dan 20 luka-luka.
Berita segera sampai kepada para penyintas gempa tentang apa yang terjadi 40 mil jauhnya, di Jinderis.
“Kami mendengar bahwa Jinderis adalah yang terburuk,” kata Mohammed Jassim, 21 tahun, yang membantu upaya penyelamatan setelah mengetahui bahwa bibinya, suaminya, dan anak-anak mereka tewas. “Mereka mengatakan ada ratusan orang di bawah reruntuhan dan mereka tidak memiliki peralatan untuk membantu.”
Sepanjang hari, Jassim mendengar tangisan. Ada goresan di tangannya karena terkena puing-puing bangunan. “Bayangkan, mereka masih menangis setelah empat hari. Ini tak terbayangkan. Semua orang mati,” katanya dengan ekspresi hampa.
Zakaria Tabakh, 26 tahun, datang dari Aleppo, kota yang hancur lebur oleh serangan udara dan bom gentong rezim Assad. Seluruh wilayahnya berupa reruntuhan.
Tabakh bermaksud membangun kehidupan baru di Jinderis. Ia bahkan telah menikah dan memiliki dua anak.
Pada hari Ahad malam, dia telah menidurkan anaknya yang berusia 2 tahun, Abdul Hadi. Setelah berbaring sebentar, ia kemudian pindah untuk tidur dengan istrinya. Tabakh hanya mengingat sebagian kecil dari apa yang terjadi selanjutnya.
Jinderis kemudian diguncang gempa. Didapatilah Abdul Hadi tewas di tempat dia dibaringkan semalaman. Ia tergeletak di antara puing-puing yang terserak di mana-mana.
Tabakh mengatakan, tak ada yang menghadiri prosesi pemakaman. “Setiap orang sibuk dengan urusannya sendiri,” ujarnya.
Di Jinderis, satu-satunya distribusi bantuan yang terlihat berasal dari badan amal setempat. Bantuan itu misalnya berupa kantong plastik berisi makanan dan selimut yang ditumpuk di atas truk.
Hingga laporan ini ditulis, korban tewas di kawasan barat laut Suriah mencapai lebih dari 2.000, sedangkan di Turkiye 20.000 lebih tewas. Dan masih banyak bangunan yang harus disisir. Masih banyak orang yang belum ditemukan.
Para petugas dan relawan kemanusiaan serta penduduk setempat amat kesulitan melakukan proses penyelamatan. Maklum, satu-satunya peralatan yang tersedia hanyalah berupa sekop dan backhoe yang sudah usang. Alat yang ala kadarnya ini terkadang justru menyakiti orang-orang yang hendak coba diselamatkan.
“Bagaimana Anda bisa menggunakan ini untuk melakukan operasi yang rumit seperti itu? Anda tidak bisa. Itu tidak mungkin,” kata Raed Saleh, relawan White Helmets. “Orang-orang tewas karena kami tidak memiliki peralatan untuk membantu menyelamatkan mereka.”
Menurut Saleh, kedatangan bantuan dan peralatan sering kali terlambat untuk menemukan orang yang selamat. Bantuan itu pun biasanya lebih mengutamakan untuk menangani bangunan yang rusak.
Adapun fasilitas kesehatan, jauh sebelum gempa terjadi, telah dihancurkan oleh bom-bom rezim Assad. Para dokter dan tenaga medis pun melarikan diri.
Pada Senin pagi lalu, kedatangan para korban gempa bergelombang mencapai puncaknya. Di kota Afrin, dokter memperkirakan sekitar 70% pasien yang mereka temui berasal dari Jinderis.
“Kami harus merujuk banyak dari mereka untuk diamputasi,” kata seorang perawat darurat, Ahmed Saqar, 53, melalui telepon. Mereka beraktivitas tanpa henti dan tanpa bantuan sehingga kelelahan. Penyintas dan penyelamat pada saat yang sama merasa kepayahan.
Pada malam hari, suasana menjadi amat gelap dan suhu turun menuju titik beku. Warga yang selamat berkemah di kebun-kebun zaitun, sebab rumah-rumah mereka telah hancur. Sedangkan yang kondisi rumahnya masih baik, takut jika sewaktu-waktu runtuh.
Saat malam tiba, api yang mereka nyalakan dari dahan zaitun menjadi satu-satunya cahaya yang tersisa. (The Washington Post)
Sumber: Sahabat Al-Aqsha.