OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Kamis, 02 Maret 2023

BJ Habibie: Kalau saya ditanya, Habibie ini insinyur, muslim, ataukah Indonesia, saya jawab, “Saya muslim”. Di akhirat nanti tidak ditanya Kewarganegaraan

BJ Habibie: Kalau saya ditanya, Habibie ini insinyur, muslim, ataukah Indonesia, saya jawab, “Saya muslim”. Di akhirat nanti tidak ditanya Kewarganegaraan



BJ Habibie: Kalau Saya Mati, Saya Tidak Ditanya Kewarganegaraan!

Oleh: Dr. Adian Husaini
(Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)

Di awal tahun 1990-an, menyusul terpilihnya Prof. Dr. BJ Habibie sebagai Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), bermunculanlah berbagai tuduhan, bahwa tokoh tertentu tidak Pancasilais, tidak nasionalis, sektarian, dan sebagainya.

Menristek (waktu itu) BJ Habibie, termasuk salah satu tokoh yang banyak mendapat ‘cap’ seperti itu. Tapi, BJ Habibie tak terlalu peduli dengan aneka tudingan seperti itu. Habibie justru berani mengungkap identitas keislamannya.

Dalam wawancara dengan Majalah FORUM KEADILAN, edisi 20 Januari 1994, Habibie ditanya: “Jika anda ditanya, anda ini siapa, insinyur, muslim, atau Indonesia?”

Habibie pun menjawab: “Kalau saya ditanya, Habibie siapa, insinyur, muslim, ataukah Indonesia, saya jawab, “Saya muslim.” Kenapa? Karena kalau saya mati nanti, saya tidak lagi berwarganegara… Kalau saya sampai ke akhirat, yang ditanya bukan warga negara kamu apa. Kamu mempunyai kedudukan apa. Karena itu saya jawab, “Saya muslim.” Karena itu bukan emosional, saya jawab rasional. Kalau kita percaya, pada hari akhir, saya mati tidak akan ditanya paspor. Tapi, kalau saya jawab demikian, jangan lalu ada yang bilang Habibie tidak nasionalis. No….”

Jawaban itu mengguncang jagad politik Indonesia. Beraneka cara kemudian diupayakan untuk menjatuhkan Habibie. Namun, Habibie baru bisa dijatuhkan tahun 1999, setelah laporan pertanggungjawabannya sebagai Presiden RI ditolak oleh MPR.

Jawaban Habibie, bahwa “saya muslim”, menegaskan sikap seorang muslim secara universal, di mana pun berada. Bahwa, orang Islam meletakkan loyalitas tertingginya kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah SWT). Loyalitas kepada makhluk – apa pun – harus diletakkan di bawah loyalitas kepada Tuhan.

Dengan pandangan dan sikapnya itu, BJ Habibie telah bersikap adil dan beradab. Sebab, Habibie meletakkan sesuatu pada tempatnya yang betul, sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan Allah SWT. Manusia yang menganggap dirinya lebih hebat dari Tuhan – sehingga tidak mau diatur oleh Tuhan – sejatinya telah berlaku zalim. Tindakan menyekutukan Allah dengan makhluk disebut perbuatan syirik, yang merupakan kezaliman yang besar! (QS 31;13).

*****

Cara pandang yang adil dan beradab terhadap “tanah air”, telah dicontohkan oleh para cendekiawan dan ulama Islam sebelum kemerdekaan RI. Salah satu cendekiawan terkemuka di Indonesia, Haji Agus Salim, pernah menulis artikel berjudul “Cinta Bangsa dan Tanah Air” (Harian Fajar Asia, 28 Juli 1928), yang isinya mengkritisi cara pandang nasionalisme sekuler yang memuja “Ibu Pertiwi” secara berlebihan sehingga sampai menjadikan Ibu pertiwi itu sebagai “Tuhan”.

Agus Salim menulis, “… demikian juga dalam cinta tanah air, kita mesti menujukan cita-cita kepada yang lebih tinggi daripada segala benda dan rupa dunia, yaitu kepada hak, keadilan, dan keutamaan yang batasnya dan ukurannya telah ditentukan oleh Allah Subhanahu wa-ta’ala.” (Lihat, buku Seratus Tahun Haji Agus Salim, 1996).

Pada tanggal 12 November 1957, Pahlawan Nasional Mohammad Natsir menyampaikan pidato bersejaranhya tentang Islam dan Sekulerisme dalam Sidang Majelis Konstituante, yang bertugas merumuskan Dasar Negara bagi Indonesia. Mohammad Natsir mengajak bangsa Indonesia untuk meninggalkan paham sekulerisme dan menjadikan agama sebagai dasar kehidupan pribadi, masyarakat, dan negara.

Ketika itu, Natsir mengingatkan kepada bangsa Indonesia akan bahaya sekulerisme (laa diniyah), bagi kehidupan bangsa dan negara. Begini petikan pidato Mohammad Natsir:

“Di dalam penghidupan perseorangan dan masyarakat, sekulerisme la-diiniyah tidak memberi petunjuk-petunjuk yang tegas. Ukuran-ukuran yang dipakai oleh sekulerisme banyak macamnya. Ada yang berpendapat bahwa hidup bersama laki-laki dan wanita tanpa kawin tidak melanggar kesusilaan. Bagi satu negara menentukan sikap yang tegas terhadap hal ini adalah penting. Sekulerisme dalam hal ini tidak dapat memberi pandangan yang tegas, sedangkan agama dapat memberi keputusan yang terang.”

“Jika dibandingkan dengan sekularisme yang sebaik-baiknya pun, maka adalah agama masih lebih dalam dan lebih dapat diterima oleh akal. Setinggi-tinggi tujuan hidup bagi masyarakat dan perseorangan yang dapat diberikan oleh sekularisme, tidak melebihi konsep dari apa yang disebut humanity (perikemanusiaan). Yang menjadi soal adalah pertanyaan, ”Dimana sumber perikemanusiaan itu? Apa dasarnya?”

“Komunisme, umpamanya, mempunyai konsep “perikemanusiaan” yang berlainan dengan kita. Di dalam negara yang mereka cita-citakan, adanya hak milik dianggap melanggar asas-asas kemanusiaan. Bagi kita, adanya hak milik adalah syarat untuk perikemanusiaan, karena sesuai dengan fitrah manusia.

Sekulerisme, la-diiniyah, tanpa agama, Saudara ketua, tidak bisa memberi keputusan jika ada pertentangan pikiran berkenaan dengan konsepsi masyarakat, hidup sempurna dan sebagainya. Pertentangan tentang konsep kemanusiaan ini tidak mungkin diselesaikan dengan paham sekulerisme yang pada hakekatnya merelatifkan semua pandangan-pandangan hidup.

Paham agama adalah sebaliknya. Ia memberikan dasar yang terlepas dari relativisme. Inilah sebabnya mengapa konsepsi “humanity” yang berdasarkan agama, lebih logis, lebih meliputi, dan lebih memuaskan. Paham agama memberikan dasar yang tetap, yang tidak berubah. Segala yang bergerak dan berubah harus mempunyai dasar yang tetap, harus mempunyai apa yang dinamakan point of reference , titik tempat memulangkan segala sesuatu. Jika tidak ada dasar yang tetap, maka niscaya krisis dan bencana akan timbul… (Pidato lengkap Moh. Natsir dimuat dalam buku, M. Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Jakarta: DDII, 2001).

Demikianlah, para tokoh bangsa telah memberikan panduan dalam memandang Islam dan kebangsaan dan meletakkan sesuatu pada tempatnya. Inilah makna bahwa kita hidup mendasarkan diri kepada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dan hidup sebagai manusia yang adil dan beradab. Sikap adil dan beradab itu hanya bisa terjadi jika dipimpin oleh hikmah. Tujuannya adalah terciptanya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Wallahu A’lam bish-shawab. 

Sumber: PBI