
Foto: Arsip AP
10Berita, WASHINGTON – Najmudin Ablet, seorang pria Uyghur dari Turkistan Timur (Xinjiang), melakukan perjalanan ke Turkiye pada tahun 2016 dengan paspor yang dikeluarkan Cina. Namun, sejak 2017 ia tidak dapat lagi menghubungi keluarganya yang masih tinggal di Xinjiang, termasuk istri, dua anak, dan tiga saudara laki-lakinya.
Semuanya ditahan, kemudian dijatuhi hukuman atas berbagai tuduhan pelanggaran. Seorang saudaranya meninggal di penjara, dan seorang lagi meninggal dua bulan setelah dikeluarkan dari kamp konsentrasi Xinjiang, menurut laporan terbaru yang diterbitkan oleh University of Sheffield di Inggris.
Banyak Muhajirin Uyghur memiliki kisah serupa tentang penganiayaan oleh otoritas Cina. Akan tetapi, dalam kasus Ablet, aparat komunis Cina juga mencoba menggunakan keluarga Ablet sebagai bujukan untuk merekrutnya menjadi informan terhadap Muhajirin Uyghur lainnya di Turkiye.
Pada hari Selasa (11/4/2023), dua penulis laporan “We Know You Better Than You Know Yourself: China’s Transnational Repression of the Uyghur Diaspora” mempresentasikan temuan mereka dalam panel yang diselenggarakan oleh Uyghur Human Rights Project yang berbasis di Washington.
Menurut sang penulis, David Tobin, dosen Kajian Asia Timur di Universitas Sheffield, dan Nyrola Elima, peneliti independen, laporan tersebut terutama berfokus pada represi transnasional Cina terhadap Muhajirin Uyghur di Inggris, Turkiye, dan Thailand.
Tawaran dari Aparat Cina
Tobin mengatakan, polisi Cina di Xinjiang menghubungi Ablet melalui aplikasi WeChat dan menawarinya kesempatan untuk melihat putranya yang dipenjara melalui kamera.
Mereka kemudian memintanya bekerja untuk mereka, mengambil foto Muhajirin Uyghur di Turkiye, dan berjanji akan melepaskan putranya dan juga memberikannya uang bayaran. Ablet menolak.
Menurut Tobin, tak sedikit Muhajirin Uyghur yang ditawari informasi tentang anggota keluarga mereka yang ditahan sebagai imbalan untuk melakukan pengawasan terhadap aktivis Uyghur di tempatnya.
Dia membahas kisah seorang wanita Uyghur yang dipanggil oleh polisi Cina yang memerintahkannya untuk mengambil foto dan mengumpulkan informasi tentang teman-teman Uyghurnya di Turkiye.
Ketika dia menolak, polisi menjawab, “Kami mengenal Anda, lebih daripada Anda mengenal diri sendiri.”
Tobin mengatakan, meskipun wanita Uyghur itu sudah menjadi warga negara Turkiye yang tinggal di Istanbul, ribuan mil dari tanah airnya, dia terus diawasi dan selalu diincar oleh negara komunis tersebut.
“Kami mewawancarai lebih dari 50 orang Uyghur tentang pengalaman mereka dalam represi transnasional,” kata Nyrola dalam panel tersebut. “Mayoritas dari mereka menghadapi represi transnasional.”
Menurut para penulis, sekira dua pertiga Muhajirin Uyghur yang disurvei di Inggris telah diancam secara langsung, dan 80% Muhajirin Uyghur di Turkiye melaporkan, mereka merasa tidak aman dari ancaman rezim komunis Cina.
Sekira 4 dari 5 Muhajirin Uyghur dilaporkan diancam secara langsung maupun keluarganya yang di Xinjiang diancam oleh otoritas Cina karena mereka tinggal di Turkiye. (VoA News)
Sumber: Sahabat Al-Aqsha.