
Foto: Arsip AFP
10Berita, BANGLADESH – Penting untuk memahami peran besar yang dimainkan jurnalisme dalam krisis kemanusiaan, seperti kasus Muhajirin Rohingya di Bangladesh. Media memiliki kapasitas untuk membentuk persepsi publik terhadap para Muhajirin dan memengaruhi opini suatu negara.
Pers di Bangladesh telah mengalami transformasi yang signifikan dalam penggambaran Muhajirin Rohingya. Media awalnya menampilkan mereka sebagai korban yang tidak bersalah dan harus ditolong, kemudian berubah sebagai ancaman dan beban.
Pada Agustus 2017, media menggambarkan para Muhajirin Rohingya sebagai kelompok minoritas yang teraniaya karena etnis dan agama mereka, serta sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Bangladesh diapresiasi karena membuka perbatasannya guna menyelamatkan nyawa ratusan ribu Muhajirin Rohingya, dan Perdana Menteri Sheikh Hasina disanjung sebagai “ibu kemanusiaan”.
Namun, narasi ini dengan cepat berubah. Dalam beberapa bulan, media memusatkan perhatian pada tekanan ekonomi yang ditimbulkan setelah kedatangan para Muhajirin. Laporan kerusakan lingkungan dan pertumbuhan populasi yang cepat di antara para Muhajirin disebar luas.
Politisi ikut menyebut Rohingya sebagai “ancaman keamanan”, yang mengakibatkan pemberlakuan kebijakan keras seperti pembatasan internet, penyitaan kartu SIM, pemasangan pagar kawat berduri, repatriasi paksa, hingga relokasi ratusan Muhajirin ke Pulau Bhashan Char yang terisolasi dan rawan bencana.
Media lokal Bangladesh telah memainkan peran penting dalam mengobarkan sentimen anti-Rohingya, menghadirkan pandangan sempit bahwa Muhajirin Rohingya adalah ancaman dan beban negara. Media dengan terampil mengeksploitasi algoritme Facebook untuk memperkuat narasi negatif mereka, yang selanjutnya berkontribusi terhadap marginalisasi komunitas Rohingya.
Sejak saat itu, penggambaran media tentang Muhajirin Rohingya selalu negatif. Surat kabar Bangladesh terutama menyoroti kisah kejahatan dan kekerasan yang terkait dengan para Muhajirin. Foto-foto mereka dengan dikelilingi oleh petugas penegak hukum bersenjata sering ditunjukkan.
Para Muhajirin sering disebutkan sebagai gelombang individu yang takkan ada habisnya yang akan mengambil alih lowongan pekerjaan setempat, membebani negara, dan pada akhirnya mengancam kehidupan penduduk asli Bangladesh.
Liputan-liputan ini sering didorong oleh agenda politik, dengan informasi yang tidak diverifikasi dari pihak berwenang menjadi berita utama dan disebarluaskan ke berbagai platform.
Pihak berwenang dengan terampil memandu media domestik yang patuh untuk memproduksi banyak artikel berita, video promosi, bahkan sebuah buku, sambil menghindari penyebutan berbagai kesulitan yang dihadapi oleh Muhajirin Rohingya.
Isu-isu yang belum tertangani ini termasuk kondisi tenggelam dalam upaya melarikan diri dari kamp, fasilitas yang tidak memadai, perampasan hak dan kebebasan untuk Rohingya, serta penganiayaan oleh pihak berwenang.
Sebagian besar wartawan Bangladesh seolah bungkam untuk membicarakan penyelewengan pihak berwenang terhadap para Muhajirin. Tidak ada investigasi maupun laporan yang memadai tentang pelanggaran hak asasi manusia, perlakuan buruk oleh penegak hukum, dan kondisi kehidupan yang buruk di kamp-kamp pengungsian.
Bisa dibilang permasalahan Muhajirin yang paling signifikan adalah proses repatriasi. Upaya pemerintah Bangladesh untuk memulangkan mereka ke Myanmar belum mendapatkan pengawasan yang cukup oleh media, di tengah persoalan keamanan dan pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung di negara asal mereka.
Penting untuk dicatat bahwa repatriasi yang tidak berkelanjutan telah terjadi selama 40 tahun terakhir, dan ini bukanlah informasi baru bagi pers. Namun, media terus menggemakan narasi yang sama dengan pemerintah, yang memaksakan agar repatriasi dapat segera terealisasi.
Komunitas Muhajirin, sebagai minoritas yang rentan, dapat dengan mudah menjadi kambing hitam atas berbagai masalah nasional di Bangladesh.
Mengingat tragedi yang dialami etnis Rohingya pada tahun 2017 dan kudeta militer di Myanmar, kebutuhan akan jurnalisme yang bertanggung jawab, berempati, dan terinformasi dengan baik di Bangladesh semakin mendesak dibandingkan sebelumnya.
Sangatlah penting untuk mendukung jurnalisme investigasi yang didedikasikan untuk penelitian menyeluruh, memberikan informasi yang tepat, mengawasi serta memintakan pertanggungjawaban kepada mereka yang berkuasa.
(The Daily Star)
Sumber: Sahabat Al-Aqsha.