Walhi Endus Kaitan Ekspor Pasir Laut dengan Pilpres 2024

10Berita - Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara Faizal Ratuela curiga momentum jelang pemilihan presiden (Pilpres) 2024 menjadi salah satu alasan pemerintah membuka keran ekspor pasir laut.
Faizal bingung mengapa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Sedimentasi Hasil Laut yang mengizinkan ekspor pasir laut muncul tiba-tiba. Padahal, ekspor pasir laut sudah dilarang sejak 20 tahun lamanya.
"Biasa, Walhi melihatnya kalau mau mendekati momentum Pilpres pasti akan banyak izin keluar. Peraturan yang ikut pun akan sangat kuat," ungkapnya dalam diskusi virtual di kanal YouTube Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Minggu (11/6).
Ia menegaskan lahirnya PP Nomor 26 Tahun 2023 makin mengancam keberlangsungan pulau-pulau kecil.
Secara khusus, Faizal khawatir pulau-pulau kecil di Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Maluku akan rusak bahkan hilang.
Faizal lantas mengungkit soal pernyataan Presiden Jokowi saat membanggakan pertumbuhan ekonomi Maluku Utara yang mencapai 28,33 persen pada kuartal I 2022 dan 27,74 persen pada kuartal II 2022, di mana menjadi yang terbesar di dunia.
Menurutnya, Jokowi hanya melihat Maluku Utara dari segi sumber daya alam (SDA), bukan secara manusiawi.
"Kami melihat, biasanya momentum menuju Pilpres akan lahir sejumlah regulasi berbarengan dengan investasi yang akan bertambah," tegas Faizal.
"Saya terngiang yang disampaikan Presiden Jokowi (pertumbuhan ekonomi) secara terang Maluku Utara tidak dilihat dalam aspek manusianya, hanya sebatas konteks SDA. Hal itu terlihat dalam perubahan bentangan alam yang masif, degradasi nasional yang luar biasa di lingkungan yang saat ini menjadi lokasi proyek strategis nasional (PSN)," tutupnya.
Pengamat IPB Heran Jokowi Buka Ekspor Pasir Laut: Apakah Bermotif Ekonomi?
Presiden Jokowi mencabut larangan ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut yang diterbitkan pada 15 Maret 2023.
Merespons hal tersebut, Pengamat Kelautan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Zulhamsyah Imran, menyebut pencabutan larangan ekspor pasir laut, seakan memihak kelompok kapitalis.
"Ini perlu dikritisi. Sebetulnya kita memihak rakyat atau kelompok kapitalis untuk memuaskan sisi ekonomi?," kata Zulhamsyah dalam diskusi Kelautan Perikanan, Minggu (11/6).
Lebih lanjut, Zulhamsyah menilai, nomenklatur yang digunakan pemerintah terlalu rancu.
Sebab, sedimentasi yang dimaksud dalam PP 26 Tahun 2023 memiliki dua makna yakni soal lumpur dan pasir laut.
Dia mempertanyakan, motif pemerintah membuat peraturan yang begitu rancu. Menurut dia, sangat sulit membedakan pasir laut dan lumpur.
"Kenapa tidak terang-terangan yang ditambang pasir laut? Apakah ini bermotif ekonomi?" ungkap dia.
Di sisi lain, Zulhamsyah memaparkan, sumber daya laut khususnya ikan di Indonesia semakin meningkat.
Jumlah stok ikan atau maximum sustainable yield (MSY) Indonesia bergeser dari semula 6,5 juta ton per tahun menjadi 12,5 juta ton per tahun.
Kemudian dari 571 wilayah pengelolaan perikanan (WPPNRI) menjadi 718 wilayah termasuk di Papua dan Papua Barat.
"Ini pertanyaan besar kalau seandainya sumber daya ikan kita besar kenapa kita tidak optimalkan potensi itu?" katanya bertanya-tanya.
"Kenapa harus kita bunuh dalam bahasa sedikit keras dengan menghancurkan ekosistem yang mereka tempati?" imbuhnya.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono sebelumnya menjelaskan bahwa kebijakan Jokowi mengizinkan ekspor pasir laut lagi karena kebutuhan mendukung proyek pembangunan nasional dan pasar luar negeri. Sakti berkata prioritasnya adalah kebutuhan pembangunan dalam negeri.
"Ini bukan menjual negara. Ini tidak menjual negara," katanya kepada wartawan di Kantor Kementerian KKP, Rabu (31/5).
Ia mengatakan pasir laut hasil sedimentasi yang dikeruk akan diutamakan untuk kepentingan dalam negeri.
Hal ini utamanya, untuk mendukung reklamasi, pembangunan IKN dan sejumlah infrastruktur.
"Ada permintaan reklamasi, IKN, mengambil pasir dari mana, ini boleh tapi dari sedimentasi," katanya.
Timbulnya beleid yang mengizinkan lagi pengerukan hingga ekspor pasir laut memang membuka masa lalu kelam Indonesia.
Sederet penolakan dilayangkan kepada Presiden Jokowi, baik dari pegiat lingkungan hingga eks Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) 2014-2019 Susi Pudjiastuti.
Restu Jokowi dalam beleid tersebut menyudahi pelarangan yang telah berlaku selama 20 tahun.
Padahal, pasir laut dilarang diekspor sejak masa pemerintahan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri.
Kala itu, Megawati melarang ekspor pasir laut yang diatur oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soemarno melalui Kepmenperin Nomor 117 Tahun 2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Laut.
Ekspor pasir laut saat itu dihentikan demi mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas, yakni tenggelamnya pulau kecil.
Sumber: cnnindonesia