NAHLOH! BLUNDER Soal NU dan Muhammadiyah, Tito Karnavian Dicap 'Kacau'
10Berita, Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan, dia sudah memerintahkan kepada jajaran kepolisian mulai dari Mabes sampai Mapolsek agar memperkuat NU dan Muhammadiyah. Yang lain-lain di luar kedua ormas terbesar ini, diabaikan saja atau dipalingbelakangkan saja.
Pernyataan Pak Tito itu sangat terbuka untuk ditafsirkan sebagai titah (perintah) untuk memusuhi ormas atau kelompok muslim yang tidak langsung berada di dalam struktur maupun pembinaan NU dan Muhammadiyah. Sekali lagi, terbuka untuk ditafsirkan seperti itu.
Kapolri menyampaikan pernyataan yang konfrontatif itu dalam pengarahan di depan para pimpinan, ulama dan kiyai NU belum lama ini. Menurut Tito, yang “lain-lain” itu bukannya membangun NKRI melainkan mau menghancurkan negara ini.
Ada dua aspek yang perlu kita lihat. Pertama, pernyataan Pak Tito itu menunjukkan bahwa beliau tidak mempelajari sejarah perjuangan umat Islam. Kedua, Pak Tito menolak fakta persatuan kaum muslimin dalam bentuk aksi-aksi damai yang dihadiri berjuta orang sejak akhir 2016.
Untuk poin pertama, pakar sejarah perjuangan kemerdekaan, Lukman Hakiem, menejelaskan bahwa sejarah mencatat begitu banyak organisasi atau perhimpunan masyarakat Islam di luar NU dan Muhammadiyah yang berkontribusi mendirikan Indonesia. Ormas-ormas itu sifatnya lokal tetapi ikut berjuang.
Pak Lukman menyebutkan Al-Washliyah di Sumut, al-Irsyad di Sulsel, dan ada Persis. Kemudian ada sejumlah parpol yang menjadi bagian dari perjuangan awal bangsa dan negara seperti PSII, Perti, Partai Thariqat, Masyumi, dlsb. Itulah koreksi Pak Lukman Hakiem untuk Pak Kapolri.
Singkat cerita, Pak Tito dipermalukan oleh kecerobohan beliau sendiri. Yaitu, keceborhan akibat tidak mempelajari sejarah umat. Beliau mengatakan dengan bangga bahwa Polri tak perlu dengan yang lain, hanya NU dan Muhammadiyah. Kelihatannya, bagi Pak Tito yang lain-lain itu “pengacau”. Untuk itu, secara implisit Pak Lukman Hakiem menyindir bahwa justru Pak Tito-lah yang “kacau”.
Untuk poin kedua, kita paham siapa-siapa saja yang dimaksudkan Pak Tito sebagai “yang lain-lain” itu. Saya berani menduga bahwa yang dimaksudkan Pak Kapolri itu hampir pasti gerakan-gerakan kaum muslimin yang muncul belakangan ini seperti FPI, FUI, terus ada GNPF dan Alumni 212, dsb.
Pak Tito lupa bahwa semua pemikiran berproses. Keterkotakan kaum muslimin pun berproses. Yang juga berproses adalah proses penyerapan pengetahuan. Karena itu, pastilah cara pandang warga NU dan warga Muhammadiyah telah mengalami proses yang menumbuhkan perubahan dalam pendekatan masing-masing terhadap prinsip dasar dari lawan berselisih selama ini.
Proses yang menumbuhkan perubahan itu membuat jurang pemisah antara kedua ormas terbesar ini semakin kecil. Itulah sebabnya aksi-aksi damai kaum muslimin sejak akhir 2016, yang berlanjut dengan aksi-aksi yang semakin merajut persaudaraan itu, bisa terwujud. Bisa terlaksana dengan rapi dan penuh dengan pengorbanan individual.
Apakah masih perlu dijelaskan kepada Pak Tito bahwa jutaan orang yang ikut dalam aksi-aksi itu adalah warga NU dan Muhammadiyah. Mereka bukan siapa-siapa. Bukan orang FPI. Bukan orang bayaran. Mereka adalah para mukhlishin (orang-orang ikhlas) yang datang dari basis-basis NU dan Muhammadiyah.
Dan, harap diingat, semua ormas lain di luar kedua ormas besar itu justru dilahirkan oleh orang-orang NU dan Muhammadiyah. Bukankah Indonesia ini pada dasarnya adalah NU dan Muhammadiyah? Itulah hasil dari proses. Mereka berproses. Pemikir dan pemikiran di kedua ormas utama itu mengalami proses. Berproses menuju kuadran yang lebih baik.
Karena proses itulah tumbuh bibit persatuan kaum muslimin dari NU dan Muhammadiyah. Bibit itu sudah lama tersemai dan tumbuh sangat kuat, sampai akhirnya menjadi pohon persatuan yang rindang dan menyejukkan yang antara lain bersimbolkan 411 dan 212, dst.
Jadi, di belakang layar, NU dan Muhammadiyah melakukan “pembibitan silang” yang melahirkan “varian baru umat”. Varian baru ini, kelihatanya, akan berkembang terus menjadi pohon persatuan yang kuat dan tangguh. Sebab, di dalam dirinya ada darah NU dan darah Muhammdiyah. Dan mereka sekarang sudah bisa saling menerima transfusi.
Dinamika hubungan NU dan Muhammadiyah kelihatannya berlangsung jauh lebih cepat dari pemahaman Kapolri tentang mereka. Pak Tito masih berasumsi bahwa kedua ormas ini tidak berubah, tetap seperti dulu. Padahal, interaksi warga dari kedua ormas itu sangat intensif sehingga bisa membuang perbedaan remeh-temeh yang tidak prinsipil.
Nah, kalau Pak Tito mengatakan “orang lain” di luar NU dan Muhammadiyah tidak perlu dihiraukan, itu sama dengan Anda tidak mengakui hasil kerja keras warga NU dan warga Muhammadiyah yang telah melahirkan varian baru umat Islam. Yang rugi Anda sendiri, Pak Tito. Sebab, varian baru kaum muslimin ini tidak lagi memiliki sekat-sekat ikhtilaf. Ia akan tumbuh terus sampai sebesar NKRI.
Kalau Pak Tito memusuhi varian baru itu, yakinlah Pak bahwa nama Anda akan tercatat di dalam data base sejarah sebagai Kapolri yang tak menyukai persatuan umat, tak menyukai kekuatan perekat NKRI. Yang akan menyatukan dan mengamankan bangsa dan negara ini.
Jadi, kita imbau Pak Kapolri dan jajarannya agar menerima generasi baru kaum muslimin yang lahir dari semangat juang warga NU dan Muhammadiyah untuk menghilangkan perpecahan dan sebaliknya menumbuhkembangkan persatuan.
Mohon jangan Bapak gunakan terminologi “yang lain-lain” untuk menggambarkan para ulama, ustad, dan aktivis yang kritis terhadap penguasa. Padahal, “yang lain-lain” itu justru memberikan dampak positif untuk persatuan umat dan bangsa.
Tetapi, memanglah tak terelakkan bahwa suasana kondusif dan bersatu di sebalah sini, biasanya akan meresahkan orang di sebelah sana.
Penulis: Asyari Usman
Sumber : PORTAL ISLAM