Amatullah Al-Masriyyah, Muslimah dalam Tiga Medan Jihad
10Berita – Di belakang para mujahid hebat, ada sosok wanita yang selalu menguatkannya. Tinta sejarah Islam juga tak lepas dari peranan para mujahidah yang turun langsung ke kancah pertarungan. Atau muslimah yang tetap di rumah tetapi kehadirannya membuat para mujahid kuat dan tertambat hatinya pada jihad dan perjuangan.
Kita saksikan dalam lintasan sejarah bagaimana peranan istri tercinta Rasul, Khadijah binti Khuwailid dalam menopang dakwah Rasulullah. Saudagar kaya ini mendukung dakwah Rasul baik secara moral dan material. Bagaimana Khadijah menenangkan Rasul setelah menerima wahyu untuk pertama kalinya. Juga istri Rasulullah yang lain, Ummu Salamah yang memberikan kekuatan hati saat perjanjian Hudaibiyah. Ummu Salamah memberikan saran dan mendukung Nabi hingga masalah terpecahkan.
Pada abad ini tentu sosok wanita mulia seperti ini sangat didambakan. Salah satunya yang akan kita bahas saat ini. Yaitu seorang wanita Mesir yang terlahir dalam keluarga mujahid. Kesabaran dan kegigihannya hidup di dunia jihad menjadi teladan bagi wanita-wanita masa kini. Tidak tanggung seluruh apa yang ia punya digunakan perjuangan. Dia adalah Amatullah Al-Masriyyah
Mengenal Lebih Dekat Amatullah Al-Masriyyah
Lahir di negeri Nabi Musa pada tahun 1403 Hijriyah bertepatan dengan tahun 1983 Masehi. Hidup di lingkungan keluarga yang religius dan bermental pejuang. Ketika ia berumur satu atau dua tahun, keluarganya membawa Amatullah berhijrah ke negeri jihad, bumi Afghanistan.
Ayahnya adalah seorang mujahid ahli persenjataan pendamping syaikh Aiman Adz-Zawahiri hafidzahullah. Beliau syahid ketika mempersiapkan persenjataan roket untuk mujahidin. Kakaknya juga syahid ketika berjihad bersama para mujahidin Afghanistan. Jadi, bisa dibilang Amatullah tumbuh di lingkungan para mujahidin dan dikelilingi para syuhada.
Memasuki usia empat belas tahun, Amatullah menikah dengan salah seorang ulama Yaman. Setelah menghabiskan masa kecilnya di bumi Afghan, ia pun dibawa suaminya berhijrah ke Yaman. Selama di Yaman, ia menimba ilmu agama dari suaminya. Seorang Amatullah tumbuh berkembang dari keluarga mujahid dan belajar ilmu agama dari seorang ulama mujahid. Setelah satu dasawarsa hidup di Yaman dan dianugerahi lima orang anak, kedua pasangan bahagia ini kembali ke bumi jihad Afghan bersama para mujahid kecilnya.
Kembali Ke Afghanistan
Setibanya di Afghanistan, mereka segera menetap dan sang suami berangkat berjihad bersama para mujahidin. Qadarullah, suami Amatullah menyusul ayah dan kakaknya menuju kesyahidan. Suaminya syahid diterjang peluru dari drone.
Amatullah yang sedari kecil telah kehilangan ayah dan kakaknya tentu sudah siap secara mental. Justru hal itu membuatnya bahagia karena hidup di lingkungan para syuhada. Dengan ketabahannya, ia hidup bersama lima orang anak di tanah jihad Afghanistan. Anak-anaknya ia ajari bagaimana hidup sebagai seorang pejuang di jalan Allah. Ibarat Khansa’ masa kini yang mendidik anak-anaknya agar menjadi mujahid fi sabilillah.
Setelah beberapa tahun menjalani kehidupan sebagai janda, Amatullah menikah lagi. Di pernikahan yang kedua ini ia dianugerahi satu orang anak dan berhijrah ke Syam. Untuk alasan keamanan, Amatullah berangkat terlebih dahulu dan ketika ia sampai di Turki ia mendapat kabar gembira. Kabar gembira itu adalah suaminya mendapatkan kesyahidan menyusul ayah,kakak dan suami pertamanya. Maka, dengan bergabungnya suami keduanya di kafilah para syuhada, Amatullah kembali ke dalam kehidupan sebelumnya, mengarungi perjuangan bersama anak-anaknya.
Setelah suaminya syahid, banyak pihak menyarankan Amatullah menetap di Turki demi kelangsungan hidup anak-anaknya. Namun, justru Amatullah merasakan sebaliknya. Hatinya tetap tertambat pada negeri Syam yang sejak awal ia niatkan untuk berhijrah di bumi yang diberkahi itu. Ia merasa tidak bisa hidup di Turki karena tidak dapat menerapkan syariat Islam secara kaafah. Ia takut dengan ketidakmampuannya melaksanakan syariat Allah secara sempurna berdampak pada pendidikan anak-anaknya nanti. Maka, dengan kemantapan hati, Amatullah melangkahkan kaki ke negeri Syam bersama keenam anaknya.
Hijrah ke Syam, Tanah yang Diberkahi
Setibanya di Syam bersama anak-anaknya, Amatullah melanjutkan keyakinan hatinya untuk meraih keridhaan Allah. Ia mengirimkan anak tertuanya untuk berjihad di garis depan bersama para mujahid. Kemudian menyusul anaknya yang kedua. Tetapi karena umurnya yang masih belia, anak itu belum diizinkan terjun ke medan jihad. Sebagai gantinya ia diberikan bimbingan dan pengawasan khusus oleh mujahidin.
Apa yang dilakukan Amatullah? Apakah cukup dengan dia mengirimkan kedua anaknya ke medan jihad? Tentu tidak, ia sendiri menghibahkan dirinya untuk jihad fisabilillah. Meskipun, keadaannya yang serba kerepotan dan kekurangan karena menjadi single parentyang mengurus anak-anaknya, ia tetap menyempatkan diri berkontribusi di dalam jihad dengan melayani anak-anak yatim dan para janda. Ketika masa pelayanan sedang vakum, ia tidak berpangku tangan. Waktu luang yang ada ia gunakan untuk menuntut ilmu agama. Masya Allah…
Dari beberapa janda yang dilayani oleh Amatullah menuturkan bahwa wanita Mesir ini selalu menghiasi wajahnya dengan senyuman. Berat dan beban hidup tidak membuat dia mengeluh dan selalu ringan tangan terhadap kesulitan yang menimpa orang lain. Ketika di Afghan, Amatullah sering mengeluarkan uang untuk membantu para keluarga mujahidin non Afghan dan memastikan kebutuhan hidup mereka terpenuhi. Ilmu yang ia dapatkan dari suami pertamanya ia tularkan kepada para wanita terutama saat Ramadhan tiba.
Amatullah juga dikenal sebagai wanita yang lantang menyuarakan kebenaran. Ia tidak pernah takut dengan ancaman atau hambatan yang menghadang. Kematian bukanlah hal yang menakutkan baginya, justru ia dambakan agar bisa bergabung dengan kafilah syuhada bersama ayah dan saudaranya. Ia menjadi seorang yang paling keras penolakannya jika kaum muslimin hidup di bawah sistem kafir.
Ia pernah berwasiat kepada anak-anaknya untuk tidak pergi meninggalkan negeri Syam. Dalam persoalan pendidikan, Amatullah adalah sosok yang sangat perhatian. Ia rela tidak memejamkan mata hingga larut malam untuk mengajari anaknya. Di samping kegiatannya yang super sibuk di siang harinya, ia tetap menomor satukan tarbiyah islamiyahbagi anak-anaknya.
Syahidnya Khansa’ Abad ini
Setelah mendermakan diri dalam jihad di Syam selama dua tahun, Allah mentakdirkannya bergabung dengan ayah, kakak dan suaminya. Dua hari setelah hari raya Idul Fitri, Amatullah terkena serangan udara ketika berkunjung ke rumah temannya.
Satu bulan sebelum kesyahidannya, Amatullah sebenarnya telah merasakan hal itu akan segera terjadi. Ia tetap menjalankan aktivitas sehari-hari seperti biasa, memasak dan menyiapkan makanan bagi saudaranya yang sedang sakit. Penuturan dari beberapa orang yang disekitarnya, menjelang kesyahidannya amatullah terlihat sangat tenang dan sering berujar bahwa kesyahidannya sudah dekat.
Salah seorang ada yang bertanya pada Amatullah ketika mendengar bahwa “waktu” itu telah dekat,”Siapa yang akan menjaga anak-anakmu nanti?”, Amatullah dengan tenang menjawab,”Mereka memiliki Allah.”
Amatullah yakin di dalam hatinya dan tidak merasa takut sedikitpun jika nanti dirinya dipanggil Allah. Ia yakin Rabb yang Maha Kuasa tidak akan menelantarkan anaknya. Wanita Mesir ini berpikir bahwa alam semesta ini begitu mudah Dia ciptakan, apalagi hanya sekadar memenuhi kebutuhan anak-anak sepeninggalnya.
Ketika hari itu tiba, saat itu terdengar suara sirine meraung-raung tanda adanya serangan udara. Maka, semua penduduk berdiam diri di rumah dan tiarap di atas lantai. Saat itu Amatullah tiarap di dekat jendela dan tetiba rudal meluncur dan pecahannya mengenai Amatullah. Saat itulah ia syahid seketika menyusul keluarganya.
Kegigihan, kesabaran dan tawakkalnya pada Allah menjadi teladan mulia bagi muslimah saat ini. Semoga kelak muncul Amatullah-Amatullah lain yang siap menjadi penguat perjuangan para mujahid meraih kemenangan kemuliaan atau kesyahidan. Wallahu a’lam bi shawab.
Penulis : Dhani El_Ashim
Editor : Arju
Diambil dari Al-Risalah Magz #4 halaman 45-46
Sumber :Kiblat.