OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Minggu, 09 April 2017

Ketua Komisi Hukum MUI: Tuduhan Makar Pemimpin Aksi 313 Bentuk Abuse of Power

Ketua Komisi Hukum MUI: Tuduhan Makar Pemimpin Aksi 313 Bentuk Abuse of Power

10Berita, Jakarta – Ketua Komisi Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikhsan Abdullah menyebut aksi penangkapan disertai sangkaan makar terhadap pemimpin aksi 313 sebagai abuse of power.

“Ini namanya abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan, karena makar itu dalam KUHP harus didahului oleh percobaan makar, tindakan percobaan makar untuk menggulingkan pemerintahan yang sah,” kata Ikhsan saat dihubungi Kiblat.net, Ahad (9/4).

“Kalau Al Khattath itu nggak ada seperti itu. Karena apa yang digagas oleh beliau sudah dilaporkan terhadap kepolisian, dan tidak mungkin sembunyi-semubunyi,” imbuhnya.

Ia melanjutkan, untuk sebuah usaha makar atau menggulingkan kekusaan yang sah, tidaklah mungkin diberitahukan terlebih dahulu. Sebalinya, aksi makar merupakan sebuah tindakan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Karenanya, tuduhan makar sangat bertentangan dengan apa yang dilakukan Al Khattath.

Penggunaan pasal makar terhadap para pemimpin aksi 313 dianggap Ikhsan terlalu berlebihan. Pasalnya, kegiatan demo merupakan aktifitas yang dijamin oleh undang-undang. Selain itu rencana aksi juga sudah melalui proses perizinan kepada kepolisian.

“Tak sepatutnya dikenakan pasal makar,” ujarnya.

Sebelumnya, Pakar hukum tata negara Margarito Kamis menegaskan aksi 313 tak bisa disebut sebagai makar. Kasus penangkapan para pemimpin aksi itu diprediksi akan bernasib sama dengan peristiwa 212.

Margarito Kamis mengatakan bahwa, sebuah aksi demonstrasi tidak bisa dikatakan sebagai aksi makar. Aksi itu pun hanya merupakan kegiatan menyuarakan pendapat. Meski diantara tuntutan aksi 313 adalah pemberhentian presiden, unjuk rasa tak bisa disebut sebagai makar.

“Itu (aksi 313, red) hanya orang yang menyuarakan pernyataan secara terbuka, dan bahkan polisi bilang mereka mau datang ke DPR untuk mengubah UUD dan meminta memberhentikan Presiden, karena memang MPR punya wewenang untuk itu. Jadi kalau MPR melakukan wewenangya, lantas apa salahnya,” ungkap Margarito  beberapa waktu lalu.

Reporter: Muhammad Jundii
Editor: Imam S.

Sumber : Kiblat.net