OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Kamis, 06 April 2017

Off Budget/ Non Bujeter, Sirkus Ahok di DKI

Off Budget/ Non Bujeter, Sirkus Ahok di DKI

Hasil gambar untuk fahri hamzah


Kita lanjutkan membahas Non Budgeter sambil dalam perjalanan…
Saya bukanlah orang yang asing dengan pola pelibatan pasar dalam public services dimana peran negara semakin minimal.
Hal tersebut adalah keniscayaan dari perubahan struktur kekuasaan dimana negara bukan lagi satu-satunya pemegang sumberdaya.
Bahkan trend terjadi penguatan kelompok-kelompok sosial baik secara ekonomi maupun politik sehingga bisa lebih mandiri dari negara.
Saya bahkan tidak mengingkari fakta terjadinya “kegagalan” negara untuk mengelola persoalan-persoalan public.
Kita menyadari bahwa pasar bergerak jauh lebih progres dari negara, namun negara harus tetap siaga merespon kompleksitas.
Negara harus hadir untuk menegakkan tertib social dan memberi jaminan hukum dalam bekerjanya ekonomi pasar secara lebih Baik.
Meski kita harus percaya pada keaktifan dan kemampuan masyarakat mengatur diri sendiri, namun pasar tetaplah pasar.
Dengan alasan mengurangi beban pemerintah lalu membiarkan pasar mengatur urusan publik itu berbahaya, pasar rentan dengan kegagalan.
Negara tidak boleh membiarkan distribusi kesejahteraan diatur oleh pasar. Itu bias dan rawan konflik kepentingan.
Tidak boleh seorang pejabat publik enjoy deal dengan pasar dengan alasan proses politik kebijakan pada negara ribet dan alot.
Pejabat jangan dibiarkan menebar pesan seolah pasar jauh lebih bersih dan efektif dari pemerintahan yang terkenal korup.
Lalu setelah itu membiarkan pasar mengangkangi proses pembangunan yang kolutif.
Pejabat publik tetaplah harus memberikan pesan yang optimis dan membangun trust masyarakat pada negara dan sistem pemerintahan.
Sebagai pejabat anda tak boleh escape sendiri dari tuduhan publik bahwa pemerintahan penuh kolusi dan korupsi.
Kita tidak bisa bekerja sendiri. Negara tidak mengenal kerja individu. Negara adalah sistem termasuk legislatif.
Legislatif dalam hal ini DPRD adalah wakil rakyat yang dilegalkan konstitusi tidak boleh dilewati dengan alasan apapun.
Legislatif adalah kamar kekuasaan tempat publik melaporkan kegagalan sistem termasuk anomali dalam pasar.
Siapa yang akan mengawasi jika negara bersekongkol dengan pasar untuk menggusur rakyat?
Itu pengantar tentang fenomena NonBudgeter DKI jakarta yg tidak lagi dikenal dalam sistem anggaran publik kita.
Sistem off budget dewasa ini hanya dikenal dalam sistem penerimaan swasta seperti hibah LSM dll tidak ada dalam sistem anggaran pemerintah.
Di DKI fenomena off budget nampak dlm 3 bentuk;
1. Denda KLB,
2. Pungutan Reklamasi,
3. CSR.
Tiga bentuk off budget ini bisa diklasifikasikan dalam 2 kategori saja: 1. Denda dan 2. CSR.
Dua hal tersebut harus kita pisahkan karena memang dua hal yang berbeda.
Yang pertama denda itu sifatnya retributif dan kedua CSR merupakan tanggungjawab sosial lingkungan perusahaan (Pasar).
Terkait denda, UU No. 28/99 tentang retribusi dan pajak daerah, mengatur tidak ada lagi penerimaan off budget.
Pemda tidak boleh menggunakan satu rupiah pun penerimaan dalam tahun berjalan.
Penggunaan penerimaan baru boleh digunakan di tahun depan setelah anda mengajukan proposal ke DPRD melalui Raperda APBD.
Terkait kompensasi KLB ke SS semanggi ada masalah dengan pergub DKI nomor 119 tahun 2016, pergub ini beberapakali direvisi.
Terdapat deviasi dengan Perda DKI nomor 1 tahun 2014 tentang rencana detil tata ruang dan peraturan zonasi.
Ada kesalahan pengertian Kompensasi jika dihubungkan dengan UU 28 tahun 20012 tentang bangunan dan PP 36 tahun 2005.
Saya tidak akan masuk ke masalah teknis, selanjutnya saya dorong DPRD melacak karena Kesalahan-kesalahan ini bisa meyakinkan adanya niat jahat.
Demikian hal nya dengan pungutan reklamasi, peraturan apa yang didasarkan untuk memberikan diskresi yang besar terhadap Gubernur.
Negara ini sedang sibuk menghadapi korupsi, dimana hukum dasar korupsi adalah monopoli plus diskresi minus akuntability.
Syarat korupsi terpenuhi dalam pungutan reklamasi, ada monopoly, ada diskresi yang besar, dan hilangnya ruang pengawasan. Sempurna!
Saya heran ada sebuah sistem yang sangat toleran dengan peluang terjadinya korupsi dibiarkan.
Bahkan mendapat pujian dari Menkeu dan Presiden karena dianggap mampu mencari alternatif sumber pembiayaan di luar APBD.
Selanjutnya mari kita melihat CSR, CSR adalah kewajiban dari tanggung jawab sosial lingkungan perusahaan.
Corporate Social Responsibility atau CSR adalah ikhtiar menarik tanggungjawab perusahaan bagi masyarakat sekitar.
Di BUMN namanya PKBL (program kemitraan dan bina lingkungan) . Ini khusus bagi daerah berdampak.
CSR adalah belanja perusahaan. Dan kesukarelaan pengusaha untuk membantu masyarakat. Sifatnya.mandiri.
Misalnya perusahaan punya tanah sendiri lalu bikin gedung pelatihan atau perpustakaan bagi masyarakat. Tidak ada masalah.
Namanya orang nyumbang. Di atas tanah dia, pakai uang dia ya silahkan.
Jika CSR berbentuk pemberdayaan, dana bergulir, bantuan modal, bedah rumah, dll bisa langsung dilakukan dalam pola private to private.
Hal tersebut tidak memerlukan izin, perusahaan dapat terjun langsung, karena CSR adalah kewajiban yang diatur di dalam UU PT No 40/2007.
Namun terjadi pergeseran jika CSR diperuntukan untuk membangun infrastruktur publik di tanah milik negara.
Maka kaidah hukum yang berlaku adalah sistem pengelolaan keuangan daerah. Karena ada aset daerah. Tidak bisa bercampur.
Karena bercampur maka dalam sistem anggaran publik ia harus tercatat dalam sistem perencanaan dan pengelolaan uang/aset pemerintahan.
Sebagai pemerintah daerah, Kepala daerah tidaklah berdiri sendiri, karena yang dimaksud Pemda di dalam UU adalah kepala daerah dan DPRD.
CSR jika peruntukannya untuk pembangunan fasilitas publik baik itu berupa uang ataupun barang masuk dalam post lain-lain dalam APBD.
Sistem anggaran publik kita mengenal istilah Sumbangan dari pihak ke tiga.
Hal tsb pertama diatur oleh permendagri no 3 tahun 78 tentang penerimaan sumbangan pihak ke tiga kepada pemda.
Sumbangan apapun dari pihak ketiga baik berupa uang atau pun barang terlebih dahulu mndapat persetujuan DPRD.
Di era reformasi sumbangan pihak ketiga dihilangkan dengan bergantinya UU 5 tahun 74 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah menjadi UU 22 tahun 1999.
Inilah awal tonggak reformasi sistem pemda baru yang dimaksudkan untuk menjawab masalah korupsi.
Dengan berlakunya UU 22/99 tentang Pemda maka permendagri 3/78 tentang sumbangan pihak ketiga tidak berlaku lagi.
Filosofi berubah dari sumbangan pihak ketiga yang keluar dari esensi sumbangan yang bersifat sukarela menjadi kewajiban seperti pajak/retribusi.
UU 22/99 selanjutnya berubah menjadi UU 32/2004 dan yang terbaru adalah UU 23/2014 tentang pemerintahan daerah.
Dalam UU tersebut sumbangan pihak ketiga dikategorikan sebagai lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Namun sampai hari ini tidak ada ketentuan perundang-undangan tehnis yang mengatur tentang sumbangan pihak ketiga.
Ketentuan sumbangan hanya didasarkan pada SE Mendagri 188.34/17/SJ Tahun 2010 tentang Penataan Perda tentang pajak dan retrbusi Daerah.
SE Mendagri tersebut hakekatnya hanya memaknai penerimaan dalam bentuk pajak dan retribusi.
Meski demikian SE tsb tidak melarang adanya sumbangan pihak ketiga, tetapi tidak boleh menjadi pengganti atas kewajibannya kepada daerah atau negara.
Dan semua harus diatur oleh perda agar ketentuan mengenai mekanisme pelaksanaan, penerimaan hingga pemakaian dapat diawasi.
Namun SE Mendagri mengingatkan bahwa Perda tentang penerimaan sumbangan memiliki batasan dalam menyusun ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaannya.
Ini karena tidak ada lagi peraturan perundangan khusus yang mengatur penerimaan pihak ketiga.
Tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangan yang lebih tinggi sesuai hirarkhi hukum (Lex Superior Derograt Legi Inferior).
Juga tidak boleh menentukan jumlah dan atau jenis sumbangan dari pihak ketiga agar tidak menjadi kewajiban seperti retribusi atau pajak.
Karena jika jumlah dan jenis ada, esensi sumbangan yang bersifat sukarela akan bersifat wajib seperti pajak atau retribusi.
Disinilah salah satu masalah di DKI dimana jenis ditentukan melalui diskresi gubernur (pungutan reklmasi dan bentuk serta peruntukan CSR).
Sementara ketentuan pajak dan retribuusi sdh diatur secara jelas dalam UU 28 tahun 99 tentang retribusi dan pajak daerah.
Tidak boleh menetapkan dan atau menarik pajak selain yang diatur oleh UU dan juga tidak dapat menetapkan retribusi diluar yang ditetapkan oleh PP.
Larangan menentukan jumlah dan juknis penerimaan dari pihak ketiga secara eksplisit tertulis dalam SE Mendagri.
Melalui SE itu Mendagri memerintahkan untuk mencabut seluruh aturan yang mengatur jenis penerimaan pihak ke-3 karena hakekatnya sama dengan pajak.
Dan harus masuk dlm kategori lain-lain pendapatan daerah yang sah dalam APBD (Baca PP 58/2005 Ttg Pengelolaan Keuangan daerah).
Presiden dan Menkeu serta pihak-pihak yang pernah memuji Gubernur DKI mencari sumber pembiayaan Non APBD harus mengoreksi ucapannya.
Karena tidak ada istilah sumber pembiayaan non APBD dalam sistem anggaran publik.
Apapun uang atau pun barang masuk dalam lain-lain pendapatan yang sah dalam APBD. artinya itu APBD.
Dari sinilah sebetulnya kalau KPK mau serius memperbaiki sistem governance di daerah. Mulai dari DKI.
Tapi di DKI ini ada perang bintang. Dan KPK menjadi tidak relevan. Akhirnya mencari mangsa sepadan.
Raksasa melenggang tapi kurcaci berlari sempoyongan. Demikianlah yang kita saksikan.
Saya hanya bersaksi untuk keadilan. Untuk kebaikan generasi mendatang.
Bahwa jika negara ini mau membaik maka hukum harus tegak pada semua orang.
Jangan hukum kebal pada yang punya uang. Dan yang bisa membeli pengaruh dan kekuasaan.
Jangan hukum hanya jadi tontonan dan hanya menjadi tontonan untuk mengalihkan persoalan.
Mari kita jaga Indonesia ini dari kerusakan akibat hukum yang kehilangan hati.
Merdeka!
Twitter @Fahrihamzah
09.40-13.08 04/4/2017
Sumber: NETIZENPLUS.com.