Perang Diplomatik Arab-Qatar Agenda Amerika Israel di Timur Tengah
Oleh : Kiki Mikail
Dosen Politik Islam UIN Palembang dan Alumni Timur Tengah
Joseph A. Massad (2007) dalam bukunya Desiring Arabs menyebut, kawasan Timur Tengah sedang mengalami yang disebutnya dengan civilizational anxiety (kegalauan peradaban). Para sarjana Timur Tengah yang sebelumnya memprediksi kawasan Timur Tengah akan mengalami lompatan peradaban, ternyata jauh dari apa yang mereka prediksikan.
Ditengah “kegalauan” yang sangat akut tersebut, kawasan Timur Tengah akan semakin sulit menemukan momentum kebangkitan kepercayaan dirinya, terutama kepercayaan diri untuk menghadapi persoalan-persoalan yang kini sedang menimpa kawasan Timur Tengah.
Aliran aliran garis keras yang silih bermunculan seperti ISIS dan al-Qaeda, ditambah konflik kepentingan negara adidaya yang begitu kuat di Timur Tengah menjadikan persoalan di Timur Tengah semakin sulit untuk dipetakan.
Di satu sisi Timur Tengah merupakan kawasan yang Sumber Daya Alamnya melimpah ruah, namun di sisi lain, persoalan yang menimpa di kawasan Timur Tengah juga tidak kalah dengan SDA nya yang juga melimpah ruah.
Berita terakhir yang sungguh sangat menyita perhatian masyarakat dunia menyangkut masa depan Timur Tengah adalah pemutusan hubungan diplomatik yang dilakukan Arab Saudi terhadap Qatar.
Padahal, selama ini hubungan kedua negara pengekspor minyak terbesar di dunia ini tergolong erat dan baik. Secara geografis, Qatar merupakan negara yang terletak di semenanjung Arab di pantai Teluk Persia yang berbatasan darat langsung dengan Arab Saudi dan dikelilingi negara Bahrain dan Iran.
Pada 3 September 1971, Qatar resmi menjadi negara yang merdeka setelah sebelumnya dikuasai oleh Dinasti Ottoman dan Inggris. Wilayah Qatar terbagi menjadi beberapa wilayah diantaranya Doha sebagai pusat kota.
Kemudian di wilayah barat ada kota Dukhan dan Umm Bab. Di wilayah utara ada Al Ruways. Di wilayah tenggara ada Umm Said atau biasa disebut dengan Messaied.
Di wilayah timur laut ada Al Khor. Kota industri perminyakan berada di Ras Laffan dan Messaied. Sementara sumur minyak Qatar banyak berada di wilayah Dukhan.
Qatar adalah salah satu negara terkecil dengan luas wilayah 11.586 KM dengan populasi penduduk sekitar 2.123.000. Berbanding terbalik dengan populasi penduduknya yang sedikit, Qatar dianugrahi dengan cadangan minyak dan gas bumi yang melimpah ruah dengan pendapatan perkapita pertahunnya mencapai milyaran rupiah, tertinggi dibandingkan negara-negara di dunia.
Dengan pendapatan perkapita yang luar biasa, maka tidak heran, jika angka pengangguran disana sangat rendah hanya sekitar 0,3 persen.
Latar belakang Konflik Arab-Qatar
Pada bulan April 2016, mantan perdana menteri sekaligus mantan menteri luar negeri Qatar, Syeikh Hamad bin Jassim al-Thani memuji-muji Iran dalam pidatonya.
Dia juga menyarankan agar “negara-negara Dewan Kerjasama Teluk (GCC)” sebaiknya menjalin kerjasama dengan Iran dan menyudahi kebijakan pasif mereka selama ini dalam berbagai krisis di Timteng, termasuk di Suriah.
Ketegangan Qatar-Arab semakin meningkat ketika muncul pemberitaan bahwa Emir Qatar Syeikh Tamim bin Hamad Al Thani melakukan percakapan di telepon dengan Presiden Iran terpilih Hassan Rouhani. Selain mengucapkan selamat, Emir Qatar juga menyebut bahwa Qatar ingin meningkatkan hubungan diplomatik dengan Iran, tidak ada halangan apapun untuk memperdalam hubungan Qatar dengan Iran.
Emir Qatar juga menyebut bahwa Iran merupakan “kekuatan Islam” dan sungguh tidak bijak jika tidak membangun hubungan dengan Iran.
Meskipun Qatar menolak berita tersebut dan menyebutnya hoax, tapi Arab Saudi dan negara negara teluk tidak yakin bahwa berita tersebut hoax. Dalam pertemuan mingguan yang dipimpin langsung oleh raja Salman, Kerajaan Arab Saudi menegaskan bahwa mereka mengambil keputusan tegas, yaitu pemutusan hubungan diplomatik dengan Qatar, karena menurutnya otoritas Qatar telah melakukan pelanggaran berat.
Pelanggaran tersebut dilakukan secara terang-terangan dan terselung disepanjang tahun yang bertujuan untuk menyerang Arab Saudi. Arab Saudi juga menyebut bahwa Qatar telah menghasut sejumlah pihak untuk tidak mematuhi peraturan dan melanggar kedaulatan Arab Saudi. Qatar juga diduga memiliki tempat tempat berlindung yang nyaman bagi kelompok “teroris” dan sektarian yang berusaha merongrong keamanan kawasan.
Qatar sebagai salah satu negara terkaya di dunia, sepanjang tahun 2012 sampai sekarang dilaporkan konsisten membantu organsasi pembebasan Palestina “Harakah al-Muqawah al-Islamiyah” (HAMAS) melalui bantuan financial sebesar 1,5 milyar Us Dollar atau setara dengan 20 Trilyun Rupiah.
Selain itu Qatar juga menjadi tempat yang nyaman bagi pemimpin Hamas, yaitu Khaled Meshal yang sampai sekarang menjadi incaran intelijen Israel.
Meskipun Hamas memenangkan pemilihan parlemen Palestina pada 2006 tetapi Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS) tetap memasukkannya ke dalam daftar kelompok teroris.
Untuk itu, bila ingin melihat mengapa Arab Saudi melakukan pemutusan hubungan diplomatik dengan Qatar, maka salah satu unsurnya bisa dilihat dari pernyataan kontroversi Syeikh Tamim dan hubungannya dengan entitas yang dibenci Arab Saudi, yaitu Iran selain juga tudingan Arab Saudi terhadap Qatar yang menyebut bawah Qatar merupakan tempat berlindung yang nyaman bagi teroris. Tapi, di balik itu juga kita harus memahami, apa yang diinginkan Amerika dari Qatar?
Kepentingan Amerika Israel di Timur Tengah
Dalam konteks politik luar negeri di Timur Tengah, utamanya pasca Trump terpilih menjadi Presiden AS, pemerintahan AS akan dihadapkan pada empat isu utama.
Pertama, perang sipil berkepanjangan di Suriah yang melibatkan pemerintah “legitimate” Bashar al-Assad yang didukung oleh Rusia dan Iran di satu pihak dan kelompok-kelompok perlawanan yang beragam, baik yang paling ekstrim seperti ISIS atau sekedar masyarakat sipil yang terjebak dalam perang, di lain pihak.
Meski yang menjadi isu utama dalam politik luar negerinya adalah perang terhadap ISIS dan kelompok-kelompok radikal Islam namun yang menjadi lokusnya adalah negara-negara yang terlibat perang sipil tersebut, utamanya Suriah dan dalam skala tertentu termasuk Iraq dan Afghanistan.
Kedua, prospek perdamaian Israel-Palestina di tengah instabilitas kawasan.
Janji AS kepada PM Israel Netanyahu untuk memindahkan ibukota Israel ke Jerusalem akan mengundang kontroversi dan penentangan.
Ketiga, perjanjian nuklir Iran yang dianggapnya sebagai sebuah pertaruhan besar yang sedang dihadapi oleh AS.
Melunaknya sikap AS dan Iran terlihat sangat kentara ketika Hassan Rouhani yang dianggap barat sebagai penerus Khattami yang reformis, terpilih menjadi presiden Iran untuk menggantikan Ahmadinejad yang dianggap konservatif “bersedia” berdialog dengan Amerika dan lima penguasa dunia lain, termasuk Inggris, Perancis, Jerman, Russia dan China berunding dalam meja kesepakatan yang dikenal sebagai kesepakatan Geneva.
Inti dari kesepakatan ini adalah Iran harus bersedia mengurangi aktivitas pengayaan uraniumnya di bawah 20% dengan konsesi dibukanya keran embargo dari negara-negara barat.
Artinya Iran akan mendapatkan kembali pencairan dana-dana mereka dari perbankan dan aktivitas ekspor mereka bisa kembali dijalankan.
Kebijakan pada masa Obama tersebut ditinjau kembali ketika Trump mengambil alih kekuasaan di AS. Trump mengancam akan membatalkan kesepakatn nuklir dengan Iran.
Jika Trump secara sepihak membatalkan kesepakatan perjanjian nuklir ini, gejolak di kawasan tak akan terhindarkan. Di satu sisi, Amerika ingin menerapkan sanksi yang lebih ketat sedangkan disisi lain Iran merasa mempunyai lisensi untuk melakukan aktivitas nuklirnya karena AS melanggar atau mencabut perjanjian secara sepihak.
Sedangkan isu yang terakhir adalah isu pengisolasian Qatar oleh Arab Saudi dan negara negara teluk. AS melihat pemutusan diplomatik yang dilakukan Arab Saudi dan negara negara teluk terhadap Qatar akan berimbas kepada semakin meningginya tensi Arab-Qatar yang dianggapnya sebagai mitra AS di Timur Tengah.
Disatu sisi AS ingin membangun kemitraan yang lebih kuat dengan Arab Saudi namun di sisi lain Qatar adalah pangkalan militer terbesar Amerika Serikat di Timur Tengah.
Departemen Pertahanan AS di Pentagon Selasa (6/6/2017) menyebutkan bahwa sebanyak 8.000 personel militer ditempatkan di Al-Udeid, Qatar, sebagai komitmen untuk mewujudkan keamanan regional.
Untuk mengurai persoalan Arab-Amerika-Qatar, menteri luar negeri Arab Saudi memberikan isyarat kepada Qatar dengan syarat melakukan beberapa hal yang dapat memperbaiki situasi politik yang semakin memanas tersebut, termasuk penghentian pemberian bantuan kepada kelompok militan Hamas di Palestina.
Sumber:
http://palembang.tribunnews.com/2017/06/14/perang-diplomatik-arab-qatar-agenda-amerika-israel-di-timur-tengah?page=all