Hidayah Menyapa di Kota Roma
10Berita-JAKARTA -- Oleh Irwan Kelana
Kota Roma di Italia adalah pusat Katolik Dunia. Di kota itulah terletak negara kecil Vatikan, yang merupakan pusat agama Katolik.
Namun siapa nyana, justru di kota yang menjadi pusat Katolik dunia itulah Yulita Widiastuti mendapatkan hidayah untuk berhijab. Dan jalan untuk meraih hidayah itu datang melalui seorang sopir berkebangsaan Italia yang juga penganut agama Katolik taat. Namanya Roberto.
Ketika itu, tepatnya tahun 2011, Yulita yang merupakan seorang tour leader (TL) profesional, mengantar rombongan wisatawan Indonesia mengunjungi trip Eropa Barat. Termasuk di dalamnya Perancis, Belgia, Belanda, Jerman, Swiss dan Italia.
Rombongan turis di Eropa Barat biasanya menyewa satu bus pariwisata di negara tujuan pertama hingga keliling ke seluruh negara yang menjadi destinasi trip wisata tersebut.
Saat berada di kota Roma, sopir bus pariwisata tersebut, yakni Roberto, bertanya dalam bahasa Inggris kepada Yulita, “Apakah kamu Muslim?”
Yulita spontan menjawab, “Islam.”
“Islam? Apakah Islam itu Muslim?” Roberto bertanya lagi.
“Ya,” sahut Yulita.
“Kamu bukan Muslim,” ujar Roberto.
“Mengapa?” tanya Yulita heran
“Karena kalau kamu Muslim kamu harusnya memakai penutup kepala. Tuh lihat, tamu kamu (maksudnya anggota rombongan wisata yang dibawa oleh Yulita, Red) memakai penutup kepala, sedangkan kamu tidak. Penutup kepala itu identitas. Kalau kamu tidak pakai penutup kepala, aku tidak tahu kamu Muslim,” tutur Roberto.
Jleb! Ucapan Roberto sangat menohok Yulita. “Mendengar ucapan Roberto saya langsung kepikiran. Saya mulai berpikir bahwa identitas penting seorang Muslim adalah berjilbab – Roberto menyebutnya penutup kepala. Karena itu, sepulang dari trip tersebut, saya langsung memakai jilbab,” ujar Yulita yang merupakan tour leader wanita pertama yang membawa group Indonesia ke Eropa. Setelah berjilbab, Yulita juga menjadi tour leader wanita berjilbab pertama yang membawa group wisatawan ke Eropa.
Keputusan Yulita mengenakan jilbab tidak selamanya direspons positif, terutama oleh teman-teman dan jaringan kerjanya (networking) yang non-Muslim. “Banyak yang pro dan kontra. Banyak teman yang non-Muslim yang berkata, ‘Ngapain sih pakai jilbab? Kamu ‘kan masih muda?’” kata Yulita.
Tantangan dan intimidasi juga ia rasakan saat membawa tamu ke Eropa. “Ada sopir yang memaksa saya melepas jilbab. Namun saya tetap pada pendirian saya untuk berjilbab. Akhirnya ia respek kepada saya,” ujarnya.
Tantangan lainnya adalah terkait makanan, khususnya ketika membawa tamu ke Eropa dan sulit mencari makanan halal. “Setelah berjilbab, saya selalu berusaha memastikan makanan yang saya makan itu halal. Saya menghindari makanan yang mengandung babi, walaupun saya menghadapi udara yang sangat dingin dan kelaparan,” tegas Yulita.
Terus terang, kata Yulita, pada awal-awal ia berhijab, job yang diterimanya berkurang. “Sebelumnya, saya ke Eropa seperti ke Blok M (karena sangat sering dan rutin membawa tamu ke Eropa, Red). Setelah saya berjilbab, job berkurang,” tuturnya.
Namun ada hal yang membuatnya bersyukur. “Setelah saya berjilbab, teman-teman yang kurang baik menjauh. Sebaliknya teman-teman yang baik mendekat. Setelah saya memakai jilbab, orang lebih respek kepada saya. Saya jadi lebih tenang. Gangguan atau godaan berkurang, sebab teman-teman pergaulan saya tersortir dengan sendirinya,” ujar alumnus STP Trisakti Jakarta itu.
Allah SWT menyambut hijrah Yulita menjadi Muslimah yang berhijab. “Job dari travel umum berkurang, tapi kemudian Allah menggantinya dengan job dari travel Muslim. Sejak tahun 2013 saya membawa wisatawan Muslim (Muslim traveller) ke berbagai destinasi, terutama Eropa. Rezeki Allah tidak berkurang, bahkan lebih terjamin,” kata Yulita.
Wanita kelahiran Solo, 16 Juli 1973 itu memulai karirnya di perusahan penerbangan Qantas Ailines (mulai 1996), kemudian Gulf Air dan Qatar Airlines (2005-2006). Sejak 1997, ia mulai merintis karir sebagai tour leader freelance. Tahun 2001 ia mulai dipercaya membawa rombongan turis ke Asia dan Australia. Tahun 2007, untuk pertama kalinya ia dipercaya membawa rombongan wisatawan ke Eropa.
Setelah itu, ia makin dipercaya untuk membawa turis destinasi Eropa. “Apalagi pada musim liburan, bulan Juni-Juli dan Lebaran, saya rata-rata dua kali sebulan membawa group turis ke Eropa,” ungkapnya.
Yulita tak segan berbagi kunci suksesnya sebagai seorang tour leader. Salah satu kunci sukses bekerja sebagai seorang tour leader, kata Yulita, adalah networking.
. “Sekali kita sukses membawa group ke luar negeri, jasa kita akan dipakai terus. Jangan lupa upload kegiatan-kegiatan kita, khususnya saat membawa group di akun sosmed kita, sehingga portofolio kita semakin bagus. Perusahaan travel maupun group yang membutuhkan jasa kita bisa melihat kemampuan kita di akun sosmed kita tersebut,” ujarnya.
Salah satu modal penting seorang tour leader adalah penguasaan bahasa asing. “Tidak hanya bahasa Inggris, tapi juga bahasa-bahasa asing lainnya, seperti bahasa Perancis, bahasa Jerman, bahasa Belanda dan lain-lain,” papar wanita yang menguasai bahasa Inggris dan bahasa Perancis itu.
Yulita mengungkapkan, tiga hal yang harus terus dibina oleh seorang tour leader. Ketiga hal tersebut adalah stamina harus bagus, sabar, dan jiwa melayani harus kuat. “Kalau kita membawa rombongan, jumlah pesertanya banyak, kemauannya banyak dan kita hanya seorang diri. Kita harus mempunyai ekstra kesabaran,” kata Yulita.