OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Sabtu, 26 Agustus 2017

New York Times Soroti Buruknya Trotoar Jakarta

New York Times Soroti Buruknya Trotoar Jakarta

10Berita– Trotoar di kawasan Jakarta dinilai buruk, mulai dari kondisi trotoar yang retak dan tidak rata. Ditambah lagi dengan hilangnya penutup selokan, kabel listrik yang terbuka, serta pengendara motor yang agresif menggunakan trotoar untuk menghindari kemacetan atau bahkan sebagai tempat parkir.

Dilansir The New York Times, Sabtu (26/8/2017), dalam sebuah studi oleh para periset di Stanford University, Indonesia yang merupakan negara terpadat penduduk keempat di dunia, berada di posisi terakhir dari 46 negara dalam hal jumlah langkah jalan kaki yang dilakukan warganya, yakni hanya rata-rata 3.513 langkah per hari.

Hal ini jauh tertinggal dibanding negara lain di dunia. Sebagai perbandingan, Hong Kong berada di urutan pertama dengan jumlah 6.880 langkah per hari dan China di urutan kedua dengan 6.189 langkah per hari. Riset tersebut diteliti menggunakan perangkat smartphone dan jam tangan dengan melacak 717.000 orang di 111 negara dengan memantau 68 juta hari aktivitas.

Seorang warga, Dita Wahyunita yang juga seorang analisis pemasaran mengatakan dirinya tidak nyaman berjalan di trotoar Jakarta.

“Saya tidak merasa aman berjalan karena beberapa alasan. Trotoar di sini mengerikan. Di negara lain, mereka memiliki trotoar lebar hanya untuk pejalan kaki,” ujar Dita yang berkantor di Jakarta Pusat.

Menurut data pemerintah daerah, hanya sekitar 7% dari total 4.500 mil di Ibukota yang memiliki trotoar. Seorang kandidat doktor Jerman bidang ilmu komputer di Stanford, Tim Althoff mengatakan Jakarta membutuhkan trotoar lebih banyak untuk pejalan kaki.

“Kota Jakarta membutuhkan banyak kegiatan untuk aktif. Trotoar buruk, sepeda motor di trotoar. Sudah jelas apa yang bisa dilakukan agar orang berjalan lebih banyak. Tidak mengejutkan jika orang tidak bisa berjalan banyak,” kata Althoff.

Menurut Althoff kualitas udara di Jakarta juga terbilang buruk. Hal ini salah satu alasan mengapa masyarakat memilih menggunakan taksi, mobil, atau sepeda motor untuk menempuh jarak 200 meter.

“Pada titik manakah orang menyerah karena kualitas dan suhu udara?” Katanya.

Selain itu, budaya lokal yang memilih untuk menunggu lift atau menaiki eskalator daripada menaiki tangga juga menjadi rutinitas masyarakat. Jalan setapak yang berada di Bandara Internasional Jakarta juga digunakan banyak gerombolan penumpang untuk berdiri, bukannya untuk berjalan kaki, hal ini tentu dihindari oleh orang asing.

Ketua Koalisi Pedestrian, Alfred Sitorus mengatakan dengan tegas bahwa masyarakat malas untuk berjalan kaki.

“Kami malas,” tuturnya. (kl/dtk)

Sumber: Eramuslim