Diskriminasi Muslim di Eropa Meningkat, Hanya Karena Nama dan Pakaian
Muslimah di Eropa: Sering mengalami diskriminasi karena pakaian dan agama mereka
10Berita–Orang-orang Muslim yang tinggal di negara-negara Uni Eropa merasa dirinya dikecualikan dan mengalami peningkatan diskriminasi.
Sebuah jajak pendapat yang dilakukan di 15 negara anggota Uni Eropa menunjukkan, umat Islam siap untuk menerima non-Muslim, namun mereka mengecualikan diri mereka sendiri, demikian hasil survei Lembaga Uni Eropa untuk Hak-hak Dasar,European Union Agency for Fundamental Rights (FRA) yang menyingkap bahwa diskriminasi terhadap Muslim di Eropa meningkat dalam sepuluh tahun terakhir.
Hasil survei yang dilakukan selama akhir 2015 hingga 2016 lalu itu memaparkan 40 persen atau dua dari lima Muslim di Eropa mengalami perlakuan tidak adil saat mencari pekerjaan dan mengakses layanan publik lainnya, seperti kesehatan dan pendidikan.
Hasil tersebut, mencerminkan pandangan dari 10.500 imigran Muslim yang diwawancarai antara bulan Oktober 2015 dan Juli 2016.
Sembilan dari sepuluh orang mengatakan bahwa mereka adalah teman non-Muslim dan 92 persen mengatakan bahwa mereka tidak akan terganggu oleh tetangga mereka dengan latar belakang agama yang berbeda.
Dalam laporan berjudul Second European Union Minorities and Discrimination Survey (EU-MIDIS II): Muslims – Selected Findingsitu, FRA melibatkan reponden berusia minimal 16 tahun dan telah tinggal di negara-negara seperti Austria, Belgia, Siprus, Jerman, Denmark, Yunani, Spanyol, Finlandia, Prancis, Italia, Malta, Belanda, Swedia, Slovenia dan Inggris setidaknya selama satu tahun.
Hasil lain dari survei ini menunjukkan; hampir 40 persen responden wanita yang mengenakan jilbab atau niqab merasa mendapat perlakuan diskriminatif saat melamar pekerjaan.
Lebih dari 30 persen responden wanita Muslim lainnya bahkan mengaku pernah mendapat pelecehan yang sebagian besar berbentuk hinaan.
47 persen pria Muslim merasa kerap dicegat atau menjadi sasaran pengawasan otoritas keamanan setempat karena memakai pakaian tradisional atau keagamaan.
Sekitar 17 persen responden mengaku pernah mengalami diskriminasi langsung akibat kepercayaan mereka. Jumlah ini meningkat tujuh persen dari penelitian serupa yang terakhir dilakukan pada 2008 lalu.
Sementara 30 persen responden yang ikut dalam survei tersebut juga mengatakan pernah mengalami penghinaan karena agama mereka.
2 persen lainnya mengaku pernah mengalami serangan fisik dalam 12 bulan terakhir, sebelum penelitian ini dimulai.
Penulis laporan tersebut, yang merangkum hasil survei tersebut, mengatakan kalangan non-Muslim, 30 persen dari mereka yang mengatakan bahwa anak-anak mereka akan merasa tidak nyaman dengan hubungan mereka dengan seorang Muslim.
Para responden, setidaknya salah satu dari orang tua mereka berasal dari Turki, Afrika Utara, Afrika Sub-Sahara, Asia Selatan dan Asia.
Yang menarik, mayoritas Muslim di Uni Eropa merasa betah di negara tempat mereka tinggal, meski banyak dari mereka mengalami diskriminasi.
“Saya didorong oleh kepercayaan masyarakat Muslim Eropa di lembaga-lembaga publik dan peraturan perundangan kita, terlepas dari tantangan diskriminasi individual yang mereka saksikan,” Wakil Presiden Komisi Eropa Frans Timmermans dikutip Deutsche Welle.
Di Swedia, jawaban rata-rata mendekati hampir 5, nilai tertinggi mewakili keterikatan yang sangat kuat. Di Italia, imigran Muslim paling tidak antusias, melaporkan keterikatan rata-rata ke negara asalnya hanya 3,3.
Hanya sekitar 2 persen dari semua peserta yang dilaporkan tidak merasa terikat sama sekali. Generasi kedua imigran melaporkan tingkat keterikatan yang sedikit lebih tinggi – mereka merasa betah di negara tempat mereka dilahirkan.
“Sebaliknya, kita melihat kepercayaan pada institusi demokratis yang lebih tinggi daripada kebanyakan Spopulasi umum,” katanya dalam sebuah pernyataan yang menyertai surbei yang publikasikan.
Namun, dia memperingatkan bahwa setiap insiden diskriminasi dan kejahatan membenci menghambat penyertaan Muslim dan mengurangi kesempatan mereka untuk mendapatkan pekerjaan.
“Bagaimanapun, setiap insiden diskriminasi dan kejahatan berbasis kebencian menghalangi sikap terbuka mereka dan mengurangi kesempatan mereka mendapatkan pekerjaan,” ujarnya.
“Kita mengambil risiko mengasingkan individu dan komunitas mereka, dengan konsekuensi yang berpotensi berbahaya,” O’Flaherty memperingatkan.*
Sumber: Hidayatullah