OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Rabu, 20 September 2017

Kesaksian AM. Fatwa, Tragedi Tanjung Priok Kental Permainan Intelijen (Bagian 2)

Kesaksian AM. Fatwa, Tragedi Tanjung Priok Kental Permainan Intelijen (Bagian 2)


10Berita, Jakarta – AM. Fatwa, pelaku sejarah yang juga menjadi korban rezim represif Orde Baru pasca Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, mengisahkan awal mula terjadinya tragedi itu. Tragedi berdarah, yang menurut data Solidaritas Nasional untuk peristiwa Tanjung Priok (SONTAK) memakan nyawa 400 muslim.

Saat ditemui di kediamannya di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, AM. Fatwa mengungkapkan awal mula peristiwa berdarah Tanjung Priok 1984 dipicu suasana yang tidak kondusif karena pemaksaan penerapan asas tunggal Pancasila. Situasi itu kemudian makin diperkeruh oleh tindakan provokasi dari intel tentara.

“Isu asas tunggal itu menyebabkan berbagai reaksi dari masyarakat. Oleh intelijen, situasi itu malah dimanfaatkan untuk mendorong suatu kegiatan dakwah yang sesungguhnya agak keluar dari koordinasi yaitu di Tanjung Priok,” ungkap Fatwa, Rabu (13/09).

“Nampaknya ada mubaligh-mubaligh muda yang tidak sadar diperalat oleh aparat. Mereka juga dipelihara untuk kemudian melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum semisal memaki-maki Pancasila, Soeharto, Ibu Tin Soeharto, dan jelas ini melanggar hukum,” lanjutnya.

Fatwa mengaku, pada saat itu dirinya tergabung dalam Petisi 50, sebuah forum yang didirikan pada 5 Mei 1980. Forum itu turut mengoreksi masalah asas tunggal, namun tidak setuju dengan gerakan para mubaligh muda di Tanjung Priok itu. “Kami dari petisi 50 tidak setuju dan tidak bisa membiarkan kelakuan dari mubaligh itu,” ujarnya.

Fatwa menungkapkan, pada waktu itu juga terbentuk Korp Mubaligh Indonesia (KMI) yang diketuai oleh MR Syafrudin Prawiranegara. Sementara, Fatwa juga menjadi salah satu ketua dalam KMI. Mereka tidak menyetujui tindakan para mubaligh tersebut, dan M. Natsir yang menjabat sebagai ketua DDII juga termasuk pihak yang tak setuju.

“MR Syafrudin Prawiranegara, dan M Natsir, kami termasuk tidak menyetujui kegiatan-kegiatan dakwah yang ada di Tanjung Priok karena dinilai menyimpang dari tata cara akhlak. Dan itu malah sengaja dipelihara oleh aparat intelijen,” ungkapnya.

“Mubaligh-mubaligh muda ini, yang belum mempunyai sensitivitas dalam politik, termakan isu yang dilempar intel itu. Sehingga tidak sadar mereka menjadi alat intelijen, untuk mereka berteriak menyerang penguasa secara melanggar hukum,” lanjut pria yang pernah menjadi Ketua DPR di era pemerintahan Gus Dur.

Menurut Fatwa, dengan situasi yang sengaja dibuat intelijen dengan memanfaatkan para mubaligh muda itu, pihak Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) kembali melakukan provokasi yang kemudian menjadi pemicu kemarahan Ummat Islam Tanjung Priok. Para jamaah merespon dengan mengadakan demonstrasi, dan berakhir dengan tewasnya sedikitnya 400 warga Tanjung Priok di moncong senjata tentara.

Reporter: Muhammad Jundii
Editor: Imam S.

Sumber:  Kiblat.