OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Senin, 25 September 2017

Kosongnya Kepemimpinan Global: Menakar Peluang Jerman dan Tiongkok

Kosongnya Kepemimpinan Global: Menakar Peluang Jerman dan Tiongkok


Sekjen PBB berpidato di Sidang Umum PBB. (aljazeera.net)

Oleh: Javier Solana (Mantan Perwakilan Tinggi Urusan Luar Negeri Uni Eropa)

10Berita – Doha. Tak dipungkiri, Jerman dan Tiongkok saat ini merupakan negara besar yang kebijakan ekonominya meresahkan Presiden AS, Donald Trump. Sementara AS tengah dipusingkan dengan defisit akun terbesar di dunia, kedua negara tersebut malah menuai surplus terbesar. Ini jelas mengganggu Trump dan para penasihatnya.

Terkait hal itu, Penasihat Perdagangan di pemerintahan Trump, Peter Navarro, menyebut Tiongkok tengah bermain menciptakan nilai mata uang mereka sendiri. Selain itu, secara mengejutkan Navarro juga menuding Jerman melakukan eksploitasi terhadap AS dan sekutu Eropa-nya dengan ‘Euro Murah’.

Kebanyakan Ekonom menyebut tuduhan Navarro itu tidak mendasar. Trump sendiri dinilai sering bertindak ‘volatile’ pada isu ini. Bahkan tak jarang berseberangan dengan Navarro. Meskipun secara umum, para ekonom juga masih mempertanyakan kebijakan mitra bisnis AS.

Sejak terpilihnya Trump tahun lalu, Jerman dan Tiongkok termasuk ke dalam negara-negara yang diharapkan mampu menggantikan AS di kancah kepemimpinan global. Namun, di antara kedua negara masih terdapat perbedaan yang mendalam. Sejauh ini, belum ada titik temu terkait kemungkinan bila salah satu dari keduanya menggantikan posisi AS.

Jika terjadi krisis, baik Kanselir Jerman Angela Merkel maupun Presiden Tiongkok Xi Jinping, akan mengaitkannya dengan peristiwa politik internal. Dengan begitu, diharapkan akan memperkuat posisi kepemimpinan mereka pada tahun-tahun mendatang.

Di Jerman, Merkel lebih diunggulkan untuk memenangi pemilu pada 24 September kemarin. Jika terwujud, ini menjadi periode keempat baginya menjabat sebagai Kanselir. Selain itu, ia akan mengungguli masa jabatan pendahulunya, Helmut Kohl, yang berkuasa selama 16 tahun.

Musim kampanye Jerman seakan berfokus pada kebijakan ‘Pintu Terbuka’ Merkel terkait krisis pengungsi tahun 2015. Penerimaan Merkel pada para pengungsi mengundang serangan sengit dari lawan-lawannya.

Tampaknya, pembelaan pada nilai-nilai kemanusiaan telah menyerobot dukungan dari mereka yang memilih Merkel di masa lalu. Hal itu menyebabkan dirinya dan partainya harus mendapatkan respon keras melalui bilik-bilik suara pada pemilu 2015 lalu. Tapi, badai ini tampak telah mereda. Faktanya, kebijakan Merkel terkait pengungsi menguatkan popularitasnya di kalangan pemilih muda.

Pada akhir abad ke-20, mantan Menlu AS, Madeleine Albright, menyebut negaranya sebagai ‘The Basic Nation’. Selang 20 tahun setelahnya, majalah The Economist menyebut Merkel sebagai ‘The European Core’. Tapi seperti yang Merkel katakan, akan sangat tidak masuk akal jika dirinya bertanggungjawab dalam menerapkan standar liberalisme internasional.

Karena faktor sejarah, Jerman sampai saat ini belum mendapatkan kembali peran utamanya di kancah global. Namun, untuk skala Eropa, tampaknya Merkel mampu melakukan itu. Periode keempatnya harus digunakan untuk membentuk sebuah warisan internasional yang akan mengukur kemampuan politiknya. Keterpilihannya, bersama dengan Emmanuel Macron, akan menjadi peluang besar untuk melakukan tindakan yang bertujuan memulihkan keseimbangan dan penguatan Uni Eropa.

Pada saat yang sama, warisan Presiden Tiongkok (Xi) juga dipertaruhkan. Pada bulan Oktober mendatang, Elit Politik Tiongkok akan berkumpul pada ajang Kongres Nasional Partai Komunis Tiongkok ke-19.

Dipastikan, ajang itu akan fokus menyoroti kinerja Xi. Karena pada tahun lalu, ia telah mendeklarasikan diri sebagai ‘Pemimpin Utama’ Partai. Sebuah gelar yang belum pernah dicapai oleh pendahulunya, Hu Jintao.

Pada konferensi tersebut, para delegasi partai akan memilih komite pusat baru yang akan menduduki jabatan tertinggi Partai. Selain itu, posisi Xi sebagai Ketua Umum juga akan ditinjau kembali. Sebagian besar analis berharap Xi tetap memilih sekutu setia dan menjauh dari pesaing potensial. Hal ini sesuai dengan apa yang ia lakukan dulu dengan kampanye anti-korupsinya.

Pada tahun 2015 lalu, Wang Qishan – tangan kanan Xi, mengangkat isu legitimasi Partai Komunis. Isu ini dianggap tabu pada masa sebelumnya. Seiring dengan melambatnya laju ekonomi Tiongkok, Partai seakan sadar bahwa tidak dapat lagi mengandalkan pertumbuhan, semata-mata untuk memastikan status politiknya.

Kampanye anti-korupsi yang dilakukan Xi, menjadi elemen penting dalam meletakkan legitimasi baru bagi Partai. Selain itu, Partai juga mempromosikan nasionalisme yang lugas melalui kebijakan luar negerinya.

Menurut tradisi Partai, ini akan menjadi periode kedua Xi yang berlangsung selama lima tahun, selain juga periode terakhirnya. Tapi, kita tidak tahu apakah ia akan menggunakan posisinya untuk melakukan reformasi ekonomi yang ambisius atau tidak. Sebagaimana ia juga belum memutuskan apa perannya di Tiongkok pasca tahun 2022.

Pada kancah internasional, Xi telah menyatakan kesiapannya untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan AS sebab ‘America First’-nya Trump. Tapi, Tiongkok tidak bisa berharap banyak selama tidak ada kenaikan signifikan pada kemampuan ‘soft power’-nya.

Krisis Semenanjung Korea yang berlangsung, akan membuat persaingan strategis AS-Tiongkok di era Trump dan Xi semakin menguat. Apakah kekuatan lain akan bergabung untuk memastikan kerja sama negara adikuasa gagal tanpa harapan? Pertanyaan ini akan terjawab jika sistem internasional mempertahankan sistem apapun yang dibicarakan di tahun-tahun mendatang.(whc/)

Sumber: Al-Jazeera, dakwatuna