OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Kamis, 26 Oktober 2017

Sejak Reklamasi, Nelayan Teluk Jakarta Cuma Dapat “Ikan Sampah”

Sejak Reklamasi, Nelayan Teluk Jakarta Cuma Dapat “Ikan Sampah


Salah satu warga Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara, Teddy Kusnendi (59) menyampaikan pendapatnya terkait polemik proyek pembuatan pulau palsu atau reklamasi di Teluk Jakarta. Bagi dia, banyak nelayan yang menderita kerugian bahkan tak sedikit mereka hanya mendapat ikan lumpur (sisa-sisa ikan) sejak adanya proyek reklamasi tersebut.

“Para nelayan yang melaut hanya bermodalkan perahu motor dan bagan tradisional, kemudian tangkapannya pun hanya beberapa jenis ikan lumpur ‘sampah’ (ikan kecil berukuran dua-tiga ruas jari orang dewasa) seperti ikan ekor kuning, ikan kerici, udang rebon dan kerang,” kata Teddy kepada Swamedium.com saat ditemui, Ahad (22/10).

Pria yang telah tinggal di Kampung Akuarium, Jalan Pasar Ikan, RT 12 RW 004, Penjaringan, Jakarta Utara sejak 1973 itu, mengisahkan, banyak nelayan berhenti melaut dengan alasan keterbatasan modal, lantaran harga bahan bakar untuk mesin perahu tradisional yang melonjak di kisaran harga 450 sampai 700 ribu rupiah per satu kali perjalanannya.

“Para nelayan banyak yang berhenti melaut karena jarak dari tempat tinggalnya ke tempatnya melaut di pulau Onrust, pulau harapan, pulau pari, jauh dari tempat kumpul ikan, apalagi pas udah diurug jadi teluk naga (pulau reklamasi), dan biasanya nelayan ini harus ngeluarin biaya sendiri buat modal, tapi makin ke sini tambah besar modalnya untuk ngebensin, biasanya 200 ribu per sekali ngelaut sekarang sampai 450 ribu,” papar Teddy.

Selain itu, pria berkacamata yang sebelum adanya proyek reklamasi berprofesi sebagai nelayan, mengungkapkan, nelayan juga harus mengukur jarak melautnya agar dapat mengetahui berapa liter perahunya akan menghabiskan bahan bakar. Dan biasanya, tiap satu perahu tradisional harus menyiapkan jeriken besar ukuran 20 liter sebanyak 2-3 buah untuk keperluan perahunya selama melaut.

“Jangan disangka nyari ikan itu gampang, gimana coba bayangin ya. Buat nambah pemasukan, kadang nelayan juga sewain perahunya, ada yang matok harga 700-800ribu per sekali perjalanan ke pemancing atau wisatawan,” bebernya.

Teddy yang juga adalah tokoh setempat itu menceritakan nasibnya yang menjadi korban penggusuran di Kampung Akuarium, bahwa harta benda yang ia dan keluarganya kumpulkan lenyap seketika dalam satu hari saat buldozer meratakan bangunan rumahnya.

“Beberapa waktu lalu, pasca kebakaran melanda kampung ini, harta saya dan keluarga abis gitu aja gak ke sisa, baru impas dari kebakaran selang gak lama kemudian kampung kami segala di gusur, Harta yang saya kumpulin seperti mesin mesin perkakas, perabotan meubel, kerajinan tangan saya, seharian di hajar habis habisan, ngomong kalo masyarakat sini warga liar, biadab, biadab itu orang, pejabat gak tau diri,” lirihnya.

“Setelah kejadian penggusuran itu udah aja tiga bulan berlalu sambil ngeratapin nasib di tumpukan puing bekas lahan tempat saya tinggal masih nemu ada sisa sisa karya saya meski kekubur di urugan, harta yang udah kami kumpulin selama 30 tahun jadi gak berarti lagi, tanah kami telah kalian ambil, lalu pulau mau kalian rampas, namun ingat lautan gak bisa kalian miliki karena ini punya kami,” lanjutnya.(kl/swa)[] 

Sumber : eramuslim.com

Read more: http://www.tribunislam.com/2017/10/sejak-reklamasi-nelayan-teluk-jakarta-cuma-dapat-ikan-sampah.html#ixzz4wacrisOK 
Follow us: @TribunIslam on Twitter | TribunIslam on Facebook