Hijarbie: Sehelai Identitas dari Muslimah Amerika?
Oleh: Alga Biru
Lupakan sejenak topik buka-tutup hijab yang ramai diperbincangkan di media lokal Indonesia. Tanah Paman Sam punya cerita menarik kali ini. Setidaknya, untuk negeri yang kental dengan nuansa demokrasi, masih ada muslimah yang menunjukkan jati diri apa adanya. Alih-alih dicecar, hijab tampaknya akan menjadi tren baru dunia Barat.
Secara resmi, untuk pertama kalinya, Mattel (MAT) mengeluarkan produk terbaru mereka berupa Barbie Doll berhijab. Pada 13 November 2017, Ibtihaj Muhammad terpilih sebagai model rujukan dari Barbie berhijab ini. Patut diketahui, Ibtihaj Muhammad merupakan pemain anggar wanita pertama yang juga menggunakan hijab pada turnamen Olympic 2016 silam.
"Thank you @Mattel for announcing me as the newest member of the @Barbie #Shero family! I'm proud to know that little girls everywhere can now play with a Barbie who chooses to wear hijab! This is a childhood dream come true," tulis Muhammad di akun twitter pribadinya.
Barbie berhijab ini mendapat dukungan pula dari berbagai kalangan. "LOVE this! @Barbie's first doll with a hijab is modeled after @IbtihajMuhammad. Representation matters. Black. Muslim. Magic," ucap Britni Danielle, seorang penulis kawakan.
Mereka yang antipati selalu ada. Dengan lelucon yang tidak lucu, Ann Coulter, selaku far-right US commentator, menulis sindiran di sosial media dengan ungkapan, "ISIS Ken sold separately."
...Bagaimana muslim Amerika menunjukkan identitas, simbol dan makna keislaman. Singkat cerita, Barbie berhijab, semacam promosi keberislaman di dunia barat yang anti Islam...
Islam dan isu terorisme masih terus digoreng dalam nuansa sosial politik Amerika. Di bawah kepemimpinan Donald Trump, kebencian terhadap Islam kian muncul ke permukaan. Bagi muslim dan muslimah sendiri, aksi Hijarbie (sebutan Barbie berhijab) seperti ini, menjadi isu yang menarik diperbincangkan. Bagaimana muslim Amerika menunjukkan identitas, simbol dan makna keislaman. Singkat cerita, Barbie berhijab, semacam promosi keberislaman di dunia barat yang anti Islam.
Di tanah air, kita mengenal sosok olahragawati yang juga memperjuangkan hak berhijab di ranah olahraga. Raisa Hamidah, pemain basket wanita pertama Indonesia, yang memperjuangkan penggunaan hijab dalam pertandingan tingkat nasional dan internasional. Tak ada yang mulus tentunya.
Wanita yang baru saja melahirkan anak pertama ini, terus mendukung perjuangan teman sejawat muslimah yang ingin menjaga konsistensi berhijab. Seorang penulis muda, menulis pengalaman Raisa di dalam novel terbarunya, “Basket di Hatiku, Hijab di Kepalaku”. Isu muslimah berhijab di ranah publik, terus menjadi sorotan.
Jika kita bicara kesempurnaan, selalu ada celah ketidaksempurnaan. Yang merasuk alam pikir kita ialah, kenapa hidup sebegini terjal? Satu sisi, hijab demikian mudah ditanggalkan pemakainya. Ya, siapa yang akan mengkriminalisasi buka-tutup hijab? Salah bicara pada topik ini sebagai wujud perhatian sesama muslim, bisa-bisa malah kena delik ujaran kebencian.
Di sisi lain, kita melihat kaum minoritas (muslim Amerika) secara sukarela memperjuangkan hijab sebagai identitas. Manusia bebas membuat pilihan. Namun, dia tidak bebas dari konsekuensi perbuatan dan pilihannya. Setiap orang punya sudut pandang kebahagiaan. Bahkan Eric WeiNer, melalui tulisan perjalanan ‘BLISS’, rela besusah payah mencari makna kebahagiaan hakiki. Apa akhirnya ketemu?
Seketemu-ketemunya orang, tetap saja dia mencari batas ketenangan hidup. Seolah misi manusia belum selesai. Dan baru benar-benar selesai, ketika upacara kematian itu digelar. Padahal kita sama-sama tahu, hidup yang sebenarnya baru saja dimulai. Wallahu’alam.(riafariana/)
Ilustrasi: Google
Sumber : voa-islam.com