OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Kamis, 14 Desember 2017

Begini Kata Diplomat AS Jika Yerusalem Tidak Direbut Kembali

Begini Kata Diplomat AS Jika Yerusalem Tidak Direbut Kembali

10Berita - WASHINGTON – Keputusan Presiden AS Donald Trump untuk memindahkan kedutaan AS di Israel ke Yerusalem adalah sebuah kesalahan besar yang didorong oleh kepentingan politik domestik AS, diplomat AS yang juga analis Timur Tengah mengatakan keputusan diambil dengan alasan konsekuensi strategis internasional, lansir Aljazeera, Rabu (13/12/2017)

Analisis Timur Tengah menyimpulkan, “Presiden AS, tak lama setelah menjabat hampir setahun yang lalu, terlihat telah membangkitkan harapan akan proses baru perdamaian Timur Tengah versinya dengan mengadakan serangkaian pertemuan dengan pemimpin Palestina Mahmoud Abbas di Washington, Bethlehem dan New York.”

Namun setelah Trump mengumumkan bahwa AS secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel dan akan memulai proses pengalihan kedutaan AS ke Yerusalem dari Tel Aviv, keputusan nyeleneh ini menimbulkan keraguan bagi rakyat Palestina, serta para analis Timur Tengah mengenai peran AS sebagai perantara kesepakatan damai potensial.

“Pernyataan Trump ini membangkitkan kecemasan, tekanan, kemarahan, kebencian secara menyeluruh karena ini tidak hanya masalah hukum atau politik, ini adalah politik identitas,” Husam S Zomlot, kepala Delegasi Umum PLO untuk AS, mengatakan dalam sebuah panggilan telepon dengan wartawan di Washington pada hari Senin.

“Pernyataan ini menyentuh dasar masalah,” Zomlot menambahkan.

Kemampuan Trump untuk mengenalkan rencana perdamaian versinya, jika tidak diambil alih, kemungkinan akan bergeser di masa mendatang ke pemilikan total kota tersebut, para ahli dan diplomat mengatakan.

Pertanyaan kuncinya, menurut para analis, adalah bagaimana pemimpin Palestina akan bereaksi dalam masalah ini.

Indikasi awalnya adalah bahwa mereka akan menekan isu mereka di hadapan masyarakat internasional.

Pemimpin Palestina Mahmoud Abbas, yang berbicara pada pertemuan puncak Organisasi Kerjasama Islam (OKI) pada hari Rabu, mengatakan bahwa AS telah “mendiskualifikasi” diri mereka sendiri dari perundingan damai di masa depan.

“Kami tidak akan menerima peran apapun untuk Amerika Serikat dalam proses perdamaian, mereka telah membuktikan bias penuh mereka untuk Israel,” kata Abbas.

Yousef al-Othaimeen, sekretaris jenderal OIC, mengatakan bahwa “OIC (the Organisation of Islamic Cooperation) menolak dan mengutuk keputusan Amerika.”

Aaron David Miller, seorang mantan negosiator AS dan sekarang seorang pakar Timur Tengah di Wilson Center di Washington, DC, mengatakan bahwa “ini adalah situasi suram dari perspektif Palestina seperti yang telah saya lihat dalam waktu lama.”

Reaksi diplomatik di seluruh dunia sebagian besar, meski tidak secara universal, negatif. Pertemuan Liga Arab di Kairo mengecam langkah Trump.

Menteri luar negeri Uni Eropa bertemu dengan Perdana Menteri Israel Netanyahu di Brussels menegaskan kembali dukungan Eropa untuk solusi dua negara dengan Yerusalem dilihat sebagai ibukota Israel dan Palestina.

“Jika Anda melihat para ahli, mereka semua memperdebatkan dampaknya, apakah ini akan menjadi bencana, atau apakah ini bisa ditolerir,” Shibley Telhami, seorang pollster (pengumpul suara) dan profesor di University of Maryland, mengatakan kepada Al Jazeera. “Tidak ada yang mengatakan ini benar-benar akan memajukan perdamaian.”

Penasihat Trump di Timur Tengah “tidak berpengalaman,” “hidup dalam gelembung” dan “tidak memiliki cara independen untuk membuat penilaian tentang konsekuensi,” kata Telhami.

Tapi Administrasi Trump tampaknya percaya dengan argumen PM zionis, Netanyahu, bahwa Arab tidak lagi peduli dengan Yerusalem dan hanya akan memberikan lip service untuk masalah ini, kemarahan akan mereda, dan pemerintah Arab akan terus maju sambil melupakan karena mereka ingin berbisnis dengan Trump, Telhami menambahkan.

“Jika ternyata Intifadah dikobarkan, maka semua taruhan dibatalkan karena Anda memiliki kendala perlawanan lagi yang mengganggu prioritas dan memaksa penguasa Arab untuk mengambil posisi dan mungkin menjauhkan diri dari Trump. Jika intifada tidak terjadi, atau itu terjadi pada skala yang lebih kecil, hal yang harus diperhatikan adalah apakah Abbas akan menemukan cara lain untuk menghentikan Trump sehingga bisa kembali ke meja perundingan.”

Hady Amr, mantan utusan khusus Barack Obama untuk perundingan Israel-Palestina, mengatakan bahwa keputusan Trump adalah “sebuah gempa besar bagi masyarakat Palestina.”

“Orang-orang pasti sangat marah, sangat terhina,” kata Amr, yang sekarang adalah seorang rekan senior untuk kebijakan Timur Tengah di Brookings, kepada Al Jazeera.

Langkah Trump telah memicu aksi perlawanan yang meluas di Tepi Barat yang diduduki, Yerusalem Timur dan Jalur Gaza.

Sedikitnya dua warga Palestina telah terbunuh dan ratusan lainnya terluka oleh pasukan penjajah Israel selama demonstrasi tersebut.

Demonstrasi juga terjadi di kota-kota besar di Asia, Timur Tengah dan Afrika Utara.

Pasukan keamanan menembakkan gas air mata ke arah para pemrotes di luar kedutaan AS di Beirut, dan ratusan orang Yordania berdemonstrasi di depan kedutaan AS di Amman.

Trump telah memberikan “alasan yang mudah” bagi PLO untuk menyatakan bahwa AS bukanlah perantara perdamaian yang jujur kepada PBB, AS selalu mengingkari komitmennya dan PLO akan berjuang melawannya melalui PBB dan Pengadilan Pidana Internasional, kata Amr.

Ketika ditanya oleh Al Jazeera, apa yang mungkin dilakukan pimpinan PLO, Zomlot mengatakan bahwa warga Palestina akan mengevaluasi kembali peran AS sebagai mediator dan mencari forum di PBB dan tempat lain.

“Ini momen yang strategis atas blunder AS melalui mulut Trump,” katanya.

Abbas akan bertemu dengan menteri luar negeri Uni Eropa di Brussels pada bulan Januari.

Perwakilan Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini mengatakan dalam sebuah pernyataan pers setelah bertemu dengan PM zionis Netanyahu bahwa Uni Eropa akan berusaha untuk memulai kembali perundingan perdamaian Timur Tengah melalui sebuah pertemuan “kuartet” termasuk PBB, Rusia dan AS, yang mungkin diperluas dengan mengajak Mesir dan Jordan.

Sumber : Jurnalislam.com