OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Minggu, 31 Desember 2017

Kaleidoskop 2017: Kemerdekaan Berekspresi dan Kebebasan Pers Anjlok

Kaleidoskop 2017: Kemerdekaan Berekspresi dan Kebebasan Pers Anjlok


10Berita – Awal tahun 2017 menjadi kado kelam bagi dunia pers dan umat Islam Indonesia. Alih-alih memerangi hoax dan radikalisme, pemerintah justru menjadikan media Islam sebagai kambing hitam.

Tak cukup hanya disitu upaya kriminalisasi jurnalis pun terjadi, dengan ditangkapnya Ranu Muda, seorang Jurnalis Media Panjimas.com yang dituding melakukan perusakan di kafe Social Kitchen di Surakarta, sementara ia sedang melakukan tugas jurnalistiknya.

Pembungkaman pers kian menjadi di tahun 2017, massa tiga tahun menjabat di kursi kepresidenan Pemerintahan Jokowi kerap menuai kritikan, bahkan demonstrasi kritis terus terjadi. Nampaknya pemerintah kalang kabut dengan gencarnya sosial media di mana semua orang bebas menyuarakan aspirasinya.

Walhasil muncul kebijakan dan wacana yang menggambarkan kepanikan. Lahirlah kebijakan pemblokiran Telegram dan muncul juga wacana memblokir Facebook. Sayangnya sosmed sudah menjadi rutinitas masyarakat yang tak terelakkan. Alhasil, aktivis sosmed yang kritis punlah menjadi korban, beberapa dari mereka dikriminalisasikan.

Januari 2017 : Pemblokiran Situs Media Islam

Kemenkominfo mengumumkan pemblokiran 11 media yang mayoritas adalah media Islam. Kasus tersebut terus berulang-ulang hampir setiap tahunnya di era Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

Tepat pada 1 Januari 2017 Kemenkominfo memblokir 11 situs tersebut, dengan alasan mengandung konten negatif. Kali ini, situs-situs yang diblokir Kominfo dimasukkan ke database Trust+ Positif. Sebelas situs tersebut adalah: voa-islam.com, nahimunkar.com, kiblat.net, bisyarah.com, dakwahtangerang.com, islampos.com, suaranews.com, izzamedia.com, gensyiah.com, muqawamah.com dan abuzubair.net.

“Sebelas situs yang diblokir ini merupakan hasil pantauan dari sekitar 200 situs maupun media online yang diyakini bermuatan negatif,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Humas Kominfo Noor Iza, saat dihubungi, Selasa (3/1/2017).

Noor Iza mengatakan, sembilan situs pertama diblokir karena mengandung konten negatif, seperti ujaran kebencian, fitnah, provokasi, SARA, hingga penghinaan simbol negara. Sementara itu, dua lainnya karena mengandung phising dan malware.

Sontak upaya pembungkaman pers tersebut mendapat penolakan dari berbagai tokoh dan elemen masyarakat. Tagar #StopBlokirMediaIslam telah menempati urutan pertama trending topik Indonesia di Twitter.

Tidak cukup disitu Dewan Pers turut berwacana memberikan barcode kepada media massa yang sudah diverifikasi. Barcode itu akan menjadi pembeda media mana saja yang sudah memenuhi syarat verifikasi dari Dewan Pers. Jelas wacana tersebut sama saja menolak sistem semua orang berhak bebas berpendapat.

Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo mengatakan, penerapan barcode itu merupakan bentuk pembeda media terverifikasi dengan media abal-abal yang belakangan menjadi sorotan. Maraknya berita bohong atau hoax yang bertebaran di media sosial dalam hal ini turut menjadi perhatian Dewan Pers.

“Untuk itu, nanti ada barcode-nya bahwa media ini tepercaya, terverifikasi di Dewan Pers. Kami berharap masyarakat tidak lagi dirugikan oleh pemberitaan,” kata Yosep saat dihubungi cnnindonesia.com, Senin (9/1).

Mei 2017 : Akhir Kriminalisasi Jurnalis Ranu Muda

Ranu Muda ialah jurnalis media online Panjimas.com. Ia merupakan anggota Jurnalis Islam Bersatu (JITU) dan anggota Komisi Ukhuwah MUI Surakarta. Bulan Ramadhan, menjadi bulan penuh berkah bagi Ranu Muda Adi Nugroho, wartawan Panjimas.com. yang sempat mendekam di penjara selama lima bulan lebih, akibat dituduh terlibat dalam aksi nahi munkar kemaksiatan di Social Kitchen di akhir Desember 2016 lalu. Ranu kini bisa menghirup udara bebas.

Jaksa Umar Dhani dalam dakwaannya di persidangan menjerat para tokoh LUIS; Edi Lukito, Joko Sutarto, Endro Sudarsono, Yusuf Suparno, Suparwoto, Mujiono Laksito,Mulyadi dan wartawan Ranu Muda Adi Nugroho dengan sejumlah pasal berlapis. Kedelapan orang tersebut didakwa Pasal 170 KUHP tentang penganiayaan, Pasal 169 KUHP tentang permufakatan jahat, Pasal 406 tentang pengrusakan, serta Pasal 167 tentang masuk ke rumah tanpa izin.

Kemudian, dalam persidangan berikutnya dalam tuntutan yang dibacakan bergantian oleh Jaksa Penuntut (JPU) Umum Slamet Margono, Umar Dani dan Saptandi dalam sidang, menuntut Ranu dan para tokoh pimpinan LUIS dengan hukuman enam bulan penjara.

Pembelaan umat Islam atas kedzaliman pemerintah terhadap Ranu begitu kuat kala itu. Tagar #bebaskanRanu menjadi trending topik. Upaya Kuasa hukum Ranu juga sebelumnya pernah beberapa kali menempuh proses penangguhan penahanan, dengan jaminan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, namun berkali-kali pula ditolak aparat kepolisian.

Juni 2017 : Pemblokiran Akun Facebook

Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara mengatakan bahwa saat ini banyak konten negatif yang beredar di media sosial. Menurutnya, langkah yang saat ini diambil Kominfo untuk menanggulangi hal ini yaitu menutup akun-akun yang menyebarkan konten tersebut.

“Kemarin bertemu dengan Komisi I, dan konten saat ini banyak hal negatif, merusak hubungan satu dengan lainnya. Adanya sesuatu yang tidak baik di media sosial ini sehingga memberikan kewenangan kepada kami, tentunya menutup akun,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta pada Senin (05/06).

Namun, jika konten negatif dan akun-akun penyebar konten buruk tidak bisa dikendalikan, Facebook akan ditutup (dblokir, red). Rudy menilai tindakan itu sesuai dengan undang-undang.

“Tetapi jika diperlukan Kominfo menutup penyelenggaranya. Jika sekarang kita melakukan pembatasan akun, dimungkinkan Facebooknya ditutup. Kalau memang nanti diperlukan, ya terpaksa,” tuturnya.

Juli 2017 : Telegram Diblokir

Kementerian Komunikasi dan Informatika pada Jumat 14 Juli 2017 telah resmi menyatakan sikap akan memblokir layanan pesan instan Telegram.

Dalam keterangan resminya, Kemenkominfo mengatakan bahwa pihaknya telah meminta Internet Service Provider (ISP) untuk melakukan pemutusan akses (pemblokiran) terhadap sebelas Domain Name System (DNS) milik Telegram.

Kesebelas DNS yang diblokir adalah t.me, telegram.me, telegram.org, core.telegram.org, desktop.telegram.org, macos.telegram.org, web.telegram.org, venus.web.telegram.org, pluto.web.telegram.org, flora.web.telegram.org, dan flora-1.web.telegram.org. Akibatnya,layanan Telegram versi web sudah tidak bisa lagi diakses.

“Saat ini kami juga sedang menyiapkan proses penutupan aplikasi Telegram secara menyeluruh di Indonesia apabila Telegram tidak menyiapkan Standard Operating Procedure (SOP) penanganan konten-konten yang melanggar hukum dalam aplikasi mereka. Langkah ini dilakukan sebagai upaya untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” papar Dirjen Aplikasi Informatika Semuel A. Pangerapan di situs resmi Kominfo.go.id.

Kominfo beralasan, aplikasi tersebut ini dapat membahayakan keamanan negara karena tidak menyediakan SOP dalam penanganan kasus terorisme.

“Pemblokiran ini harus dilakukan karena banyak sekali kanal yang ada di layanan tersebut bermuatan propaganda radikalisme, terorisme, paham kebencian, ajakan atau cara merakit bom, cara melakukan penyerangan, disturbing images, dan lain-lain yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia,” ujarnya.

Oktober 2017 : Represi di Demonstrasi 3 Tahun Jokowi-JK

Aksi demonstrasi untuk mengevaluasi tiga tahun kepemerintahan Jokowi-JK oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia(BEM-SI) beberapa waktu lalu berakhir ricuh. Alih-alih berharap aspirasinya disambut oleh Presiden di depan Istana Negara, sayangnya hingga larut malam Jokowi tak kunjung menyapa mahasiswa.

Naasnya dua orang Aktivis mahasiswa yang turun demonstrasi telah ditetapkan sebagai tersangka, sedangkan dua belas orang lainya dikenakan wajib lapor.

BEM-SI menilai tindakan represif aparat yang berlebihan dan cepat menetapkan tersangka terhadap aktivis mahasiswa merupakan cermin ketidakadilan hukum. Dia membandingkan hal tersebut dengan kasus-kasus lainnya, di mana polisi cukup lama dalam menetapkan tersangka.

Desember 2017 : Indeks Kebebasan Pers Indonesia Rendah

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Abdul Manan menyebut indeks kebebasan pers di Indonesia berada di urutan 124 dari 180 negara koresponden. Kebebasan pers mulai tergerus lantaran kekerasan fisik terhadap wartawan semakin marak.

Sehingga, jaminan atas kebebasan pekerjaan pers di Tanah Air perlu mendapat perhatian serius. Apa lagi, menurut lembaga internasional Reporters Sans Frontiers (RSF), kebebasan pers di Indonesia jauh berada di bawah negara-negara Asia seperti Jepang, Hongkong atau bahkan Timor Leste.

Karena bagaimana publik atau pejabat menyelesaikan masalah dengan wartawan itu dengan main kayu. Kekerasan fisik ini polanya berulang dalam waktu 3-5 tahun belakangan,” kata Abdul di Cikini, Jakarta Pusat, Rabu 27 Desember 2017.

Abdul mengatakan, dari catatan AJI ada 61 kasus kekerasan terhadap wartawan sepanjang 2017. Jumlah itu menjadi angka tertinggi kedua dalam satu dekade. Pada 2016 AJI mencatat kasus kekerasan pada wartawan mencapai 81 kasus.

Dari 61 kasus di 2017 ini, 30 diantaranya adalah kekerasan fisik. Sementara, 13 kasus pengusiran dan pelarangan liputan pada wartawan. Kemudian ada 1 kasus yang menjadi catatan khusus yaitu persekusi terhadap wartawan TopSkor Zulfikar Akbar di media sosial.

Abdul menyebut, pelaku kekerasan tertinggi terhadap wartawan adalah warga sipil dan kedua polisi. “Ini sisi ironisnya, warga dan polisi seperti bersaing sebagai pelaku kekerasan terhadap wartawan,” ucap dia.

Dia mengungkapkan, data AJI mencatat pelaku kekerasan dari pihak warga sebanyak 17 orang sedangkan pelaku kekerasan dari pihak polisi berjumlah 15 orang. Tak hanya itu, dari pihak pejabat yang melakukan kekerasan terhadap wartawan berjumlah 7 orang.

Menurut Abdul, kekerasan berulang ini juga diakibatkan oleh regulasi yang tak ramah bagi jurnalis. Aturan seperti UU Pornografi, Intelijen dan UU ITE jelas memberi peluang pada pemerintah untuk berbuat semena-mena pada wartawan.

“Itu berbahaya karena memberi cek kosong pada pemerintah untuk melakukan tindakan yang tidak demokratis,” pungkasnya.

Penulis : Hafis Syarif

Sumber : Kiblat.