OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Senin, 11 Desember 2017

Keputusan Trump: Kisah di baliknya dan akibatnya di masa depan

Keputusan Trump: Kisah di baliknya dan akibatnya di masa depan



10BeritaPresiden AS Donald Trump, melalui pengumumannya Rabu pekan lalu, mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Jalan hingga Trump mencapai keputusan ini bisa ditelusuri dari penempatan tim yang bekerja bersama Trump menangani isu Timur Tengah, dan memahami jejaring finansial dan basis suara pemilihnya.

Di sisi lain, konsekuensi dari pengumumannya tentang Yerusalem bisa dilihat dari dua dimensi; apa artinya untuk konflik Israel-Palestina dan visi AS untuk keamanan dunia.

Di awal Januari 2016, Trump menjawab pertanyaan tentang pemindahan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. “Mereka menginginkannya di Yerusalem,” dia berkata lalu menambahkan, “Saya mendukung 100 persen. Kami mendukung 100 persen.” Mereka yang didukung Trump adalah kelompok tertentu, seperti Koalisi Pemeluk Yahudi Partai Republik dan Pemeluk Kristiani Evangelis.

Kedua kelompok ini memiliki basis suara kuat dan kemampuan finansial mumpuni. Penyumbang dana kampanye terbesar Trump adalah pemilik kasino Sheldon Adelson, yang menyumbangkan USD25 juta untuk Trump pada masa kampanye, dan membantu membayar USD5 juta lagi untuk pesta inaugurasi. Konon, Adelson marah besar saat pada Juni 2017, Trump menandatangani surat penangguhan yang menahan kedutaan besar AS tetap di Tel Aviv.

Penandatanganan surat penangguhan ini sudah menjadi rutinitas bagi presiden AS sejak 1995, ketika Kongres mengesahkan legislasi untuk merelokasi kedutaan besar AS ke Yerusalem.

Ketua delegasi Palestina di Washington, Hosam Zomlot, mengungkap kepada CNN bahwa pengakuan Trump ini mengejutkannya.

“Saya merasa seperti ditusuk dari belakang, karena kami sedang melangkah lebih dekat dengan perjanjian final,” ungkap Zomlot. Keputusan mendadak untuk mewujudkan legislasi 1995 ini mungkin dipengaruhi oleh tekanan orang-orang seperti Adelson.

Hubungan antara Adelson dan Trump, bagaimanapun juga, tidak terbatas hanya pada isu mendukung Israel. Beberapa hari sebelumnya, Adelson dan Trump – bersama dengan beberapa orang lainnya – meraih kemenangan yang akan menyelamatkan jutaan dolar dari kantong mereka.

Partner lain dalam kampanye soal rencana reformasi pajak milik Trump adalah menantunya yang juga miliuner, Jared Kushner, yang kini ditugasi mengawal perjanjian perdamaian antara Palestina dan Israel.

Menurut CNN, Kushner dan istrinya sangat aktif di beberapa minggu terakhir terkait rencana pemangkasan pajak untuk perusahaan di AS. Menariknya, Kushner baru mulai menjalankan bisnis multimiliar-dolar milik keluarganya pada 2008, setelah sang ayah dipenjara karena tuduhan memberi kontribusi ilegal untuk kampanye politik, menilap pajak, dan mengganggu saksi mata.

Berasal sebagai pemeluk Yahudi dari Ukraina, Adelson membiayai kampanye presidensial Trump dengan tujuan spesifik, seperti mengubah peraturan tentang pajak dan mendapatkan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Kushner, di sisi lain, adalah seorang Yahudi Zionis yang banyak memberi donasi dan dukungan aktif pada pembangunan perumahan Israel di wilayah pendudukan Palestina. Dia bahkan memiliki hubungan personal dan keluarga dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

Ada dua pemain besar lain dalam tim Trump yang kurang lebih memiliki kualifikasi sama. Keduanya adalah pengacara yang memiliki spesialisasi di bidang keuangan dan pajak. Yang pertama Jason Greenblatt. Dia bekerja sebagai karyawan bagian legal di organisasi finansial dan investasi milik Trump, sebelum kini ditunjuk oleh sang presiden sebagai perwakilan khusus untuk negosiasi internasional.

Greenblatt juga berkolaborasi dengan Kushner menangani berkas-berkas Palestina-Israel. Sebagai Yahudi Ortodoks, dia sendiri pernah tinggal di perumahan Israel di wilayah pendudukan, di mana dia belajar dan menjadi relawan sebagai pasukan bersenjata.

Melemahnya tatanan dunia

Anggota menarik lain dari tim Trump adalah pengacara Zionis garis keras, spesialis kasus-kasus pailit, yang kini bertugas sebagai duta besar AS untuk Israel: David Friedman.

Jaringan dan tim yang mengelilingi Trump bisa menjelaskan bahwa Yerusalem adalah bagian kecil dari agenda yang lebih besar, di mana kepentingan finansial, isu keagamaan, pemilihan umum, dan politik bercampur-campur. Namun ini menjadi penting untuk dicatat, bahwa keputusan atas Yerusalem dibuat untuk menenggelamkan kebijakan baru soal pajak.

Menilai keputusan Trump tanpa menyinggung bagaimana dia menyepelekan hukum dan institusi internasional tidak akan lengkap. Trump pernah berjanji saat kampanye pemilihan presiden untuk menarik AS dari organisasi dan perjanjian internasional yang tak punya kepentingan langsung dengan AS.

Trump sudah menarik AS dari perjanjian perubahan iklim Paris Agreement, juga meminta negosiasi ulang dengan North American Free Trade Agreement (NAFTA). Dengan pandangan seperti ini, selayaknya bagi Trump untuk mengabaikan resolusi internasional yang diambil PBB sebagai dasar resolusi soal Yerusalem, termasuk meninggalkan kebijakan dan posisi resmi AS yang menyangkal hak Israel menerapkan kebijakan sepihak di kota suci.

Keputusan Trump adalah indikasi lain bagaimana pemerintahannya berniat untuk melemahkan institusi dan tatanan dunia yang liberal.

Nasihat-nasihat dari beberapa pejabat, seperti Menteri Dalam Negeri Rex Tillerson dan beberapa sekutu Trump di Arab mungkin memiliki peran untuk memperhalus bahasa Trump saat menyampaikan pengakuan Yerusalem. Tillerson berkata, “Setelah pengumuman ini, tidak ada yang berubah, selain bahwa presiden kini telah melaksanakan peraturan 1995”.

Pun begitu, pemikiran pemerintahan AS diungkap oleh Wakil Presiden AS Mike Pence beberapa hari sebelum Trump melakukan pengumuman. Saat mengikuti peringatan hari jadi ke-70 tahun pengambilan Resolusi 181 PBB yang mengakui penetapan negara Israel, dia mengeluarkan kutipan bernaga religius. Dia berkata, “Negara Yahudi, Israel, telah lahir dan menjawab pertanyaan yang pertama kali dilontarkan oleh Nabi Yesaya: ‘Dapatkah sebuah negara dilahirkan dalam sehari, dapatkah sebuah bangsa dilahirkan dalam sekejap?’.” Pence menambahkan, meski “Israel dibangun dengan tangan manusia, mustahil untuk tidak melihat campur tangan surga di sana”.

Dia lantas mengacu pada kunjungan yang akan dilakukannya ke Palestina dan berkata, “dalam kunjungan saya nanti, adalah sebuah kehormatan bagi saya (…), untuk berjalan di atas tanah sebuah kota suci yang dibangun oleh Raja David lebih dari 3.000 tahun yang lalu… …dan sekarang, Presiden Donald Trump sedang mempertimbangkan kapan dan bagaimana memindahkan kedutaan besar AS di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem”. Melontarkan wacana seperti ini jelas akan mendorong terjadinya kemunculan fundamentalis agama di seluruh dunia.

Pengumuman yang dibuat Trump mengakibatkan keterkejutan di Timur Tengah. Jalan-jalan di Palestina dan kota-kota lain di wilayah itu menjadi saksi kemunculan protes dan bentrok yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan penyebab yang sama. Respons dari para politisi, terutama politisi Palestina, diperhatikan dengan seksama oleh generasi muda.

Hari-hari ini, juga minggu dan bulan ke depan, sangat krusial untuk membentuk masa depan warga Palestina, dan bagaimana generasi muda di sana akan memandang kepemimpinan politik dan organisasi saat ini. Jika tidak ada respons yang meyakinkan, sangat mungkin gelombang baru gerakan politik akan muncul.

[Penulis adalah Associate Professor di Departemen Ilmu Politik di Universitas Birzeit, Palestina]

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Anadolu Agency

Sumber : Anadolu Agency, Moslemtoday.com