Rasionalitas dan Kebangkitan Ekonomi Ummat
Oleh: Diah Arminingsih
Magister Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, E-mail: dyah.ponty@gmail.com
AKSI ummat Islam yang dilaksanakan bertepatan tanggal 02 Desember 2016 kemudian tahun ini di tindak lanjuti dengan reuni 212, yang tidak berjeda lama disambut dengan aksi Palestina besar-besaran di Monas-Jakarta untuk menuntut keadilan akan kebebasan negara Palestina.
Tribunnews.com menjelaskan berdasarkan data Panitia Pelaksana Reuni Alumni 212 peserta yang hadir sebanyak 7,5 juta umat. Sedangkan peserta aksi Palestina menurut republika, nyaris tidak berbeda dengan aksi 212 sekitar 4 – 5 juta umat bahkan lebih, hal ini tidak bisa dipastikan angka yang tepat karena banyaknya peserta yang hadir.
Momentum-momentum tersebut membuktikan kepada dunia bahwa ummat Islam Indonesia memiliki Super Power jika bersatu, walau berbeda-beda manhaj, harokah, ulama tetap bersatu atas nama Islam dalam menyuarakan kebenaran.
Umat Islam dari segala penjuru wilayah di Indonesia berkumpul hadir pada momentum tersebut bak musim haji. Jika kita melihat dari sudut pandang ekonomi, terdapat dampak transaksi ekonomi yang tidak seperti biasa mulai dari permakaian jasa angkut atau transportasi peserta, konsumsi peserta, biaya panggung, soundsystem, juru parkir, dan lain sebagainya. Melalui dampak-dampak tersebut sangat jelas bahwa momentum tersebut mampu menggerakkan beragam aktivitas ekonomi yang ada dimasyarakat.
Uniknya adalah transaksi ekonomi yang terjadi pada momentum tersebut bukan transaksi ekonomi biasa, akan tetapi transaksi ekonomi melangit, atau jika masuk pada teori ia dapat ditemui pada bab rasionalitas ekonomi Islam.
Rasionalitas dalam kajian ekonomi merupakan suatu perkara yang lebih sering dipakai daripada didefinisikan. Apabila definisi itu dijelaskan biasanya berupa deskripsi tentang pilihan rasional atau perbuatan rasional. Sedangkan yang dimaksud dengan asumsi rasionalitas adalah anggapan bahwa manusia berperilaku secara rasional (masuk akal) dengan memaksimumkan kepuasan atau keuntungan berdasarkan pada keperluan (need) dan berbagai keinginan (want) yang digerakkan oleh akal sehat. Bahkan menurutnya, suatu aktivitas atau sikap yang terkadang nampak tidak rasional akan tetapi seringkali ia memiliki landasan rasionaliti yang kuat.
Namun pada hakikatnya setiap keputusan yang dibuat dalam kegiatan apapun pasti melibatkan rasional-rasional si pembuat keputusan, termasuk dalam kegiatan ekonomi. Dalam hal ini terjadi perbedaan makna rasionalitas ekonomi konvensional dan rasionalitas ekonomi Islam. Manusia rasional dalam perspektif ekonomi konvensional adalah manusia yang berusaha mencapai kepuasan atau keuntungan maksimum. Misalnya, setiap orang yang berasional akan memilih barang yang disenangi dan diminati karena memiliki kepuasan tersendiri, dari pada barang yang tidak disenangi tanpa mempertimbangkan manfaat yang akan didapat. Sedangkan rasionalitas perspektif ekonomi Islam adalah memaksimumkan keuntungan atau kepuasan dalam transaksi ekonomi, namun mempertimbangkan pada konteks maslahah.
Pengertian maslahah menurut Wahbah al-Zuhaili adalah karakter yang memiliki keselarasan dengan perilaku penetapan shâri’ah dan tujuan-tujuannya, namun tidak ada dalil secara spesifik mengungkapkan atau menolaknya, dengan proyeksi mewujudkan kemaslahatan dan menghilangkan mafsadah (kerusakan). Dalam ruang lingkup ekonomi Islam, maslahah memiliki dua pengertian. Pertama maslahah yang bersifat non-materi.
Kedua, maslahah yang bersifat materi. Keduanya harus saling menguatkan. Berdasarkan dari makna tersebut, maka rasionalitas seorang muslim adalah bagaimana seseorang memaksimumkan maslahah dengan menguntungkan nilai-nilai agama pada setiap rutinitas kegiatannya, baik maslahah untuk pribadi dan keluarga, maslahah untuk masyarakat, maupun maslahah untuk negara.
Sehingga dalam ekonomi Islam, tindakan rasional termasuklah kepuasan atau keuntungan ekonomi dan rohani baik di dunia maupun di akhirat, sedangkan dalam ekonomi konvensional cakupan tujuannya terbatas hanya pada kepuasan atau keuntungan ekonomi saja. Oleh karena itu, dimensi waktu dalam ekonomi Islam adalah lebih luas dan menjadi perhatian tersendiri pada tingkat agen-agen ekonomi di dalam Islam. Islam mengajarkan peganutnya di dalam menjalankan perekonomian tidak hanya berasaskan pada logikal semata, akan tetapi juga berasaskan pada nilai-nilai moral dan etika serta tetap berpedoman kepada petunjuk-petunjuk dari Allah SWT.
Manusia perlu bertindak rasional karena ia mempunyai beberapa kelebihan dibanding ciptaan Allah yang lainnya. Manusia dianggap bertindak rasional apabila individu tersebut mengarahkan perilakunya untuk mencapai tahapan maksimum sesuai dengan norma-norma Islam. Individu rasional adalah individu yang berusaha memaksimumkan al-falah dibanding memaksimumkan kepentingan diri sendiri.
Sehingga konsep rasionaliti ini muncul karena adanya keinginan-keinginan konsumen untuk memaksimalkan utility dan produsen ingin memaksimalkan keuntungan, berasaskan pada satu set constrain. Maksud dari constrain dalam ekonomi konvensional adalah terbatasnya sumber-sumber dan pendapatan yang dimiliki oleh manusia dan alam, akan tetapi keinginan manusia pada dasarnya tidak terbatas. Dalam ekonomi Islam yang dimaksud dengan constrain adalah terbatasnya kemampuan manusia baik dari segi fisik maupun pengetahuan untuk mencapai atau mendapatkan sesuatu sumber yang tidak terbatas yang telah disediakan oleh Allah SWT.
Berangkat dari rasionalitas ekonomi Islam ini akan menjadi manifestasi kebangkitan ekonomi ummat dengan cara pemahaman yang komprehensif, ukhuwah yang kokoh dan jihad.
Pemahaman yang Komprehensif
Allah telah melimpahkan rahmat kepada seluruh hambaNya, sehingga kita dapat memahami Islam dengan pemahaman yang bersih, mudah dan menyeluruh sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan umat, serta mendatangkan kebahagiaan bagi manusia. Islam mengatur segala dimensi.
Menurut Sa’id Hawwa, menjaga dan memelihara harta manusia merupakan sesuatu yang fundamental dan merupakan keperluan asasi bagi manusia. Tetapi jika tidak ada Islam maka musnahlah harapan terpeliharanya harta benda. Pemahaman tentang harta secara benar adalah modal utama menuju kebangiktan ekonomi ummat.
Ukhuwah yang Kokoh
Modal yang kedua adalah ukhuwah. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hujurat: 10
“Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
Kesatuan ruh dan hati yang disatukan oleh tujuan yang luhur, satu cita-cita dan satu perjuangan. Kesatuan yang harmonis ini adalah karena antara satu dengan lainnya saling mengikat, saling berhubungan, saling menyayangi, saling menguatkan, dan saling menghargai. Masing-masing merasa sebagai bagian yang penting dari yang lainya.
Jihad
Modal yang ketiga adalah jihad. Jihad sebagai bentuk pendekatan diri yang paling agung dan ibadah yang paling utama. Allah mewajibkan jihad kepada kaum muslimin bukan sebagai alat pemusnah orang kafir atau sarana bagi kepentingan pribadi, akan tetapi sebagai perlindungan bagi dakwah dan jaminan bagi perdamaian, selain sebagai media untuk menunaikan misi hidayah bagi manusia untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.
Hikmah yang terkandung dalam seluruh macam jihad ini adalah agar hanya Allah saja yang disembah, musuh dan kejahatan dapat terusir, jiwa dan harta terjaga, hak terlindungi, keadilan terbentengi, serta kebaikan dan keutamaan dapat tersebar. Sebagaimana firmannya dalam QS. Al-Anfal: 39
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), Maka Sesungguhnya Allah Maha melihat apa yang mereka kerjakan.”
Terkait jihad harta, jika kita cemati ayat-ayat al-Qur’an yang membahas tentang jihad, secara redaksi atau makna secara tersurat akan ditemui 8 ayat yang Allah perintahkan kita untuk berjihad dengan harta terlebih dahulu kemudian dilanjut dengan jihad dengan lainnya. Yaitu terdapat dalam QS. An-Nisa: 95, QS. Al-Anfal: 72, QS. At-Taubah: 20, 41, 44, 81, 88, dan QS. As-Shaff: 11. Pada ayat-ayat tersebut jihad pertama yang Allah perintahkan adalah dengan harta, jadi bukan jiwa atau nyawa yang disebut duluan. Sehingga betapa pentingnya jihad harta untuk sebuah kebangkitan ummat. Waallahua’lam Bissawab. []
Referensi Tulisan:
Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Minhajul Muslimin, Penj. Saifudin Abu Sayyid, dkk, Solo: Pustaka Arafah, 2016
Muhammad Nejatullah Siddiqi, “Islamic Consumer Behaviour” dalam Sayyid Tahir et al. (ed.), Readings in Microeconomics An Islamic Perspective, (Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn Bhd, 1992)
M.A. Mannan, “Scarcity, Choice and Opportunity Cost: Their Dimension in Islamic Economics” (Saudi Arabia: International Centre for Research in Islamic Economics, 1982)
Nur Kholis, Konsep Rasionaliti Dalam Perspektif Ekonomi Konvensional dan Alternatifnya menurut Pandangan Ekonomi Islam, Jurnal Mukaddimah.
Sa’id Hawwa, Al-Islam, penj Abu Ridho dkk, Jakarta: Al-I’tishom, 2002
Wahbah al-Zuhaili, Fiqhul Islami wa Adilatuhu, Jakarta: Gema Insani
Sumber : Islampos.