Logika Jenaka Tuan A. Hassan
A Hassan Guru Utama Persis
10Berita, SISI lain yang jarang diketahui dari sosok A. Hassan adalah kejenakaannya dalam berlogika. Beliau adalah pribadi yang humoris dan suka berkelakar. Terkait hal ini, beliau pernah menulis buku yang berjudul: “Tertawa” sebanyak empat jilid (Dadan Wildan, Yang Dai Yang Politikus Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis, 48) dan itu sudah ditulis sejak di Singapura (Syafiq Mughni, Hassan Bandung Pemikir Islam Radikal, 14).
Ada setidaknya empat contoh yang menunjukkan kejenakaan A. Hassan dalam berlogika.
Pertama, saat debat dengan M. Akhsan pada tahun 1955 di gedung al-Irsyad Surabaya (Syafiq Mughni, 1994: 82) Saat itu A. Hassan menanyakan pertanyaan kepadanya, “Menurut Anda, kalau ada nyamuk yang menggigit apa yang akan dilakukan.” “Saya bunuh?”
Hassan membalas, “Bukankah itu suatu kezaliman?” tanya A. Hassan. “Saya bunuh nyamuk lantaran gigit saya.” “Menurut keadilan fikiran, jika nyamuk menggigit tuan, mestinya tuan balas gigit dia. Balas dengan membunuh itu tidak adil.” Seisi hadirin yang menghadiri perdebatan termasuk M. Akhsan pun tertawa mendengarnya (A. Hassan, Adakah Tuhan?, 22).
Kedua, masih dalam momen yang sama, A. Hassan mempertanyakan tulisan M. Akhsan di surat kabar pada 9 Agustus 1955 berupa: ada orang yang keluar buntutnya dan terus memanjang dan ingin dipotong karena semakin panjang semakin menyakitkan. Berdasarkan tulisan tersebut, A. Hassan bertanya kepada M. Akhsan yang intinya apakah dengan demikian manusia berasal dari monyet? M. Akhsan menjawab, “Ya.” A. Hassan menimpali, “Jika demikian, berarti monyet bersal dari manusia, bukan manusia berasal dari monyet…” seluruh peserta yang hadir pun tertawa terbahak-bahak dan tepuk tangan, padahal pada waktu itu dilarang tertawa (Tamar Djaja, Riwayat Hidup A. Hassan, 80).
Ketiga, saat berdebat di Jakarta dengan Suradal Nahatmanto (Seorang pemuda dari Yogyakarta yang bangga dengan keatheisannya). Kesempatan pertama diberikan kepada Suradal. Pemuda ateis ini berbicara panjang lebar kemudian diujungnya ia mengucapkan, “Saya telah berjumpa Tuhan. Tetapi ketika berjumpa itu, saya ketahuilah sebenar-benarnya Demi maha tidak ada Tuhan.”
Saat diberi kesempatan, A. Hassan tidak berpidato panjang seperti dirinya, beliau hanya bertanya, “….Dengan siapa tuan berjumpa?” Ia menjawab, “Saya berjumpa dengan maha yang tidak ada.” A. Hassan pun dengan lekas merespon, “Kalau tidak salah tuan berbicara dalam bahasa Indonesia. Tapi kalau tuan berkata bahwa tuan telah berjumpa dengan yang maha tidak ada, sukar bagi saya untuk mengerti perkataan dan bahasa tuan. Mungkin saya belum cukup umur untuk belajar bahasa Indonesia sebagaimana yang tuan pergunakan.” Mendengar pernyataan A. Hassan, para hadirin tertawa, sedangkan Suradal kelihatan marah (Tamar Djaja, 1980: 84).
Keempat, saat ditanya mengenai hukum makan daging kodok. A. Hassan menjawab halal karena yang diharamkan hanya empat dalam al-Qur`an. Setelah mendengar jawaban beliau, si penanya langsung berkomentar, “Berarti Tuan pantas disebut ulama kodok.” A. Hassan tak kehabisan akal, dia langsung bertanya mengenai hukum memakan kerbau. Si penanya menjawab, “Boleh.” Kemudian A. Hassan menimpali, “Berarti Tuan pantas disebut ulama kerbau.” (Herry Mohammad dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad XX, 18).
Demikianlah sekelumit kisah logika jenaka dari ulama yang dikenal pembaharu, serba bisa, sederhana, dan piawai berdebat ini. Semoga kiprahnya dalam dunia dakwah baik lisan maupun tulisan bisa diteladani oleh generasi selanjutnya.
Sebagai tambahan pamungkas, ulama karismatik yang terkenal jago debat ini bukanlah figur yang selalu keras dan garang. Beliau terlihat keras, hanya ketika sedang berdebat atau berpolemik dalam tulisan di media massa. Adapun dalam pergaulan, beliau dikenal lembut dan sopan. Tamar Djaja menilai beliau bagaikan singa dalam tulisan, dan laksana domba dalam pergaulan (Tamar Djaja, Riwayat Hidup A. Hassan, 15). Wallahu a’lam.*/Mahmud Budi Setiawan
Sumber :Hidayatullah.com