OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Jumat, 05 Januari 2018

Pelestina, Apakah Masalah Agama atau Kemanusiaan

Pelestina, Apakah Masalah Agama atau Kemanusiaan

10Berita, Konflik yang terjadi antara Palestina dengan Israel ini telah lama terjadi dan telah memakan ribuan korban rakyat Palestina. Masyarakat Palestina tidak dapat hidup tentram dan terus mengalami penderitaan akibat “penjajahan” yang dilakukan secara kejam dan brutal oleh Israel.

Lantas apa yang sebenarnya menjadi masalah atas konflik Palestina dan Israel ini? Apakah masalah agama? Ataukah masalah kemanusiaan? Belum lagi pernyataan Donald Trump mengenai Ibukota Yerussallem sebagai Ibukota Israel, kembali menyulutkan konflik ini.

Menanggapi pertanyaan tersebut apakah konflik yang terjadi antara Palestina dan Israel merupakan masalah agama atau kemanusian telah banyak diperbincangkan oleh masyarakat. Ada yang berpendapat bahwa konflik yang terjadi merupakan masalah agama. Namun ada juga yang berpendapat bahwa konflik Palestina dengan Israel bukan hanya masalah agama tetapi juga masalah kemanusiaan.

Secara aqidah, tanah Palestina merupakan tanah yang suci dan diberkahi. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam bersabda, yang artinya, “Kalian tidak boleh mempersiapkan untuk melakukan perjalanan ziarah, kecuali pada tiga masjid; Al-Masjid Al-Haram, Masjid Rasul Shalallahu Alaihi Wassallam dan Al-Masjid Al-Aqsa.”

Masjid al-Aqsha yang merupakan kiblat pertama umat Islam melakukan ibadah sholat sebelum turun wahyu untuk mengubah kiblat menjadi ke arah ka’bah. Selain tanah Palestina juga merupakan tempat nabi melakukan mi’raj menuju ke Sidratul Muntaha saat Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam melakukan Isra’ Mi’raj.

Sementara itu secara syariah, tanah Palestina juga merupakan tanah wakaf bagi kaum Muslimin sejak dibebaskan oleh Khalifah Sayyidina Umar ibnul Khaththab Rhadiallahu Anhu pada 15 Hijriyah atau 636 Masehi yang melalui perundingan damai. Sehingga sampai hari kiamat, tanah tersebut status kepemilikannya adalah milik kaum muslimin sebagai tanah wakaf atau tanah kharajiah. Khalifah Umar dengan penduduk Illiya membuat perjanjian.

Isi perjanjian tersebut yakni, “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ini adalah apa yang diberikan oleh hamba Allah, Umar, amirul mukminin kepada penduduk Iliyâ di Ammân. Saya memberikan keamanan atas jiwa dan harta mereka, gereja-gereja mereka, salib-salib mereka, orang-orang yang sakit dan yang tidak bersalah dan seluruh agama mereka. Gereja mereka tidak boleh ditempati dan dihancurkan, tidak boleh diambil bagiannya ataupun isinya, demikian pula dengan salib-salib dan harta mereka. Mereka tidak boleh dipaksa untuk meninggalkan agama mereka. Dan seorang pun dari mereka tidak boleh dimudharatkan. Dan tidak seorangpun dari orang Yahudi boleh tinggal di Iliyâ. Penduduk Iliyâ harus membayar jizyah sebagaimana halnya dengan penduduk kota lain. Mereka harus mengeluarkan orang-orang Romawi dan Lashut. Barangsiapa yang keluar dari mereka maka jiwa dan harta mereka aman serta perniagaan dan salib-salib mereka dibiarkan. Dan barangsiapa di antara mereka yang menetap maka mereka aman. Dan mereka harus membayar jizyah sebagaimana halnya penduduk Iliyâ. Dan siapa saja dari penduduk Iliyâ yang pergi dengan hartanya ke Romawi dan dan membawa perniagaan dan salib mereka maka mereka aman hingga mereka tiba ditempat mereka. Dan penduduk al-Ardh yang berada di Iliyâ sebelum terbunuhnya Fulan maka mereka boleh menetap namun mereka wajib memberikan jizyah sebagaimana penduduk Iliyâ. Dan siapa yang mau maka mereka boleh pergi dengan orang-orang Romawi. Dan siapa saja yang mau kembali kepada kelurganya maka tidak diambil apapun dari mereka hingga mereka memanen hasil pertanian mereka. Dan apa yang ada di dalam tulisan ini merupakan janji Allah, jaminan Rasul-Nya, jaminan para Khalifah dan kaum muslimin jika mereka memberikan jizyah. (Perjanjian) ini disaksikan oleh Khalid bin Walid, ‘Amru bin ‘Ash, Abdurrahman bin Auf dan Mu’awiyah bin Abu Sofyan” (Tarikh ar-Rusul wal-Muluk: II/307).

Pada perjanjian tersebut tertulis ”Dan tidak seorangpun dari orang Yahudi boleh tinggal di Iliyâ.” Kalimat tersebut menunjukkan dengan jelas bahwasannya Israel yang merupakan kaum yahudi dilarang untuk menempati Palestina. Apalagi secara beringasnya Israel berani ingin merebut dan merampasnya dari rakyat Palestina dengan kejam, dan brutal hingga mengusir mereka dari tanah air mereka sendiri.

Disamping itu, Kepala Seksi Politik dan Keamanan Timur Tengah Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Harun Syaifullah mengatakan bahwa konflik antara Palestina dan Israel adalah persoalan kemanusiaan dan masalah penjajahan, bukan masalah agama. Ada pula yang mengatakan bahwa pertikaian tersebut bukan pertikaian antara agama yahudi dan islam karena tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan. Menteri Agama, Lukman Hakim Saefuddin juga mengatakan bahwa konflik Israel-Palestina bukan hanya masalah soal agama khususnya Islam tetapi juga kemanusiaan.

Diluar dari kedua pendapat tersebut, baik masalah agama atau kemanusiaan tetap harus ditangani secara cepat oleh negara-negara lain. Bagaimana bisa penduduk Palestina, di tanah airnya sendiri diperlakukan dengan kejam dan brutal oleh Israel, dan bahkan tidak melihat siapa yang ia perlakukan. Entah anak-anak, orangtua, bahkan wanita hamil sekalipun. (Fikriah NurJannah)

Sumber : republika(dot)co(dot)id dan berbagai sumber
Ilustrasi: Google