Politik: Antara Kekuasaan dan Pelayanan
Oleh: Rachmad R R.
(Alumnus Pasca Sarjana jurusan Ekonomi Islam UINSA)
10Berita, Kata politik diambil dari bahasa Yunani politicos yang berarti relating to citizen. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata politik sebagai segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara, termasuk terhadap negara lain.
Menurut Oscar Ameringer politik adalah seni halus mendapatkan suara dari orang miskin dan dana kampanye dari orang kaya, dengan janji melindungi satu dari yang lain. Menurut Taqiyuddin, politik adalah pelayanan pemerintah terhadap kebutuhan masyarakat. Sejalan dengan itu, Imam Syafi’i mendefinisikan politik sebagai hal-hal yang bersesuaian dengan hukum Allah.
Dalam politik, untuk berkuasa seseorang harus dipilih berdasarkan sistem tertentu dalam suatu negara. Misalnya sistem demokrasi yang saat ini dianut oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Masyarakat ikut dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Dalam hal ini, setiap individu dalam masyarakat memiliki nilai suara yang setara. Namun sistem seperti ini menuai kritik tajam. Menurut Sokrates “Sebuah negeri akan celaka bila si bodoh sama haknya untuk bicara dengan si piawai”.
Demokrasi sendiri adalah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Sistem ini mengalami penyesuaian dan terus berevolusi. Kendati demikian akar prinsipnya sama. Seperti cara pandang terhadap masyarakat dalam pemilu senantiasa mengalami perubahan. Saat ini semua warga negara yang sudah dianggap dewasa apabila di atas 17 tahun memiliki hak dalam pemilu. Sedangkan pada zaman Yunani Kuno atau kerajaan Romawi, pengertian masyarakat demokrasi itu hanya untuk laki-laki dewasa yang bukan golongan budak. Artinya, zaman dahulu budak dan perempuan bukan termasuk masyarakat demokrasi. Mereka tidak boleh ikut dalam pemilu.
Dari segi pengambilan keputusan, keterlibatan masyarakat tentu tidak praktis jika jumlahnya sangat banyak. Apalagi menembus angka jutaan. Oleh karena itu harus ada wakil rakyat. Masyarakat dilibatkan. Dari sini muncul istilah pemilu, kampanye, partai politik, dan lainnya. Pemilu sendiri menjadi salah satu ciri pemerintahan yang demokratis. Upaya penyempurnaan konsep demokrasi menurut John Calvin dan John Locke adalah dengan pemisahan kekuasaan (wakil rakyat dipisahkan perannya).
Adapun bentuk demokrasi yang paling populer dan kini diterapkan di Indonesia adalah konsep Trias Politika Montesquieu. Konsep ini menuntut klasifikasi peran dari wakil rakyat. Diantaranya legislatif sebagai pembuat aturan (DPR, MPR, DPD / Parlement), eksekutif sebagai pelaksana pemerintahan (Presiden, Menteri, Gubernur, sampai Walikota ), yudikatif yang mengevaluasi pelaksanaan pemerintahan (MA, MK).
Di dalam negara yang menganut demokrasi sangat kental dengan istilah liberalisme. Paham ini dirangkum pertama kali oleh John Locke. Gagasan politik liberalisme berfokus pada penghargaan atas kebebasan dan hak individu. Dalam hal ini, kebebasan serta hak individu terus berkembang seiring dengan pergeseran nilai-nilai sosial. Beberapa contoh kebebasan dan hak individu adalah hak untuk berekspresi, menyampaikan pendapat, memiliki barang pribadi, memilih pasangan hidup, untuk beribadah, beragama, tidak beragama, memiliki keturunan, melakukan aborsi, hidup, hingga hak untuk mati.
Tak hanya liberalisme, sekulerisme pun tumbuh subur di negara yang menerapkan demokrasi. Yaitu prinsip politik yang menegaskan bahwa sistem kenegaraan harus dipisahkan dengan agama. Jadi, negara yang sekuler mengesampingkan aspek agama dalam penerapan ketatanegaraan. Dari mulai pembuatan undang-undang, penegakan hukum, dan pelaksanaan kebijakan pemerintah, dan lainnya harus netral dari ajaran agama apa pun. Agama hanyalah urusan masing-masing individu.
Dalam arti, masyarakat boleh saja menganut agama dan beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing. Tapi, dalam urusan kebijakan politik, hukum, perdagangan, dan lainnya negara tidak boleh dipengaruhi agama apa pun. Lebih tegasnya, dalam praktik negara sekuler, agama tidak boleh menjadi pertimbangan untuk membuat undang-undang, dasar pelaksanaan undang-undang, dan pertimbangan dalam proses pengadilan.
Bagi para kapital, demokrasi adalah senjata ampuh untuk melanggengkan kejayaannya. Tak hanya suatu daerah namun negara dengan ribuan pulau. Melalui kaki tangan penguasa kekayaan negeri tersedot untuk segelintir konglomerat. Bagaimana ini bisa terjadi? Tak lain karena mahalnya demokrasi. Biaya pemilu menjadi mahar pengusaha kepada penguasa. Undang-undang tak berpihak kepada rakyat namun cukup menguntungkan para kapital.
Bagaimana dengan politik dalam pandangan Islam?
Aktivitas politik dalam Islam pada prinsipnya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Penguasa sebagai pelayan masyarakat memiliki kewajiban memikirkan persoalan rakyat. Hal ini merupakan implementasi dari sabda rasul, "Barang siapa di pagi hari perhatiannya kepada selain Allah, maka Allah akan berlepas dari orang itu. Dan barang siapa di pagi hari tidak memperhatikan kepentingan kaum muslimin maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin)".
Terdapat 3 kebutuhan pokok individu yang harus dijamin kelayakannya oleh pemerintah, yaitu sandang, pangan, dan papan. Selain kebutuhan pokok individu, terdapat 3 kebutuhan pokok masyarakat secara umum yang juga harus dijamin oleh pemerintah, yaitu kesehatan, pendidikan, dan keamanan.
Aktivitas lainnya yang harus dilakukan dalam politik Islam adalah amar makruf nahi mungkar. Sesuai dengan firman Allah " Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah "(Ali Imran: 110).
Dalam hal ini, penguasa wajib memberantas segala aktivitas yang melanggar hukum Islam, seperti produksi khamr, perjudian, free seks, LGBT, transaksi ribawi, suap, dan sebagainya. Dalam perkara pelanggaran hukum, wajib hukumnya tunduk pada aturan Islam, bukan justru memutuskan perkara berdasarkan hawa nafsu semata. Sebagaimana firman Nya “Maka putuskanlah (perkara) mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu" (Al-Maidah: 48). Allah juga berfirman "Barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir " (Al-Maidah: 44).
Dalam politik Islam, rakyat wajib melakukan koreksi terhadap pihak penguasa apabila terdapat kebijakan yang menyimpang dari syariat Islam. Karena dalam Islam, baik itu rakyat atau pejabat harus patuh pada hukum yang berlaku. Bahkan aktivitas mengoreksi penguasa merupakan aktivitas yang mulia, seperti halnya jihad di jalan Allah. Rasulullah SAW bersabda "Penghulu syuhada adalah Hamzah dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa yang lalim lalu menasehatinya, kemudian ia di bunuh".
Dalam praktik kenegaraan, nabi membangun negara Madinah dan pemerintahannya. Dilanjutkan oleh 4 khalifah penerus beliau Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Dikenal dengan sebutan Khulafaurrasyidin. Islam adalah agama yang sempurna, termasuk sistim politik dan ketatanegaraannya.
Oleh karena itu, tidak perlu bagi umat Islam mengimpor sistem politik Barat yang sangat kental dengan sekularisme, liberalisme, dan kapitalisme. Karena pada dasarnya isme-isme tersebut justru membungkam keadilan dan mempermainkan hukum yang berlaku. Cicero mengingatkan dalam falsafahnya “ketika hukum membisu maka senjata berbunyi.”
Justru semenjak Islam ditinggalkan sebagai sistem politik, bencana sosial kemanusiaan meraja lela. Terlahir pemimpin-pemimpin yang semakin menjauhkan umat dari aturan Islam. Sebagaimana sabda nabi: ”Akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijaksana, tetapi bila telah turun mimbar mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk dari bangkai. (HR. Ath-Thabrani)
Mari bersama mendoakan, semoga Islam kembali tegak di muka bumi. Penguasa memerintah dengan keadilan, melindungi dengan kekuatan, dan mengayomi dengan kemakmuran. [syahid/]
Sumber :voa-islam.com