Benarkah Perang Candu Kini Menyasar Indonesia?
Peta jalur peredaran narkoba di tanah air. (Foto: Ilustrasi/Antara)
10Berita, Jakarta – Sedikitnya 9 kontainer bahan narkoba asal Cina yang akan dikirim ke Indonesia digagalkan aparat keamanan negara Timor Leste. Tak tanggung-tanggung, 9 kontainer itu berisi 150 ton bahan narkoba. Jumlah yang sangat fantastis. Jika berhasil masuk ke Indonesia, lalu ke mana barang haram itu akan bersemayam? Benarkah Perang Candu sedang menyasar Indonesia?
Bagi Indonesia, narkoba adalah barang yang sangat diharamkan. Artinya, tidak boleh masuk dan beredar di Indonesia, apalagi mengkonsumsinya.
Tak lama berselang, TNI AL berhasil memergoki kapal Sunrise Glory yang muncul di perairan perbatasan Singapura-Batam. Dengan KRI Sigurot-864, TNI AL menangkap kapal Sunrise Glory dan melakukan penggeledahan. Karuan saja, kapal berbendera Singapura itu ternyata memuat narkoba jenis sabu sebanyak 1,037 ton.
Setidaknya, dua kasus tersebut sangat mencengangkan di tengah gencarnya kampanye melawan narkoba di Indonesia yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Indo Police Watch menilai, dengan terkuaknya dua kasus besar tersebut membuktikan bahwa Indonesia terus jadi incaran untuk kegiatan bisnis narkoba karena negara berpenduduk 260 juta jiwa ini dianggap sebagai pasar potensial.
“Akibatnya, sindikat narkoba selalu nekat untuk memasukkan narkoba dalam partai besar ke Indonesia,” kata IPW kepada NusantaraNews, 7 Februari lalu.
Dua kasus penyelundupan di atas adalah kasus narkoba paling aktual di tanah air. Dewasa ini, ketegangan yang terus meningkat di Kawasan Asia pasifik membuat berbagai ancaman pertahanan kian mengemuka dan tampak nyata. Praktik Perang Candu seolah tengah menyasar Indonesia. Setidaknya, keberhasilan model peperangan ini yang menerjang Cina sekira lebih dari satu abad silam tampaknya berusaha kembali digelar. Sasarannya di abad 21 adalah Indonesia, yang menjadi salah satu negara yang ikut bersengketa di Kawasan Laut Cina Selatan.
“Candu atau opium —kini disebut narkoba— adalah sarana merusak bangsa dengan harga murah, karena dapat menghancurkan daya juang sebuah bangsa. Dan kerap kali, ia dijadikan modus kolonialisme guna merusak moral sebuah bangsa,” ujar Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI), M Arief Pranoto.
Arief menilai, maraknya penyelundupan sabu dalam jumlah besar secara massif ke Indonesia menimbukan berbagai spekulasi dan asumsi liar publik. Karena dalam pola kolonialisme klasik, menjadi rahasia umum bahwa narkoba kerap dijadikan salah satu modus atau metode guna melumpuhkan serta memperbudak sebuah bangsa. Ini fakta empirik dinamika geopolitik global.
“Pertanyaan menarik timbul, dari negara manakah berton-ton sabu yang masuk ke Indonesia?,” katanya.
Dia mengilustrasikan hikmah emas yang bisa dipetik dari sejarah Perang Candu di Cina tempo dulu ibarat pukulan stick biliar —meracuni dengan narkoba— seperti mengenai beberapa bola bahkan recochet.
“Bagi si pemasok, bola pertama ialah menikmati money laundry atas hasil transaksi ilegal tersebut; bola kedua, hancurnya sebuah generasi bangsa (dan negara target koloni) dengan harga murah; bola ketiga, untuk konsumsi para pekerja massal di sebuah proyek yang memiliki target waktu (deadline),” paparnya.
“Istilahnya total lembur,” tambahnya. Kenapa? Arief melanjutkan, efek mengkonsumsi sabu akan menimbulkan stimulan pada pikiran dan fisik pemakainya terus terjaga tanpa merasa lelah.
Lantas, negara manakah yang memiliki proyek besar dengan deadline serta pola mempekerjakan buruh secara massal?, tanya Arief. Singkat kata, apabila di sebuah negara telah marak peredaran candu atau narkoba, kemudian ada upaya-upaya kuat oleh asing untuk menguasai simpul-simpul transportasi dengan berbagai skema investasi, atau menciptakan ruang-ruang (living space) baru seperti membangun kota atau daerah baru, atau membuat pulau reklamasi dan lain-lain, maknanya adalah peperangan asimetris tengah berlangsung secara masiv dan sistematis di negara tersebut.
Menurut IPW lagi, para bandar narkoba terus bermanuver untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai budak narkoba, bahkan menyasar aparat keamanan. Tugas Irjen Pol Heru Winarko yang menggantikan Komjen Budi Waseso sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) semakin berat.
“Kasus penangkapan narkoba selalu terjadi, tapi kasus yang tidak tertangkap mungkin lebih banyak lagi. Ibarat teori gunung es, yang tertangkap hanya bagian puncaknya. Semua ini terjadi akibat tidak tegasnya pemerintah dalam menyatakan perang terhadap narkoba. Akibatnya banyak anak bangsa yang menjadi budak narkoba dan makin banyak jumlah aparatur, terutama polisi yang terlibat narkoba,” kata IPW.
Di seluruh dunia, pihak kepolisian sebagai leading sector yang harus mampu merangkul dan mengoptimalkan seluruh kewenangan hukum yang dimiliki semua institusi. Dengan kata lain, sudah saatnya prajurit TNI juga dilibatkan untuk menjadi dilibatkan sebagai rganik di dalam struktur organisasi BNN. Sehingga sinergi betul-betul kuat. BNN seperti halnya Bakamla dapat diawaki oleh TNI, Polri, Jaksa dan aparat lainnya,” ujar pengamat pertahanan Susaningtyas Kertopati kepada redaksi, 10 Februari lalu.
“Kesadaran untuk berintegrasi antar aparat keamanan di Indonesia adalah kunci sukses pemerintah Indonesia menyelamatkan generasi muda Indonesia. BNN sebagai penjuru perlu lebih memberdayakan semua instansi hukum di Indonesia untuk memberantas peredaran narkoba,” katanya.
“TNI AD menyadari bahwa penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang di kalangan semua kalanga atau level kian meningkat. Maraknya penyimpangan perilaku penyalagunaan narkoba tersebut, dapat membahayakan keberlangsungan hidup bangsa ini di kemudian hari. Karena bila sudah terkontaminasi dengan narkoba maka sendi-sendi kekuatan bangsa akan semakin hari semakin rapuh digerogoti zat-zat adiktif penghancur syaraf. Sehingga yang sudah terpengaruh dengan narkoba sudah tidak dapat berpikir jernih. Akibatnya, warga masyarakat selaku bangsa yang tangguh dan cerdas hanya akan tinggal kenangan,” bunyi pernyatan TNI AD terkait narkoba, 27 Februari lalu. (redaksi)
Editor: Eriec Dieda, Romandhon, Achmad S / nusantaranews.co
Sumber : nahimunkar.org