OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Kamis, 22 Maret 2018

Di Balik Pengunduran Diri Ketua MUI Sumbar Sebagai Dosen IAIN Bukittinggi

Di Balik Pengunduran Diri Ketua MUI Sumbar Sebagai Dosen IAIN Bukittinggi

10Berita , Bukittinggi – Perkara larangan cadar di IAIN M Djamil Djambek, Bukittinggi berbuntut panjang. Pihak rektorat hingga saat ini masih bersikukuh mempertahankan aturan itu. Ketua MUI Sumatera Barat, yang menjadi dosen di kampus itu, menentang sikap otoriter petinggi kampus dengan cara mengundurkan diri.

Kengototan pihak kampus IAIN Bukittinggi dalam melarang cadar diiringi aksi penolakan dari elemen masyarakat. Setelah Aliansi Umat Islam yang terdiri dari ormas Islam dan lembaga adat setempat mensomasi pimpinan kampus, kemarin Ketua MUI Sumbar, Buya Gusrizal Gazahar menyatakan mundur sebagai dosen IAIN Bukittinggi dan Aparatur Sipil Negara (ASN).

Buya Gusrizal menyatakan, keputusan itu diambil karena pihak kampus menutup pintu diskusi dengannya. Selain itu, masukan ataupun nasihat yang disampaikannya, atas nama pribadi maupun sebagai Ketua MUI Sumbar, tak mendapatkan perhatian pihak IAIN. Pihak kampus tetap menerapkan larangan cadar bagi mahasiswi dan dosen perempuan.

“Sebenarnya masalahnya sejak 8 Januari, terjadi perdebatan (di grup WhatsApp) antara saya dengan pimpinan salah-satu fakultas di IAIN. Tentu semua yang ada di grup itu termasuk para pejabat IAIN itu membacanya, karena itu grup WhatsApp resmi IAIN Bukittinggi,” ujarnya saat dihubungi oleh Kiblat.net pada Selasa (20/03/2018).

Buya Gusrizal menjelaskan, larangan cadar yang diterapkan kampus tidak mendasar, baik itu dari segi kajian fiqih maupun hukum. Dalam perdebatan itu, ia menyampaikan bahwa khilafiyah terkait hukum cadar memang terjadi di kalangan ulama. Tetapi perbedaan pandangan muncul pada tingkatan disyariatkannya, ada pendapat itu mubah (boleh), sunnah, juga wajib. Bahkan hukum mubah untuk cadar pun tidak mutlak. Karena dalam kondisi tertentu bercadar bisa saja menjadi sunnah hingga wajib.

“Jadi, sudah saya luruskan, seharusnya dalam mengambil kebijakan hukum janganlah asal-asalan. Karena semenjak menjadi dosen, Usul Fiqih adalah mata kuliah saya. Dan saya tidak senang sekali ketika hukum itu diistinbathkan asal-asalan,” tegasnya.

Tak cukup sampai di situ, Buya Gusrizal pun melanjutkan, “Permasalahan yang muncul tidak hanya sebatas kode etik. Tetapi, ada sesuatu sinyal bahwa orang-orang bercadar itu bisa disusupi oleh radikalisme. Di situlah saya tidak nyaman betul. Cadar dikaitkan dengan radikal, jenggot dikaitkan dengan teroris.”

Dalih Kode Etik untuk Larangan Cadar

Sebagaimana institusi pendidikan umumnya, tentunya IAIN Bukittinggi mempunyai standar dalam berbusana. “Formal dan sesuai syariat Islam” begitulah kode etik berbusana yang diberlakukan oleh IAIN Bukittinggi.

Namun, dalam penerapannya ketentuan formal ini justru berbuntut pada larangan cadar. “Lalu, apakah dengan kata formal semacam itu kemudian cadar dilarang?” ujar Buya Gusrizal heran.

“Saya lihat itu bukan kode etik. Itu adalah penafsiran-penafsiran atas kode etik. Nah, ini yang saya bantah. Kenapa kita tidak berlapang dada, berlapang hati dalam persoalan ikhtilaf seperti ini? Masyarakat saja yang awam bisa menerima. Tetapi itu tidak digubris,” jelasnya.

Penolakan Buya Gusrizal akan aturan tersebut semakin gencar. Ia juga memutuskan untuk bertemu dengan salah-satu petinggi kampus dari jajaran rektorat. Kepadanya, Buya Gusrizal memberi masukan agar larangan cadar ini dicabut. Pasalnya, persoalan agama merupakan hal sensitif bagi masyarakat Minangkabau, terlebih di Bukittinggi.

Pejabat rektorat tersebut menerima masukan itu dan berjanji akan dibicarakan dengan dewan kehormatan. Sejenak, persoalan tampak reda. Namun di akhir Januari, Hayati Safri, dosen bercadar di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Pendidikan datang mengadu kepada Buya Gusrizal. Saat itu, Hayati mengaku diminta oleh pihak kampus agar cadarnya dilepas.

“Beberapa kali datang kepada saya. Saya katakan, masalahnya sedang diluruskan dulu di dalam kampus. Tetapi yang terakhir, yang ketiga kalinya beliau datang, mengadu kepada saya bahwa sudah dihukum dan sudah dinonaktifkan,” jelasnya. Buya Gusrizal mengaku kaget menerima kabar tersebut. Hayati pun mendapatkan saran agar permasalahan itu dilimpahkan ke Ombusdman di Padang.

Disanksinya Hayati, kembali menjadi pembicaraan dalam Grup WhatsApp petinggi kampus. Persoalan cadar kembali menjadi perhatian internal kampus. Namun, Buya Gusrizal merasa petinggi kampus tidak memberikan peluang diskusi untuknya. Sebaliknya, pihak kampus bersikukuh bahwa kode etik terkait larangan cadar tetap diterapkan.

Sumber : Kiblat.