OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Sabtu, 24 Maret 2018

Pinjaman Rp30 Juta Dibayar Lunas, Rumah Siti Aminah Batal Dijadikan Rumah Doa

Pinjaman Rp30 Juta Dibayar Lunas, Rumah Siti Aminah Batal Dijadikan Rumah Doa

10Berita, Nganjuk  - Alunan tilawah Alquran, disambung Shalawat Nariyah dan dipungkasi azan Subuh  terdengar bersahut-sahutan dari pengeras suara dari sejumlah mushala dan masjid, membangunkan warga masyarakat Desa Gebangkerep, Kecamatan Baron, puluhan kilometer di timur Kota Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, Kamis pagi 22 Maret 2018.

Ketika Suara Islam berada di desa dengan jalanan utama desa selebar lebih lima meter yang sudah beraspal mulus ini, mendapat keterangan dari sejumlah warga, suasana kemerihan pengeras suara dari mushala dan masjid itu, ternyata belum merupakan pertanda desa ini sepenuhnya diwarnai kehidupan relijius yang dominan. Justru sebaliknya, kehidupan di desa ini dengan warga majemuk. Pemeluk Islam ada yang taat beribadah, dan lebih banyak Islam Abangan. Sedang  warga selain pemeluk Islam, ada, tetapi tidak menonjol.

Beberapa puluh meter dari Kantor dan Balai Desa Gebangkerep ini, ada seorang nenek-nenek; Siti Aminah yang sudah sepuh yang renta namun tidak nampak ringkih. Usianya konon lebih 90 tahun. Masih aktif menjadi ‘Dukun Bayi’ menolong orang hendak melahirkan. Disepuhkan, setiap ada warga meninggal diminta memimpin memandikan dan mengafani jenazah. Bahkan ketika sakaratul maut, diminta pula untuk menuntuni dengan bacaan talkin.

“Orang tua menandai kelahiran saya di zaman Wilhelmina Koningin Der Nederlanden (Ratu Belanda) itu  berkunjung  ke Indonesia, negeri jajahannya. Ketika Yuliana, anaknya, naik tahta saya sudah sekolah; kelas dua (Ongko Loro) Sekolah Rakyat,”  ungkap Siti Aminah Rabu, 21 Maret 2018 siang saat beristirahat di rumah Pemred Suara Islam HM. Aru Syeiff Assadullah di Madiun, Jawa Timur, dalam perjalanan dari Jakarta, diantar mobil ambulance Partai Gerindra bergambar foto Fadli Zon, menuju kampung halaman di Desa Gebangkerep, Kecamatan Baron, Kabupaten Nganjuk.

Nenek Siti Aminah, menyebut asli lahir di Ambulu Kabupaten Jember, Jawa Timur. Paham dengan bahasa daerah Madura. Bersuamikan Achmad Bakri asli Gebangkerep. Kemudian hidup di dusun/desa Gebangkerep Kecamatan Baron Kabupaten Nganjuk, mengikuti suami. Dari perkawinan ini, dikaruniai 13 anak. Enam orang diantaranya hidup. Sedang tujuh lainnya meninggal saat masih bayi, anak-anak dan ada pula yang meninggal sudah menjelang remaja. Dari enam anak yang masih hidup, mendapatkan 17 orang cucu, delapan orang cicit / buyut dan lima orang canggah (anaknya cicit, red).

Lama menekuni pekerjaan sebagai “Dukun Beranak” (disebut sebagai Dukun Bayi). Menjalani praktiknya lebih profesional; mendapat pembinaan langsung dari RSUD Kabupaten Nganjuk. Dalam usianya yang sudah demikian renta, nenek Siti Aminah  masih cukup aktif sebagai Dukun Bayi, memandikan dan memijat bayi. Jika ada warga yang meminta pertolongannya, siap melayani siang dan malam diantar Sri Muyani, anaknya nomor lima (yang masih hidup) dengan dibonceng sepeda motor.

Rumah Siti Aminah di Desa Gebangkerep, Kecamatan Baron, Nganjuk yang hampir saja berubah menjadi Rumah Doa jika tidak mampu membayar "pinjaman" Rp30 juta kepada anak tertuanya. 

Menjadi Katolik

Anak Sulungnya, Yohanes Samiran menjadi pemeluk Katolik. Menurut penuturan adik-adiknya, kakaknya menjadi Katolik, lantaran mendapat binaan dari seorang Romo (orangnya mengenakan jubah warna hitam). Romo inilah yang menolongnya ketika jatuh dari bersepeda. Saat ditolong, diajak ke rumah Romo ini. Rumahnya banyak memiliki buku-buku dan sangat baik kepada anak-anak. Giliran berikutnya, dia ajak teman-temannya ngaji di kampung untuk bermain-main di rumah Romo ini. Sejak itu, Samiran menjadi Katolik dan mendapat nama baptis Yohanes.

Sementara anak keempat Hariyadi, namanya menggunakan nama Thomas. Namun Kamis (22 Maret 2018) Subuh, tampak pulang dari masjid dan di rumah kemudian melanjutkan dengan mederas Alquran. Lahir di tahun 1962 (kini 56 tahun), nama Thomas terlanjur tertulis di ijazah. Menuturkan kepada Suara Islam, ketika masih anak-anak bersama Budiono adiknya bungsu yang lahir tahun 1969 (kini 49 tahun), sangat mengidolakan kakak sulungnya Yohanes Samiran,  hingga anak-anak ini tidak menolak ketika kemudian dibaptis menjadi Katolik. Hariyadi mendapat nama baptis Thomas sedang Budiono mendapat nama baptis Albertus. 

Masih menurut penuturan Hariyadi, bersama Toyok Sutoyo (62 tahun) kakaknya anak nomor tiga, mencoba mengadu nasib di Jakarta. Pernah mengikuti pendidikan Satpam hingga berhasil menjadi Satpam di sebuah perusahaan. Kemudian  beralih menjadi pengemudi taksi, hingga sempat berhasil memiliki armada taksi sendiri, namun tertipu, armada taksi dijual oleh seorang teman yang ditolong.

“Ketika mengemudi taksi, saya sering melihat orang Islam keluar dari masjid setelah Jumatan. Sempat pula melihat keluar dari masjid setelah Shalat Duhur. Saya berfikir, sangat enak orang-orang Islam. Mereka memiliki waktu-waktu  istirahat tertib. Sedang  saya, sampai muka ini berminyak (kumus-kumus) terus saja kerja. Sampai suatu saat, bapak  saya meninggal. Saya tanya kepada seorang Kyai, apa doa-doa yang saya panjatkan, dapat sampai ke bapak?. Mendapat jawaban dengan tuturan yang lembut, menyebutkan, doa-doa anak  tersebut akan dapat  sampai ke arwah orang tuannya, keyakinan agama anak harus sama dengan orang tuannya. Akhirnya  saya dan Budiono bertekad kembali masuk Islam. Tidak sulit bagi kami kembali masuk Islam. Karena sejak kecil saya sudah ngaji dan shalat,” tuturnya runtut.

Dijadikan Rumah Doa

Mengikuti perjalanan Siti Aminah dalam sebuah ambulance, Suara Islam bergabung sejak dari barat Kota Kabupaten Ngawi. Selama perjalanan menuju Desa Gebangkerep, belum terang-gamblang yang dituturkan tentang rumah yang berlokasi hanya beberapa puluh meter dari kantor balai desa Gebangkerep dalam satu jalan yang sama. 

Hanya yang sudah cukup  jelas adalah keterangan; keenam anak yang masih hidup, masing-masing sudah mendapat bagian tanah. Si kakak bungsu Sri Mulyani atau Yani (lahir tahun 1965/53 tahun) mendapat bagian di tengah. Si bungsu Budiono mendapat bagian paling ujung utara. Di sebelah kanan rumah Yani menjadi bagian Hariyadi. Sedang di ujung selatan, adalah bagian untuk Yohanes Samirin. Terpisah lagi untuk Toyok Sutoyo, anak nomor tiga dan Mudjiati (66 tahun) anak nomor dua, kini tinggal di Sukabumi. 

“Bagian Yohanes Samirin ini telah lama dijual. Demikian juga dia telah menjual rumah dan tanah di Surabaya, lokasinya tidak jauh dari Kebun Binatang,” ungkap Toyok Sutoyo seraya menambahkan, bagian untuknya serta Mudjiati kakaknya, yang terpisah agak jauh di selatan, juga sudah dijual. 

Setelah pembagian tersebut, masih ada bangunan rumah dan tanah, terletak di kiri rumah yang digunakan Sri Mulyani atau diapit dengan rumah yang sudah dibangun Budiono di utaranya. 

“Setelah semua anak mendapat bagian tanah, rumah yang tinggal ini, adalah rumah Emak sendiri,“ kata Siti Aminah persis ketika ambulance yang ditumpangi, membelok memotong jalan raya Nganjuk-Surabaya, dan masuk jalan desa menuju Desa Gebangkerep.

Pada bagian lain terhimpun keterangan, Siti Aminah berniat menghibahkan rumah yang masih disisakan dari pembagian itu, kepada Kristyn Gusti Kartika, cucu perempuan, anak dari Yohanes Samirin. Namun pada Jumat, 10 Otober 2017 silam, enam anak-anak Siti Aminah dikumpulkan dan terjadi ketegangan luar biasa, nyaris terjadi keributan, dan puncaknya hibah tersebut kemudian dibatalkan oleh Siti Aminah.

Pembatalan tersebut dituangkan di atas surat pernyataan yang disaksikan oleh Sekretaris Desa Desa Gebangkerep. Sedang Yohanes Samiran, ketika bertanda tangan, dibagian bawah nama dan tanda tangannya; menulis “Pinjaman Rp30 juta.” Menurut Toyok Sutoyo, maksud pinjaman tersebut adalah ibunya, Siti Aminah, ini memiliki hutang pada Yohanes Samirin sebesar yang disebutkan tersebut. Jika belum atau tidak di selesaikan, rumah tersebut tetap dalam penguasaannya.

Sementara didapat keterangan, pembatalan hibah, kemungkinan disebabkan ketika ibu Siti Aminah yang sudah sepuh dan renta ini sakit, Yohanes Samirin mengantarnya ke RSUD Kabupaten Jombang. Namun hanya diantar, kemudian ditinggal di rumah sakit. Sampai para perawat di RSUD Jombang tersebut kebingungan mencari keluarga  yang hendak bertanggungjawab mengurusi. Hariyadi dan Budiono, menyusul ke rumah sakit, dan menyelesaikan semua urusan dengan rumah sakit.

Kemudian, pada suatu hari ketika Ibu Siti Aminah dibonceng sepeda motor oleh Yohanes Samirin, ibu Siti Aminah terjatuh dari boncengan. Bergelimpangan di jalanan, namun tidak ditolong.  

“Padahal dia itu pernah berjanji; sehatnya Emak, Sakitnya Emak, sampai matinya Emak, dia yang bertanggungjawab. Tapi, yang terjadi kemudian tidaklah demikian,” ungkap Toyok Sutoyo.

Toyok Sutoyo cukup gusar mendengar ibunya yang sudah sepuh renta dan sakit-sakitan menghadapi perlakuan demikian dari anak kandungnya, sulung, yang sebenarnya sangat-sangat disayangi. Beberapa bulan lalu, setelah mendapat bantuan mobil ambulance dari Wakil Ketua DPR Fadli Zon, Toyok Sutoyo akhirnya memboyong ibunya Siti Aminah, yang masih dalam kondisi sakit dan belum dapat berjalan, untuk dibawa ke Jakarta.

Mewakili para donatur, Redaktur Suara Islam Muhammad Halwan menyerahkan bantuan kepada Siti Aminah. 

Batako di Halaman Membentuk Salib

Keterangan lain berhasil dihimpun menuturkan, selama rumah Siti Aminah dikuasai anak sulungnya Yohanes Samirin, rumah tersebut tampak sudah hendak dibangun. Bagian halaman depan, di tepi jalan, sudah dicor betonan, mungkin hendak dijadikan pagar dan gerbang. Kemudian didatangkan batako serta bahan bangunan lain.

Teman-temannya seiman Katolik, sudah pula tampak berdatangan dari kawasan agak jauh ---diantaranya dari Kediri, Jombang dan Nganjuk. Tidak ada yang dating dari sekitar Desa Gebangkerep. Mereka berkumpul di rumah ini. Rumah ini sudah dijadikan semacam rumah doa. Di halaman rumah, dekat dengan teras, terdapat sejumlah batako yang ditata membentuk palang salib-salib.

“Rumah tersebut luas tanahnya 23 Ru (Satu Ru adalah sembilan meter persegi atau 3x3 meter,  dengan harga setempat setiap Ru sekira Rp10 juta. Jadi  satu meter persegi harga lebih dari Rp1 juta). Rumah dan tanah tersebut bila dijual bisa laku Rp230 juta lebih. Ini, masa dengan yang disebut sebagai pinjaman  hanya Rp30 juta, rumah sudah dikuasai,” seorang kerabat dekat mengungkap demikian dengan menyebut sudah beberapa kali, teman-temannya seiman Katolik  berkumpul---agaknya hendak menjadikan rumah tersebut sebagai rumah doa yang tidak kecil kemungkinan kelak menjadi gereja.

Memperoleh keterangan ini, Toyok Sutoyo meneruskan informasi  tersebut ke Suara Islam, yang kemudian bersama Fadli Zon, Wakil Ketua DPR, memrakarsai penghimpunan dana dan mengawal Ibu Siti Fatimah dengan menurunkan satu unit mobil Ambulance,  hingga berhasil membebaskan rumah tersebut dari kemungkinan menjadi rumah doa bahkan menjadi gereja. Disamping Fadli Zon sebagai pemrakarsa, sumbangan dana juga terhimpun dari Ahmad Muzani, Sekjen Partai Gerindra, KH. Muhammad Al Khaththath Sekjen Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama, dan Dr. Hendri Saparini, ekonom senior. 

Kemudian HM Luthfie Hakim SH dan Wirawan Adnan, SH., advokat dan tokoh-tokoh teras GNPF-Ulama, kemudian Ir. Muslimin Siregar, MM, mantan Kadolog Timor Timur yang kini pendiri Sekolah Al Jannah, Cibubur, KH. Abdul Rasyid Abdullah Syafi'i, Ulama kharismatis Betawi yang juga Pimpinan Perguruan Islam Assyafi’iyah, Balimatraman, Jakarta Selatan dan HM Mursalin, tokoh dan aktifis pergerakan Islam. 

Dana sebesar Rp30 juta, berikut sejumlah dana lain sebagai pendukung, berhasil dihimpun. Ibu Siti Aminah, dengan bantuan ambulance Fadli Zon, berangkat dari Jakarta untuk pulang ke rumah di kampung halamannya. 

Kamis (22 Maret) pagi, Ibu Siti Aminah, dengan mata berair menerima penyerahan bantuan uang tersebut. Kemudian pada siang harinya, uang diserahkan kepada anak sulungnya Yohanes Samiran (70 tahun), sebagai melunasi apa yang disebut sebagai hutang. Yohanes Samiran, spontan kemudian menyerahkan anak kunci, gembok pintu utama penutup rumah tersebut. 

Siti Aminah membuka gembok rumahnya.

“Terimakasih kepada semua pihak yang secara khusus telah memperhatikan Emak. Telah  memberikan bantuan kepada Emak untuk mengembalikan rumah ini kepada Emak. Terimakasih kepada anakku Toyok, sehingga Emak mendapat perhatian yang luas. Rumah ini kelak, akan jadi bagaimana, juga Emak serahkan kepada Toyok,” katanya dengan mengangkat satu ikat kunci gembok rumah tersebut.   

Serah terima tersebut dituangkan dalam surat pernyataan, ditandatangani Yohanes Samiran dengan saksi empat orang adiknya ditambah seorang perangkat desa.  

“Sangat mengharukan, yang nyaris menjadi konflik antara ibu dengan anak, antara anak dengan saudara-saudaranya, bisa terselesaikan dengan sangat baik. Bahkan lebih mengharukan, ketika ibu Siti Aminah berhasil membuka gembok, pintu rumah terbuka dan menyampaikan salam. Melangkah  masuk rumah, beberapa kali melafakan Surat Al-Fatihah,” ungkap Toyok Sutoyo dengan nada yang juga terharu.

Membantah  

Terpisah kemudian Yohanes Samirin mendatangi secara khusus Suara Islam dan mengungkap, yang telah terjadi sebagai suatu penyelesaian terbaik. Melalui poin-poin yang benar. Berharap, masalah menjadi benar-benar selesai. 

“Masalah uang, apakah itu puluhan juta rupiah bahkan ratusan juta rupiah, selesai setelah dibayar. Namun jika penyelesaian tidak disertai hati yang bening, ya masalahnya tidak selesai,” penegasannya dengan menyebut namanya menjadi Yohanes Wiro Sumiran. Mendapat tambahan Wiro, saat berada di Kalimantan. “Jadi bukan Wiro Sableng,” tambahnya dengan tertawa.

Lebih lanjut mengungkap; “Suatu hari saya dan anak saya Kristyn Gusti Kartika, dipanggil oleh Emak untuk menerima sebuah amanat. Rumah dan tanah itu dihibahkan kepada anak saya, yang juga cucu Emak yang sekarang sedang berada di Jerman. Itu amanat yang harus dilaksanakan,” ungkapnya. 

Namun, menurutnya, dari  lima orang adik-adiknya  juga ipar-iparnya, ada saja yang menilai pihaknya tidak menyayangi keluarga. 

“Kalau di cerita pewayangan, di antaranya mereka itu, ada yang menjadi Sengkuni begitu. Siapa bilang saya ini tidak sayang keluarga. Saya ini sebenarnya lahir tahun 1948, tapi dimudakan menjadi tahun 1950. Nah tahun 1965, ketika itu walau masih SMP di Surabaya, namun sudah cukup besar. Mendapat  kabar, Bapak meminta saya pulang, karena ada informasi  malam itu akan ada penjemputan dilakukan PKI. Di rumah di Surabaya, banyak “mondok” prajurit KKO (sekarang Marinir, red). Saya ajak mereka. Berangkat satu truk prajurit KKO ke Desa ini. Tidak saja mengamankan Bapak saya, tetapi juga mengamankan seluruh Desa,” tuturnya dengan nada bicara bersemangat.

Lebih lanjut Yohanes Samiran, ketika ditanya apakah rumah ibunya tersebut pernah digunakan sebagai Rumah Doa dan kelak jika berkembang hendak dijadikan gereja. Dia tegas membantah tidak pernah menjadikan rumah ibunya sebagai rumah doa. 

“Kalau ada teman-teman Katolik datang dan berkumpul untuk berdoa, ya  itu dulu, dilakukan di rumah saya,” katanya dan menunjuk sebuah rumah, dan menyebut rumah dan tanah tersebut kini sudah dijual. “Di sini dulu saya juga pernah tinggal. Tidak pernah memakai rumahnya ibu itu, untuk Rumah Doa,”bantahnya. 

Sumber : SI Online