Ini Kata Pengamat Ekonomi Tentang Meroketnya Hutang Indonesia
10Berita, Jawaban Kementerian Keuangan atas sindiran bekas Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli soal utang negara, kembali berbalas, seperti yang disampaikan pengamat ekonomi Gede Sandra.
Dia menilai, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dari tanggapan Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti yang beredar di berbagai media.
Tentang Investment Grade dari lembaga-lembaga rating, jelas Gede, perlu diketahui, sesaat menjelang krisis finansial 1997-1998, seluruh lembaga rating juga memberikan peringkat investasi (investment grade) pada Indonesia. Standard & Poor’s pada Desember 1997 memberikan rating BBB, Moody’s memberi rating Baa3. Fitch pada Juni 1997 memberi rating BBB.
Seluruh ekonom di lembaga-lembaga pemerintah saat 1997, termasuk juga para ekonom asing, lanjutnya, meramalkan perekonomian Indonesia sehat-sehat saja. Hanya ada satu ekonom Indonesia yang kritis terhadap rentannya situasi internal perekonomian Indonesia, dan kemudian ramalannya terbukti benar. “Ekonom tersebut adalah Rizal Ramli,” tegas Gede.
Lalu tentang rasio utang yang lebih tepat untuk gambarkan kondisi Indonesia. Sejak 1990-an, ungkapnya, rasio utang yang secara internasional digunakan untuk menggambarkan keberlanjutan utang eksternal negara-negara berpendapatan menengah ke bawah adalah debt service to export ratio (DSER), bukan debt to GDP ratio. Nilai batas atas yang aman untuk DSER adalah 15-20 persen.
“Pak Nufransa menyebut, nilai DSER Indonesia sebesar 39 persen yang disebut RR, salah. Padahal berdasarkan data Bank Dunia (baca: sini), nilai DSER Indonesia benar nilainya 39,6 persen,” tegasnya lagi.
Nufransa, lanjut Gede, menggunakan data DSR Indonesia yang rasionya sebesar 34 persen. “Anggaplah kita pakai rasio DSR Pak Nufransa, yang nilainya 34 persen. Sama saja, tetap jauh di atas batas atas yang diizinkan (15-20 persen). Sebagai perbandingan, negara-negara tetangga Indonesia di ASEAN memiliki nilai DSER/DSR rata-rata di bawah 10 persen, masih sangat aman,” paparnya.
Tentang bunga (yield) surat utang Indonesia yang masih ketinggian, jelas peneliti Universitas Bung Karno ini, RR sangat kritis terhadap tingkat bunga (yield) surat utang Indonesia, karena menurutnya Indonesia seharusnya dapat menghindari kerugian akibat pemasangan yield ketinggian selama ini.
“Untuk permasalahan ini RR juga memberi solusi: agar Menteri Keuangan menukar utang-utang Indonesia yang bunganya ketinggian dengan utang yang bunga lebih rendah,” ujarnya. [rmol]
Sumber : rmol,dakwah media