OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Selasa, 22 Mei 2018

Cina, Elit Yahudi Di Tengah Pusaran Pemerintahan Joko Widodo

Cina, Elit Yahudi Di Tengah Pusaran Pemerintahan Joko Widodo

 

10Berita - Hubungan Cina, komunisme dan illuminati (Yahudi) sudah dimulai sejak 1898, Inggris dan Cina membuat perjanjian bahwa Hong Kong pada tahun 1997 akan diserahkan kepada pemerintah Cina. Komunisme disadari kelahirannya disponsori oleh Yahudi, karena Karl Marx didukung oleh pengaruh dan bantuan finansial dari sahabatnya yang Yahudi. Komunisme bisa juga dikatakan sebagai ciptaan illuminati, agar kapitalisme berdialektika dengan komunisme sebagai keseimbangan dalam kehidupan global (demokrasi dan komunisme dalam bidang politik, serta komunisme dan kapitalisme dalam bidang ekonomi).

Elite di Cina dalam sejarahnya adalah kolaborasi antara komunis, triad di Hong Kong dan para taipan. Inilah kunci rahasia kenapa Cina bisa mengadopsi kapitalisme tanpa mengurangi dominasi komunisme. Kita mengenalnya sebagai State Capitalism, di mana politik negara diatur dengan sistem komunisme sementara ekonomi menggunakan kapitalisme. Terkesan, Cina lebih unggul dari Jepang dalam menyiasati keperkasaan kapitalisme.

Jepang setelah bom atom di Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945 tunduk pada kapitalisme secara mutlak dan berwujud menjadi negara maju. Namun Jepang cenderung di bawah “ketiak” Amerika Serikat dalam hal politik. Jangan heran, Jepang lebih diterima di perdagangan global sementara Cina dikucilkan dari pergaulan internasional. Namun elite Cina, Deng Xiao Ping menyadari bahwa jika komunisme bertahan di Cina, nasibnya akan seperti Uni Soviet karena sistem ekonomi dan keuangan global dikuasai oleh elite Yahudi, dan kapitalisme sangat perkasa.

Cina pun belajar dari perkembangan dunia, bahwa sistem global dikuasai elite Yahudi, mulai dari politik global didirikannya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai inisiasi keluarga Rockefeller, JP Morgan, Rothschild dan keluarga Wielderberger. PBB yang didirikan di New York Amerika Serikat (AS) dengan berbagai pertimbangan, ditetapkan sebagai lokomotif global.

Kiprah elite Yahudi kemudian mendirikan The Fed sebagai bank sentral Amerika Serikat (AS). Semenjak itu, AS menjadi operator utama bagi Yahudi menguasai dunia (New World Order). Sedangkan untuk negara-negara berkembang didirikanlah IMF (International Monetary Fund/Dana Moneter Internasional)/Bank Dunia, untuk mengendalikan, khususnya negara yang sumber daya alamnya potensial, dengan jebakan utang. Para pengamat di dunia menganggap IMF/Bank Dunia telah gagal menjalankan misinya. Maka jadilah AS sebagai operator elite Yahudi, penguasa politik dan ekonomi dunia pasca Perang Dunia II. Sebab itu, hegemoni Cina saat ini, bakal hancur di tahun 2030 karena elite Yahudi punya skenario dengan menjadikan energi dan pangan sebagai sarana menghancurkan negara itu, karena penduduk Cina pada tahun tersebut akan mencapai 1,8 miliar jiwa.

The Currency War: “Elite Yahudi Menguasai Global”

Perang konvensional pasca perang dingin diubah oleh elite Yahudi dengan sistem yang lebih canggih, yaitu ‘Proxy War’ atau Perang Asimetris. Pertempuran non-militer seperti; currency war (perang mata uang asing) seperti yang terjadi di era Soeharto pada tahun 1998. Berikutnya, narkoba (di Amerika Latin), terorisme (Arab Spring), komunisme ideologi (Uni Soviet), budaya (penghancuran negara melalui suatu budaya sehingga generasi mudanya mengalami disorientasi (Harajuku di Jepang dan K-Pop di Korea Selatan), sehingga mereka lupa tentang masa depan, dan menghancurkan kultur kerja keras generasi sebelumnya.

Indonesia berpotensi dihancurkan melalui terorisme (ideologi), narkoba dan korupsi. Setelah tahun 1998 kita dipaksa oleh Yahudi melalui IMF/Bank Dunia (yang juga mereka ciptakan untuk menguasai aset negara berkembang) untuk mengadopsi politik liberal, dan ekonomi neoliberalisme. Kita lihat dan rasakan eksesnya bagi rakyat Indonesia selama 20 tahun terakhir ini.

Sebab itu, mengherankan jika Sri Mulyani Indrawati (SMI) mencoba untuk kembali ke IMF/Bank Dunia dalam mengatasi krisis moneter Indonesia setelah 20 tahun tidak menemukan solusinya. Kegagalan Indonesia dalam hal ini SMI dengan skema utang melalui Surat Utang Negera (SUN) karena memutus JP Morgan (salah satu elite Yahudi) pada tahun 2015 sebagai dealer utama SUN kita, lalu beralih ke Standard & Poor’s Financial Services (S&P) yang levelnya di bawah JP Morgan, SUN Indonesia tidak laku seperti yang diharapkan, lalu pemerintah meminta kembali JP Morgan hadir, ini sangat memalukan kehormatan dan kedaulatan Negara.

Sesungguhnya JP Morgan adalah cara IMF/Bank Dunia agar Indonesia masuk skema currency war, dan gagal, kemudian “kemoterapi” (IMF/Bank Dunia). Seharusnya, SMI berkaca bahwa ekonomi fundamental kita memang bermasalah. Seluruh indikator utama yang menjadi indikator utama investor asing saat ini dalam posisi negatif sehingga posisi Rupiah selalu dalam keadaan melemah (lihat skema Rizal Ramli yang viral di lini massa media sosial). Mata uang Dollar Amerika Serikat (USD) akan terus menguat karena The Fed (elite Yahudi) akan terus menaikkan suku bunga, sementara Bank Indonesia menaikkan suku bunga dan mengintervensi pasar Rupiah terus melemah. Penyakitnya sudah bersifat fundamental, tidak bisa lagi berobat jalan, harus ada tindakan signifikan. Pada Oktober tahun ini, SMI malah menyiapkan diri dengan menjadi penyelenggara pertemuan tahunan IMF/Bank Dunia. Bangsa Indonesia harus menolak hal ini, karena sudah pernah merasakan resep IMF/Bank Dunia selama 20 tahun ke belakang, dan kita menderita. SMI, dan khususnya Joko Widodo sebagai Presiden tidak akan bisa menghentikan seruan #Ganti Presiden 2019 karena kesulitan ekonomi dirasakan langsung oleh rakyat paling bawah. Bukan lagi soal politik yang hanya dirasakan oleh para elite, tapi masalah ekonomi kesulitan yang merasuk ke jantung rakyat, khususnya para ibu rumah tangga. Tidak heran Asmawati (The Power of Emak-emak) dan Neno Warisman (artis lawas) lekas populer dengan inisiatif kaos ‘#Ganti Presiden 2019’.

Menteri Agama Melakukan Blunder (Kesalahan Besar)

Kebijakan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin mengumumkan daftar ulama (mubalig) yang direkomendasi, tanpa memasukan nama-nama Ustadz Abdul Somad UAS), Ustadz Adi Hidayat, Habib Rizieq Shihab, Ustaz Bachtiar Nasir, yang saat ini justru menjadi magnet umat Muslim, adalah blunder (kesalahan besar) politik. Kepanikan Presiden Joko Widodo diantisipasi oleh pembantunya dengan solusi yang justru berdampak men-downgrade elektabilitas Joko Widodo sendiri.

Pembatasan tersebut, khususnya pada UAS adalah bumerang, karena figur ini tidak saja “radikal” (istilah yang diberikan “cebongers” untuk UAS), tapi juga lahir dari kultur Nahdlatul Ulama (NU). Pendidikannya yang lahir dari Pesantren Musthafawiyah Purba Baru (Sumatera Utara) dan ilmu yang diperolehnya dari Al-Azhar (Mesir) telah menempatkan posisi UAS menjadi Ustaz puluhan juta umat di Indonesia. Insiden tidak hadirnya UAS pada Harlah Nasional NU di Pekanbaru (domisili UAS) menolak hadir karena Presiden Joko Widodo hadir, dan tentu menyakitkan bagi orang-orang sekitar Joko Widodo, khususnya yang suka “cari muka” terhadap Presiden. Pertanyaan besarnya, kenapa takut dengan eksistensi UAS, yang secara fenomenal juga ikut melemahkan posisi Ahok dengan pernyataan viralnya: “Jangan pilih pemimpin yang tidak mendukung Islam”.

Apakah Presiden Joko Widodo, dalam hal ini, takut dan panik, dan menganggap UAS sebagai ancaman, lalu Lukman Hakim Saifuddin mengantisipasinya dengn mengumumkan daftar mubalig yang “legal” dari Kementerian Agama RI. Justru, yang akan terjadi sebaliknya, karena UAS populer tidak hanya hadir langsung (secara tatap muka) tapi secara viral lewat media Youtube dan media sosial lainnya.

Lalu, bagaimana mencegahnya? Diancam juga tidak bergeming. Ditangkap? Atau cari-cari unsur kriminalitasnya (kriminalisasi)?

Masyarakat Islam kemudian membalas daftar dari Menteri Agama tersebut dengan membuat daftar mubalig yang menurut mereka lebih berkualitas dan layak diterima publik, seperti UAS dan nama-nama yang tidak termasuk di daftar Kementerian Agama. Daftar tersebut juga kemudian viral, dan kembali Joko Widodo dipermalukan.

Seharusnya, Joko Widodo belajar dari kasus Ahok yang “memusuhi” Islam, karena hal itu mustahil sebab realitas pemilih 85% adalah Muslim. Penguasaan Muslim tidak cukup melalui oknum di NU atau Muhammadiyah. Umat Islam semakin dewasa sebagai pemilih, belajar dari kasus Ahok. Hal substantif yang harus diingat adalah keinginan mengganti Presiden pada 2019 adalah menyangkut “rasa” secara rasional, karena ada realitas kegagalan pengelolaan ekonomi Negara, bukan karena UAS atau umat Muslim tertentu. Joko Widodo seperti menepuk air di dulang, tidak bisa menari menyalahkan lantai yang tidak rata.

Keberadaan Yahudi di Indonesia

Beberapa tahun lalu, kita dikejutkan oleh kehadiran Rothschild di Indonesia. Sebagai soko guru elite Yahudi, ini keluarga terkaya di dunia dengan masuk pada Grup Bakrie sebagai pemegang saham di Bumi Plc dari bursa di London (holding company batubara dan migas Grup Bakrie). Namun, di tengah jalan terjadi sengketa karena Bakrie dianggap gagal bayar dan menggunakan dana perusahaan dari salah satu anak perusahaan secara ilegal. Hal ini digugat oleh Rothschild di Pengadilan Niaga di Singapura. Bakrie akhirnya sadar bahwa elite dunia Yahudi dengan Rothschild memanfaatkannya sebagai pintu untuk menguasai ekonomi secara korporasi melalui skema multinational corporations (corporate capitalism), lalu melawan, dan ternyata menang. Bravo Bakrie!

Elite Yahudi selanjutnya masuk melalui Gita Wiryawan, sehingga yang bersangkutan diangkat menjadi Menteri Perdagangan pada Kabinet Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), karena Gita adalah pendiri JP Morgan Indonesia di awal kiprah bisnisnya di Indonesia yang bernama Ancora Capital (bagian dari Goldman Sachs dan JP Morgan).

Kiprah elite Yahudi global di Indonesia semenjak pintu modal asing dibuka oleh Soeharto pada tahun 1967, tercatat Freeport McMoRan di Papua untuk tambang emas, tembaga, dan perak; Caltex dan Chevron, serta beberapa perusahaan seven sisters company milik Yahudi global penguasa minyak dunia di Riau, di saat boom minyak Indonesia telah menguras sumber daya alam kita. Lalu keberadaan multinational corporations (MNC) di Indonesia lewat berbagai sektor: selain migas dan ESDM (Energi Sumber Daya Mineral), pangan, hiburan, restoran cepat saji, dan lain-lain telah menguasai ekonomi sehingga PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia membesar.

Menjadi catatan kita bahwa besarnya PDB Indonesia, tapi siapa yang punya? Berapa persen milik pribumi dan UMKM (Usaha Kecil, Mikro dan Menengah), sehingga ekonomi dalam konteks kesejahteraan (ketimpangan, kemiskinan, dan keadilan sosial) menjadi tidak relevan menjadikan PDB sebagai ukuran. Jika PDB yang menjadi ukuran utamanya, parameter yang diciptakan rezim kapitalisme ini membodohi publik secara tidak langsung, karena hal ini sering dibanggakan oleh SMI dan kroninya (ekonom neolib).

Bagi pemerintahan bahaya kehadiran elite Yahudi melalui Amerika Serikat (AS) adalah karena rezim Joko Widodo dianggap bandulan ekonominya lebih condong ke Cina. Kenaifan Joko Widodo berlanjut dengan mengganggu elite Yahudi di Freeport Indonesia. Kita mengetahui bahwa pemilik Freeport adalah keluarga Rockefeller dan JP Morgan, Carl Icahn (Koordinator Staf Khusus Donald Trump), dan merupakan elite Yahudi di belakang pemerintahan Presiden AS, Donald Trump. Bagi mereka Freeport adalah hak milik seperti kontrak kerja samanya dengan pemerintahan Soeharto (1967), karena merasa telah mendukung pemerintahan Indonesia menumbangkan Soekarno. Freeport dan Caltex di Riau adalah semacam “fee” bagi AS, dan makna kontraknya hanya mereka yang tahu bersama Soeharto dan orang-orang dekatnya.

Joko Widodo yang tidak mengerti geo-politik, lalu dengan gagah berani memutus kontrak Freeport yang seharusnya diperpanjang pada tahun 2021. Lalu ditanggapi oleh AS pada tahun 2015; AS, Singapura, Israel, Inggris, menanggapi negara-negara Melanesia untuk menuntut Papua merdeka ke PBB, dan menjadi blunder dalam pemerintahan Joko Widodo. Tuntutan konstitusi Indonesia mengharuskan Freeport menjual sahamnya (divestasi 51%), dan tentu pemegang saham pengendali akan beralih pada Indonesia, lalu dari mana uangnya? Elite global dan kita tahu bahwa APBN tengah kesulitan likuiditas, lalu AS memperoleh data bahwa ada Cina di balik pembelian saham Freeport atas hak pemerintah Indonesia?

AS berang dalam hal ini, jelas menyulitkan posisi Joko Widodo untuk memperoleh dukungan Trump pada Pilpres 2019 mendatang. Gerakan Ganti Presiden 2019, tidak akan membesar isunya jika sinyal AS diindahkan oleh Joko Widodo.

Spekulasi berjalan bahwa AS melalui SMI akan kembali berkuasa lewat IMF/Bank Dunia, dan Indonesia kembali pada utang konvensional seperti tahun 1998, kemudian elite global Yahudi berkuasa kembali di Indonesia.

Joko Widodo terjebak pada Proxy War AS vs Cina di Indonesia. Indonesia harus memahami posisi geo-strateginya, karena bagi Cina adalah bagian dari food security (ketahanan pangan), dan bagi AS adalah sarana penguasaan geo-strategis di Asia Tenggara untuk mengimbangi keberadaan Cina.

Isu paling strategis adalah keberadaan uranium di tambang Freeport, tentu tidak akan dilepas oleh AS kepada Cina apapun bayarannya, termasuk memerdekakan Papua atau menggagalkan Joko Widodo di Pilpres 2019 sekalipun.

Sayangnya, dilema bagi AS, karena tidak berkenan dengan Prabowo Subianto dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera) jika kelak berkuasa, karena nasionalisme yang tinggi dan Islam garis keras dan anti AS bergabung.

Patut diduga isu poros ketiga yang dimotori SBY adalah kebutuhan AS terhadap politik Indonesia. Solusi terbaik AS adalah berkuasa melalui IMF/Bank Dunia, walau Cina juga salah satu pemegang saham terbesar di lembaga dunia yang telah dianggap “Jurassic Park” itu, karena gagal sebagai pembina negara berkembang. Tapi SMI adalah operatornya di Indonesia dan Joko Widodo yang naif akan masuk pada jebakan “Batman” dari IMF/Bank Dunia (baca: elite Yahudi-AS).

Dunia dengan globalisasinya sudah dikuasai oleh elite Yahudi, termasuk Cina karena sudah masuk pada sistem keuangan dunia dengan konteks currency war karena bagi Cina adalah hal baru.

Puncaknya akan terjadi strategi Energy and Food Security (Ketahanan Pangan dan Energi) di tahun 2030, yaitu momentum bagi AS memukul Cina (yang juga terjadi seperti Uni Soviet) adalah karena komunisme dan kapitalisme di Cina merupakan binaan elite Yahudi global. Cina mengantisipasi hal ini dengan skema OBOR (One Belt One Road) dengan anggaran USD1,5 triliun untuk pengamanan energi dan pangan tahun 2030. Selain itu Presiden Cina, Xin Ji Ping mengubah konstitusi agar dirinya menjadi Presiden Cina seumur hidup.

Indonesia dengan Presiden Joko Widodo berada di tengah-tengah Proxy War AS dan Cina, sayangnya, Joko Widodo tidak cerdas menggunakan momentum ini karena keterbatasan kapasitas dan kapabilitasnya. Kata kuncinya, bagi AS adalah uranium di Papua; dan bagi Cina adalah pangan dengan memanfaatkan kesuburan alam Indonesia. Jika dia berkomitmen akan didukung, dan negara adidaya ini sebagai sekutu menghadapi krisis di tahun 2030, yang disampaikan Prabowo Subianto negara Indonesia akan hilang dari peta dunia. [KONF/NUSANTARANEWS]


 Sumber :Konfrontasi, UC News