Catatan Tony Rosyid: Para Ulama ‘Paksa’ Anies Nyapres
10Berita – Belum genap setahun jadi gubernur, nama Anies muncul di sejumlah lembaga survei. Sebagai capres. Urutan ketiga, setelah Jokowi dan Prabowo.
Itu bukti, Anies diperhitungkan. Banyak orang menjagokan Anies. Bukankah masih harus selesaikan tugas sebagai gubernur? Disinilah poinnya.
Setidaknya, ada tiga pendapat. Pertama, tak suka Anies nyapres. Jadi gubernur saja kelompok ini tak milih, apalagi nyapres. Bisa dipahami. Di pikiran orang tak suka, Anies selalu dipersepsikan, bahkan diopinikan buruk. Tak ada baiknya. Ukurannya? Like and dislike. Pokoknya gak suka, semuanya jadi buruk.
Risiko pemimpin. Banyak yang cocok, banyak juga yang tak cocok. Yang dukung banyak, tapi tak sedikit yang tak setuju. Ada yang paham, banyak juga yang tak mau ngerti. Dinamika yang wajar. Karena itu, seorang pemimpin dituntut untuk bekerja keras dan cerdas serta berkemampuan komunikasi yang baik. Merangkul semua pihak sebagai bagian dari tanggungjawabnya melayani rakyat secara adil.
Kedua, pendapat bahwa Anies tak etis jika nyapres. Selesaikan dulu Jakarta. Track recordnya cukup bagus. Dapat opini WTP dari BPK. Ini prestasi yang tak pernah didapatkan Jokowi, Ahok dan Djarot ketika jadi gubernur. Ketegasannya soal penegakan aturan banyak diapresiasi. Hingga Alexis dan Reklamasi tutup. Sembilan naga tak berkutik. Ini sisi kelebihan Anies dibanding pendahulu-pendahulunya. Lanjutkan hingga lima tahun kedepan. Buat prestasi maksimal dulu. 2024, jika ada kesempatan, Anies bisa nyapres.
Ketiga, pendapat bahwa Anies mesti nyapres. Bukan karena ambisi, apalagi demi kelompok kepentingan. Haram hukumnya. Forboden. Tapi, untuk bangsa. Kok bisa?
Menurut pendapat ini, untuk selamatkan bangsa, mesti ganti presiden. Hashtag #2019GantiPresiden dan munculnya kelompok ABJ (Asal Bukan Jokowi) yang semakin massif, adalah indikator betapa kegelisahan rakyat semakin akut. Lalu, siapa tokoh yang potensial ganti Jokowi?
Kelompok ini mengungkapkan kriteria. Tokoh-tokoh itu mesti memenuhi syarat integritas, komitmen, kapasitas dan elektabilitas.
Ada tiga nama yang muncul. Prabowo, Anies Baswedan dan Gatot Nurmantyo. Prabowo memenuhi syarat integritas, komitmen dan kapasitas. Jangan ragukan nasionalisme Prabowo. Darahnya darah merah putih. Darah NKRI. Tapi, sayangnya Prabowo lemah di elektabilitas. Elektabilitasnya dua digit, tapi stagnan dan sulit dinaikkan. Brandingnya terlalu berat. Tak banyak memiliki momentum dan daya kreatif untuk naikkan citra diri. Karena, Prabowo tipe manusia yang apa adanya. “Broto Suto”
Gatot memenuhi syarat kapasitas dan elektabilitas. Tapi, integritas dan komitmennya, masih banyak pihak yang mempertanyakan. Ragu, maksudnya. Apalagi kedekatannya dengan para taipan, jadi faktor kecurigaan publik. Sangat disayangkan.
Anies, adalah satu diantara tokoh yang relatif memenuhi empat kriteria. Selain punya kelebihan konseptual dan brilian dalam komunikasi. Soal ini, Anies menonjol kepintarannya.
Selain Anies? Itulah masalahnya. Menurut pendapat kelompok ini, belum ditemukan tokoh yang selengkap Anies saat ini. Situasinya dharurat.
Bukan berarti Anies tak punya kelemahan. Malaikat kali. Tetap saja banyak kekurangan. Tapi setidaknya, diantara tokoh yang muncul, Anies relatif bersih. Baik secara moral, maupun politik. Peluangnya kalahkan incumbent sangat besar. Track record dan variabel debat menjadi faktor yang besar pengaruhnya. Anies vs Jokowi? Adu debat dan konsep? Adu track record?Kebayang siapa “the winnernya.”
Di pilpres 2019, mau menang, atau mau sekedar ikut kontestasi? Kalau mau menang, calonkan Anies. Kalau mau perubahan, calonkan Anies. Kalau mau ganti presiden, calonkan Anies. Begitulah pendapat kelompok yang ketiga ini.
Deklarasi yang diinisiasi oleh sejumlah ulama yang diwakili Haekal Hasan (MIUMI), Fahmi Salim (PP Muhammadiyah), K.H Wahfiuddin Sakam (PBNU), Dr. Taufan Maulamin (Akademisi), para mahasiswa dan LSM seperti GUM kemarin adalah bagian dari kekahawatiran srjumlah ulama jika tak ada pergantian pemimpin bangsa di 2019. Kondisi inilah yang mendorong mereka “paksa” Anies nyapres.
Kabarnya, di belakang mereka, ada ulama-ulama besar yang nama dan wajahnya belum mau dimunculkan. Nunggu momentum yang tepat. Siapa mereka? Mudah melacaknya kalau anda serius.
Tiga pendapat di atas memiliki dinamikanya sendiri di dunia politik jelang pendaftaran pilpres Agustus 2018 . Tapi, apapun dinamika itu, tetap saja partai yang menentukan takdirnya.
Pada akhirnya, apakah Anies akan dapat tiket atau tidak untuk nyapres, tetap saja partai yang punya otoritas untuk membuat keputusan.
Setidaknya, gerakan moral para ulama yang mendeklarasikan Anies bisa jadi bahan pertimbangan penting bagi parpol dalam menyiapkan kepemimpinan bangsa kedepan. (kk/)
*Penulis: Dr. Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Sumber :swamedium