OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Sabtu, 09 Juni 2018

Tuduhan Radikalisme Serampangan Dinilai Bisa Munculkan Persekusi

Tuduhan Radikalisme Serampangan Dinilai Bisa Munculkan Persekusi


10Berita, JAKARTA , Forum Silaturahim Alumni Antar Kampus (FOSILAM) mengatakan penggunaan istilah radikalisme oleh pemerintah tidak jelas tolok ukurnya.

"Penempatan istilah radikalisme yang akhir-akhir ini dilakukan pemerintah untuk menilai suatu pemikiran atau perbuatan dari individu atau kelompok tertentu, tidak diikuti dengan penjelasan tolok ukuran/indikator perbuatan atau pemikiran seperti apa yang masuk dalam kualifikasi radikal," kata Koordinator FOSILAM, Arisakti Prihatwono dalam keterangannya, Jumat (8/6/2018).

Ketidakjelasan tersebut, sambung Ari, berdampak pada penggunaan istilah radikalisme secara serampangan, yang rentan digunakan untuk menekan kelompok kepentingan tertentu yang berseberangan dengan pemerintah.

Selain itu, ketidakjelasan tolok ukur tersebut juga dapat menimbulkan konflik di tengah masyarakat karena satu sama lain akan saling “mempersekusi” dengan dalilnya sendiri-sendiri yang pada akhirnya hanya akan menimbulkan kekisruhan dan kegaduhan yang dalam skala luas dapat menimbulkan perpecahan ditengah bangsa ini.

"Pemerintah harusnya menghitung bahwa tuduhan radikalisme tanpa tolok ukur yang jelas tersebut, dapat memicu sentimen keagamaan ditengah masyarakat, apabila tuduhan radikalisme dilekatkan secara serampangan pada ajaran agama tertentu," jelas Ari.

Sebagai contoh, lanjut Ari, misalnya tuduhan radikalisme terhadap suatu ajaran agama, dapat membuat mahasiswa enggan untuk ikut dalam organisasi kerohanian dan mempelajari agama tersebut, meski itu adalah agamanya sendiri, tenaga pengajar (dosen) akan was-was karena dicurigai menyebarkan paham radikal jika membicarakan nilai-nilai agama di kampus.

Para calon mahasiswa atau orang tua enggan untuk memasukkan anaknya ke kampus yang dituduh radikal, seperti 7 (tujuh) kampus negeri misalnya.

"Selain itu tuduhan radikalisme ini secara tidak langsung dapat menjauhkan sivitas akademika dari agama, padahal agama adalah nilai dasar (basic value) pembentukan moral suatu generasi,"ujarnya.

Menurut Ari, Pemerintah harus menghentikan cara komunikasi publik sebagaimana dilakukan oleh BNPT, pemerintah harus menjadi bagian problem solving di tengah masyarakat bukan malah menjadi  problem entity.

"Penggunaan istilah radikalisme tanpa diikuti dengan penjelasan tolok ukurnya, hanya akan membuat istilah tersebut digunakan secara serampangan, dan hanya kelompok amatir yang melakukan segala sesuatunya secara serampangan,"tuturnya.

Lebih dari itu, Pemerintah harusnya memahami bahwa salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan tinggi yang dimandatkan oleh undang-undang adalah : Pencarian kebenaran ilmiah oleh sivitas akademika yang demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan dan kesatuan bangsa.

Oleh karena itu, sambungnya, pemerintah harusnya mendorong lembaga perguruan tinggi untuk memiliki kemampuan mengelaborasi segala macam bentuk pemikiran guna menemukan kebenaran yang dapat dijadikan sebagai sandaran melalui suatu proses yang ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan.

"Sebaiknya pemerintah pintar dan cerdas mengambil peran dalam persoalan ini, pemerintah harus menyadari bahwa lembaga perguruan tinggi adalah tempat dimana pemikiran bisa hidup dan berkembang dengan segala macam dialektikanya,"beber Ari.

Pemerintah Harus Pastikan Kebebasan Berpikir

Pemerintah dalam kapasitasnya sebagai regulator wajib memastikan tidak ada pemasungan pemikiran terjadi dalam dunia kampus, dalam hal pemerintah menilai ada pemikiran ekstrim yang harus diwaspadai, maka sepatutnya pemerintah menchallengelembaga perguruan tinggi untuk mengkritisinya.

Bahkan, mengubah dan menyesuaikannya dengan maksud  menemukan kebenaran ilmiah dengan cara yang demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan dan kesatuan bangsa.

Ari berpendapat melemparkan tuduhan secara terbuka bahwa 7 (tujuh) Universitas Negeri yang terpapar paham radikalisme sebagaimana disebutkan diatas, bukanlah pilihan cerdas yang harusnya dilakukan.

"Tuduhan sedemikan itu justru lebih bersifat “persekusi” terhadap dunia pendidikan Indonesia dari pada pengayoman dan penata kelolaan dunia pendidikan secara profesional,"katanya. 

Tuntutan Fosilam

Oleh karena itu, Fosilam meminta pemerintah untuk segera mengajukan permohonan maaf kepada masyarakat dan menarik pernyataannya yang justru telah membuat resah dan gaduh kehidupan sivitas akademika khususnya di kampus di Indonesia.

"Menghentikan segala bentuk penggunaan istilah radikalisme secara serampangan terlebih terhadap ajaran agama tertentu,"katanya.

Pemerintah diminta segera memberikan rumusan tolok ukur istilah radikalisme guna menjamin kepastian penatakelolaan negara yang profesional. (bil/)

Sumber :voa-islam