OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Jumat, 17 Agustus 2018

Catatan ICJR, 7 Isu yang Dilewatkan Jokowi dalam Pidato Kenegaraannya (1)

Catatan ICJR, 7 Isu yang Dilewatkan Jokowi dalam Pidato Kenegaraannya (1)

10Berita, JAKARTA—Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) memberikan catatan pada seluruh isi pidato kenegaraan yang disampaikan Presiden Joko Widodo jelang HUT RI ke-73 di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/8/2018).

Dalam pidatonya Jokowi menyampaikan sejumlah capaian dan komitmen pemerintah dihadapan ratusan anggota DPR/MPR/DPD, kepala lembaga negara, menteri kabinet dan mantan presiden serta wakil presiden yang hadir. Namun, ICJR mencatat ada 7 isu yang luput dari perhatian Jokowi terkait komitmen Nawacita yang disampaikannya.

BACA JUGA: Pesan Penting dari Aa Gym untuk Jokowi dan Prabowo

Isu tersebut meliputi pembaruan hukum, perlindungan HAM dan pemerataan akses terhadap keadilan khususnya dalam isu hukum pidana dan peradilan pidana. Berikut ini 3 dari 7 isu yang dimaksud dalam catatan ICJR tersebut.

1. Bantuan Hukum

ICJR mengapresiasi terbentuknya Sistem Akreditasi Bantuan Hukum oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang telah berhasil memverifikasi dan mengakreditasi Organisasi Bantuan Hukum (OBH) se-Indonesia sebanyak 405 OBH pada tahun 2016.

Namun ICJR mencatat, jaminan ketersedian akses bantuan hukum untuk seluruh wilayah di Indonesia masih belum merata. Dari 405 jumlah OBH yang berhasil diakreditasi se-indonesia 49%-nya (199 OBH) berada di Pulau Jawa, 43-nya berkedudukan di Jakarta.

“Jumlah ini sangat kontras dibandingkan dengan jumlah OBH yang berada di Pulau Sumatera yang hanya berjumlah 88 OBH (hanya 21 persen). Di Papua bahkan jumlah OBH hanya 8 dan semua OBH di Papua hanya terkakreditasi C. Padahal jaminan bantuan bersifat wajib bagi terdakwa yang tidak mampu dan wajib bagi terdakwa dengan ancaman pidana di atas 15 tahun dan hukuman mati,” kata Direktur Eksekutif Anggara dalam siaran persnya, Jumat (17/8/2018).

Padahal, menurut ICR, , lewat UU No 16 tahun 2011 tentang bantuan hukum, pemerintah telah berkomitmen untuk menjamin hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia.

2. Penyiksaan perlakuan kejam dan tidak manusiawi

Upaya Pemerintah untuk memasukkan kriminalisasi perbuatan penyiksaan ke dalam RKUHP dan langkah yang diambil oleh 5 (lima) lembaga negara yaitu Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, LPSK, dan Ombudsman RI dalam rangka pencegahan penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam tidak manusiawi, atau merendahkan martabat di tempat-tempat penahanan di Indonesia yang diwujudkan melalui Nota Kesepahaman bersama tertanggal 24 Februari 2016 perlu diapresiasi.

Namun, ICJR mencatat, komitmen yang sebatas MoU oleh lima lembaga tersebut perlu dicermati. Dalam perkembangan terakhir, terdapat beberapa langkah yang diambil oleh pemerintah Indonesia yang justru mendukung praktik penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia seperti penggunaan cambuk dalam qanun jinayat di Aceh.

“Yang paling buruk, inisiatif untuk meratifikasi Protokol Opsional untuk Konvensi PBB Melawan Penyiksaan (Optional Protocol to the Convention Against Torture/OPCAT) guna melengkapi ratifikasi konvensi anti penyiksaan bukan lagi menjadi prioritas pemerintah. Sekali lagi, komitmen Presiden dalam perlindungan HAM, dipertanyakan,” kata Anggara lagi.

3. Hukuman Mati

Pemerintah harus diapresiasi saat menaikkan wacana pembentukan aturan pidana mati yang akan menjadi jalan tengah bagi kelompok abolisionis dan retensionis pasca Presiden menginstruksikan eksekusi 18 orang dalam tiga gelombang pada 2015 dan 2016.

ICJR mencatat, dalam perkembangan terakhir penyusunan RKUHP, pengaturan mengenai pidana mati yang diusung pemerintah semakin kabur dan tidak jelas ke arah mana kebijakan ini akan ditujukan.

BACA JUGA: Fahira Idris: Umat Harus Kawal RUU KUHP Perzinahan

Niat awal untuk membentuk suatu kaidah hukum yang bersifat mengalternatifkan pidana mati dan menjadikannya pilihan paling terakhir dalam pemidanaan seolah tidak tercermin dalam posisi pemerintah yang malah mengubah mekanisme penjatuhan pidana mati untuk diserahkan sepenuhnya kepada hakim melalui putusannya.

“Presiden sebaiknya menunjukkan kembali komitmennya untuk memberikan win-win solution dalam penentuan arah kebijakan hukuman mati sembari menginstruksikan moratorium penjatuhan pidana mati hingga pengaturannya selesai disusun dan disepakati bersama,” terang Anggara. []

SUMBER: MERDEKA