OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Jumat, 17 Agustus 2018

Catatan ICJR, 7 Isu yang Dilewatkan Jokowi dalam Pidato Kenegaraannya (2)

Catatan ICJR, 7 Isu yang Dilewatkan Jokowi dalam Pidato Kenegaraannya (2)

10Berita, JAKARTA—Dalam pidato kenegaraannya di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/8/2018), Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan sejumlah capaian dan komitmen pemerintah. Namun, ICJR mencatat ada 7 isu yang luput dari perhatian Jokowi terkait komitmen Nawacita yang disampaikannya.

Isu tersebut meliputi pembaruan hukum, perlindungan HAM dan pemerataan akses terhadap keadilan khususnya dalam isu hukum pidana dan peradilan pidana. Berikut ini 4 dari 7  isu yang dimaksud dalam catatan ICJR tersebut.

BACA JUGA: https://www.islampos.com/catatan-icjr-7-isu-yang-dilewatkan-jokowi-dalam-pidato-kenegaraannya-1-99785/

4. Narkotika

Jokowi dengan gamblang menyebutkan bahwa pemerintahannya akan fokus pada ketegasan dalam pemberantasan narkoba dengan dasar untuk menyelamatkan nyawa belasan ribu putra-putri bangsa.

Berdasarkan data Ditjen PAS, sampai dengan Juli 2018, terdapat 37.383 orang yang dipenjara karena menggunakan dan kecanduan narkotika. Menurut penelitian ICJR, jumlah pengguna dan pencandu narkotika bisa tiga kali lipat dari jumlah data Ditjen PAS karena UU Narkotika yang masih memuat pasal karet dapat menjerat pengguna dan pencandu dengan pasal kurir dan bandar.

“Presiden lupa untuk menyebutkan komitmen menyelamatkan nyawa putra putri bangsa, termasuk di dalamnya mereka yang merupakan korban narkotika yaitu para pengguna dan pecandu. Bukannya dilindungi mereka malah dipenjara, selain berisiko terkait hak atas kesehatan, pecandu dan pengguna narkotika juga merupakan populasi kunci yang rentan terkena HIV/AIDS sehingga membutuhkan perhatian lebih dan tidak seharusnya dipenjara,” tutur Anggara lagi.

5. Lapas overkapasitas

ICJR melihat bahwa tidak ada komitmen yang jelas ditunjukkan oleh pemerintah dalam menangani masalah overcrowding rutan dan lapas di Indonesia.

Berdasarkan data Ditjen PAS Per Mei 2018, beban Rutan dan Lapas di Indonesia mencapai 201 persen. Kondisi ini telah mencapai extreme overcrowding karena perbandingan tahanan dan kapasitas melebihi 150 persen. Sedangkan, Laporan Statistik Ditjen Pemasyarakatan mencatat bahwa pidana penjara hampir 5 kali lebih sering digunakan dibandingkan pranata lain di luar penjara.

“Overcowding juga menciptakan peluang pungli dan korupsi yang sangat besar karena para tahanan harus menyediakan sendiri kebutuhan pribadi atau sekedar mendapatkan tempat lebih layak dan manusiawi,” imbuh Anggara.

ICJR mengapresiasi langkah Menteri Hukum dan HAM dengan menerbitkan Permenkumham No 3 Tahun 2017 tentang Grand Design Penanganan Overcrowded Lapas dan Rutan yang menyepakati bahwa salah satu upaya penanganan overcrowding adalah dengan mereformasi kebijakan hukum pidana dengan menghadirkan alternatif pemidanaan non pemenjaraan.

Namun, upaya itu tidak sejalan dengan proposal yang diajukan oleh Tim Perumus RKUHP yang juga bagian dari Pemerintah, khususnya juga bagian dari Kemenkum HAM. Pengaturan RKUHP sama sekalian tidak merumuskan alternatif pemidanaan non pemenjaraan secara lengkap, diperburuk dengan upaya kriminalisasi berlebihan sampai naiknya ancaman sejumlah tindak pidana.

“Apabila Presiden memang pro pada pemberantasan korupsi dan pemenuhan HAM, maka Presiden perlu menunjukkan komitmen dalam penyelesaian masalah overcrowding dengan taktis dan sistematis,” tegas Anggara.

6. Perlindungan Korban

Dalam hal perlindungan korban kejahatan, ICJR mengapresiasi langkah Pemerintah dan DPR yang memasukkan ke dalam UU Perubahan UU Terorisme mekanisme kompensasi dan rehabilitasi baru bagi korban terorisme. Mekanisme ini merupakan salah satu hal yang selama pembahasan didorong oleh ICJR.

Namun di lain sisi, komitmen perlindungan yang diberikan oleh negara, khususnya Pemerintah masih sangat kurang. Salah satu buktinya seperti yang terjadi pada kasus WA, seorang anak korban perkosaan di Jambi, yang dijatuhi pidana penjara 6 (enam) bulan karena menggugurkan anak hasil perkosaan yang dialaminya.

“Dari kasus ini nampak bahwa negara lalai dalam menjalankan tugasnya untuk memberikan perlindungan terhadap korban. Presiden harus menunjukkan komitmennya pada isu ini, harus ada instruksi masuknya aspek khusus perlindungan korban pada beberapa RUU yang sedang atau akan dibahas bersama dengan DPR,” jelas Anggara.

7. Reformasi Hukum Pidana

Presiden menyebutkan beberapa capaian lembaga negara dan komitmen pemerintah di bidang hukum, tapi menurut ICJR, yang terlewatkan oleh pemerintah adalah bagaimana visi dan komitmen beliau soal reformasi hukum pidana.

Sejauh ini komitmen itu terlihat dari Revisi KUHP, dengan mengusung dekolonialisasi, RKUHP muncul dengan pasal-pasal khas kolonial seperti penghinaan presiden, penghinaan lembaga negara, pidana bagi penggelandang sampai dengan kriminalisasi penyebaran alat kontrasepsi lalu dihiasi dengan ancaman pidana yang serba penjara.

BACA JUGA: Ini Harta Kekayaan Jokowi dan Prabowo

Keberanian Pemerintah untuk memulai diskusi RKUHP di DPR patut diapresiasi, tapi muatan RKUHP yang masih jauh dari perlindungan HAM dan kebebasan sipil mengakibatkan Presiden rasanya perlu tetap menunjukkan komitmen reformasi hukum pidana yang berorientasi pada pembaruan hukum dengan tetap menjunjung tinggi penghormatan dan perlindungan HAM serta kebebasan sipil dan pemerataan akses terhadap keadilan. []

SUMBER: MERDEKA