OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Rabu, 29 Agustus 2018

Dunia Berbelok Meninggalkan Amerika

Dunia Berbelok Meninggalkan Amerika

 

10Berita, Satu hal sudah tampak jelas di era Donald Trump adalah bahwa dunia ini tidak akan laginmenjadi taman bermain presiden Amerika. Kebijakannya yang ultra-unilateralis, penolakan terhadap perdagangan, perjanjian denuklirisasi Iran, biaya pertahanan dan perubahan iklim telah menciptakan gerakan anti-Trump tidak saja di Amerika tetapi juga secara global.

Pada tingkat yang luar biasa, negara-negara yang menjadi targetnya kini bersatu untuk menentang Trump dan kebijakannya. Amerika tidak bisa lagi seperti apa yang disampaikan Menteri Luar Negeri Madeleine Albright 20 tahun lalu yang mengatakan Amerika adalah “bangsa yang sangat diperlukan”.

Pada Januari 2017, pada hari pertamanya di kantor, Trump segera menarik Amerika Serikat dari perjanjian 12 negara Trans-Pacific Partnership (TPP) yang telah dinegosiasikan. Hal sangat mengecewakan banyak pihak salah satunya sekutu dekat Washington, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe.

Abe dengan tekun memohon bantuan Trump segera setelah dia terpilih, baik di dalam dan di luar lapangan golf saat dia berkunjung ke Amerika. Sehari sebelumnya di bulan Januari, Abe bahkan berhasil meminta parlemen Jepang untuk menyetujui perjanjian tersebut.

Namun Trump tetap keluar. Respons sekutunya pun mengejutkan dan belum pernah terjadi sebelumnya dalam tujuh dekade terakhir. Abe, bersama dengan para pemimpin dari 10 negara lain yang terlibat dalam perjanjian yakni Australia, Brunei, Kanada, Chili, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura, dan Vietnam – menolak untuk mengganggap keputusan Trump sebagai akhir dari TPP.

Sebaliknya, dalam langkah inovatif mereka melanjutkan negosiasi tentang perjanjian di kota Viña del Mar, Chili.

Pada Maret 2018, setelah berbulan-bulan pembahasan, mereka menandatangani Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik di ibukota Chili, Santiago. Bagi para penandatangan, itu mengurangi tarif secara drastis, serta memperkenalkan aturan perdagangan baru di pasar yang mencakup setengah miliar orang di kedua sisi Samudra Pasifik.

Ini adalah peristiwa penting, sebuah langkah baru di mana negara-negara yang terbiasa mengikuti isyarat dari Washington kini maju tanpa tanpa Amerika. Mereka menolak pandangan Trump tentang perdagangan sebagai permainan zero-sum, yang terdiri atas pemenang dan pecundang. Presiden Chili Michelle Bachelet saat penandatanganan TPP berkata, “Kita harus tetap berada di jalur globalisasi, namun belajar dari kesalahan masa lalu kita.”

Pandangan Bachelet juga dikuatkan oleh Abe, yang memimpin negara dengan ekonomi terbesar ketiga di dunia.

Segera setelah TPP jalan tanpa Trump, Abe memutuskan untuk menghidupkan kembali pembicaraan perdagangan bebasnya yang terhenti dengan Uni Eropa. Sama-sama tidak setuju dengan kebijakan perdagangan presiden Amerika menyebabkan kedua belah pihak dengan cepat mengatasi perbedaan mereka.

Pada bulan Juli 2017, Abe secara resmi menyetujui garis besar kesepakatan perdagangan bebas dengan Presiden Dewan Eropa Donald Tusk dan Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker. Dengan demikian, negara-negara Uni Eropa dan Jepang memperjelas komitmen mereka terhadap tatanan internasional berbasis aturan liberal, perdagangan bebas, yang bertentangan dengan pandangan Trump.

Pada Juli 2018 di Brussels, Uni Eropa dan Jepang menandatangani kesepakatan perdagangan bebas terbesar dunia, Perjanjian Kemitraan Ekonomi. Hebatnya, ini mencakup hampir sepertiga produk domestik bruto dunia dan 600 juta orang.

Untuk pertama kalinya sejak akhir Perang Dunia II, sekutu Washington di Barat serta Timur membalikkan sikap mereka kepada seorang presiden Amerika. Itu membuatnya menjadi peristiwa yang benar-benar bersejarah.

Uni Eropa Melangkah Tanpa Trump

Pada bulan Mei 2018, ketika Donald Trump keluar dari kesepakatan denuklirisasi Iran yang disahkan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker juga teguh dalam kritiknya pada Trump.

Perjanjian nuklir Iran yang dikenal sebagai Joint Comprehensive Plan of Action dan ditandatangani pada bulan Juli 2015 oleh enam kekuatan dunia – Amerika, Inggris, China , Perancis, Jerman dan Rusia – dan Uni erpa sedang dilaksanakan sebagaimana ditentukan dalam perjanjian.

Namun Trump mengumumkan penerapan sanksi kepada Iran sebelum JCPOA yang mencakup energi, perbankan, dan sektor lain di Iran. Sanksi termasuk hukuman yang bisa diberikan kepada negara yang melakukan hubungan kepada Iran.

Sebelum meluncurkan perang ekonomi melawan Teheran, Trump telah mengasingkan Uni Eropa dengan menolak memberikannya pengecualian tarif baja dan aluminium yang mulai diberlakukannya di China dan negara lain pada Maret 2018. Seorang presiden Amerika berwenang mengambil tindakan tersebut hanya untuk melindungi “keamanan nasional.”

Para pejabat Uni Eropa berpendapat, tidak ada gunanya mereka adalah sekutu Amerika Serikat. “Kami menyaksikan hari ini sebuah fenomena baru – ketegasan yang berubah-ubah dari pemerintahan Amerika,” kata Tusk pertengahan Mei 2018.

“Melihat keputusan terbaru dari Presiden Trump, beberapa bahkan dapat berpikir, ‘Dengan teman saja seperti itu, siapa yang butuh musuh?'” Uni Eropa kemudian dengan suara bulat memutuskan untuk tetap menjalankan JCPOA selama Iran setuju untuk melakukan hal yang sama. Lagi-lagi Amerika ditinggalkan.

Pada 7 Agustus 2018, sanksi AS mulai berlaku pada setiap transaksi keuangan yang melibatkan dolar Amerika yang berkaitan dengan sektor otomotif Iran, pembelian pesawat komersial, dan logam, termasuk emas. Komisi Eropa, badan eksekutif dari Uni Eropa segera menginstruksikan perusahaan-perusahaan Eropa untuk tidak mematuhi permintaan Washington guna menghentikan perdagangan dengan Iran.

Komisi itu kemudian membentuk sebuah mekanisme yang akan memungkinkan perusahaan-perusahaan yang terkena sanksi untuk menuntut pemerintah Amerika di pengadilan nasional negara-negara anggota.

Rusia dan China, penandatangan bersama untuk JCPOA, sependapat dengan Uni Eropa. “Kami sangat kecewa dengan langkah Amerika untuk menerapkan kembali sanksi nasionalnya terhadap Iran,” kata kementerian luar negeri Rusia. “Ini adalah contoh yang jelas dari Washington yang melanggar resolusi PBB 2231 [tentang kesepakatan Iran] dan hukum internasional.”

Kementerian luar negeri China juga menyesalkan keputusan Washington dan mendesak semua pihak yang terlibat untuk tetap di jalur untuk implementasi penuh dari kesepakatan 2015.

Trump di NATO

Sebagai seorang pengusaha yang menduduki Gedung Putih, Trump telah memperkenalkan paradigma untung-rugi untuk kebijakan luar negeri baik itu perdagangan lintas batas atau anggaran militer. Itu membantu menjelaskan kritik kerasnya tentang bagaimana anggota NATO lainnya tidak cukup membelanjakan uang untuk pertahanan.

Pada KTT NATO Juli 2018 di Brussels, Trump sangat keras mengatakan “Banyak dari negara-negara itu berada di NATO dan mereka tidak membayar utang mereka.” Sebagai menteri pertahanan Jerman Ursula von der Leyen menjelaskan, “NATO tidak memiliki rekening utang.”

Rupanya, presiden bingung tentang kontribusi langsung dan tidak langsung ke NATO. Pada 2017, anggaran NATO adalah US$ 1,652 miliar. Negara-negara anggota berkontribusi sesuai dengan formula yang disetujui terkait dengan GDP suatu negara. Amerika Serikat menyumbang 22,14 persen dari anggaran itu, Jerman 14,65 persen, Prancis 10,63 persen dan Inggris 9,84 persen. Semua dibayar tepat waktu.

Lalu ada kontribusi tidak langsung ke NATO. Hal ini terkait dengan seberapa banyak peralatan dan tenaga kerja negara anggota operasi militer tertentu yang salah satu paling besar adalah operasi di Afghanistan pimpinan Amerika.

Untuk memfasilitasi dan mendorong kontribusi semacam itu, para pemimpin NATO sepakat pada tahun 2014 untuk meningkatkan pengeluaran mereka bagi pertahanan hingga setidaknya dua persen dari PDB mereka pada tahun 2024.

Perubahan Iklim

Hal lain yang membuat Amerika akhirnya ditinggalkan adalah sikap Trump untuk menarik Amerika dari perjanjian iklim Paris. Keputusan yang diambil pada Juni 2017 itu berlawanan dengan janji Presiden Barack Obama untuk mengurangi emisi gas rumah kaca Amerika sebesar 26 persen hingga 28 persen pada 2025 dari tingkat tahun 2005.

Tetapi 194 negara penandatangan yang lain tetap kukuh di atas kapal. Perwakilan mereka termasuk di antara 3.000 diplomat dan pengamat yang berkumpul di Bonn, Jerman, pada Mei 2018 berunding untuk memberikan persetujuan lebih lanjut. Salah satu keputusan dari pertemuan itu adalah bahwa KTT Aksi Iklim Global, akan berlangsung pada bulan September 2018 di California Amerika!.

Gubernur negara bagian itu, Jerry Brown, telah menjadi tokoh kunci dalam menggalang dukungan bagi Kesepakatan Paris dan oposisi terhadap penolak perubahan iklim Trump di tingkat negara bagian dan lokal. Bersama mantan walikota New York Michael Bloomberg, Brown mensponsori koalisi We Are Still In yang menggambarkan pemberontakan pada keputusan Trump.

Berbagai hal tadi telah menggambarkan bahwa dunia terus bergerak dan tidak memperdulikan dengan sikap Trump. Dunia akan berbelok dengan meninggalkan Amerika.(Jejaktapak)

Sumber: Diambil dari tulisan Dilip Hiro, pengarang A Comprehensive Dictionary of the Middle East yang dimuat di TomDispatch 23 Agustus 2018.