10Berita, Sebuah ulasan menarik disajikan Hersubeno Arief yang dipublikasikan melalui kumparan.com (9/10/2018) tentang bagaimana lembaga survey bekerja untuk membantu penggiringan opini
www.kumparan.com
Pilpres 2019 seolah sudah selesai bagi lembaga-lembaga survey yang melakukan survey tentang elektabilitas dan keterpilihan para capres jelang pemilu mendatang.
Beberapa lembaga survey yang mempublikasikan hasil temuan mereka pada intinya selalu berakhir dengan satu kesimpulan, pasangan Jokowi - Ma'ruf Amin unggul telak atas Prabowo - sandiaga Uno.
Contoh terbaru saja misalnya, SMRC pimpinan Syaiful Mujani malah menyatakan elektabilitas Jokowi-Ma’ruf terlalu perkasa dengan keunggulan 60,4% dibandingkan Prabowo-Sandiaga 29,8%. Ada selisih 30,6%.
Namun kubu dari pasangan no urut 02 itu ternyata bersikap kalem dan dewasa menghadapi hasil survey seperti itu. Sang juru bicara Dahnil Simanjuntak lantas menjawab dengan tegas untuk menampar para lembaga survey, "Percaya lembaga survey? Dulu saja mereka memenangkan Foke dan Ahok di pilkada DKI, kenyataannya salah."
www.kricom.com
Apa yang disampaikan oleh Dahnil itu memang benar adanya, lantaran faktanya para lembaga survey sebelumnya telak terbukti menelan ludah mereka sendiri lantaran hasil pemilu yang sebenarnya ternyata jauh dari hasil survey mereka.
Contoh dari SMRC lagi, dua hari sebelum kampanye berakhir, SMRC merilis hasil surveinya. Elektabilitas Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat unggil sebesar 46,9%. Kemudian pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno sebesar 47,9%. Hanya selisih 1%. Sementara Margin of Error 4,7%.
Sementara survey dari Charta Politika yang dipimpin Yunarto Wijaya mengumumkan bahwa Ahok-Djarot akan memenangkan Pilkada. Pasangan Ahok-Djarot 49%, Anies-Sandi 47,1%. Anies-Sandi suaranya stagnan, Ahok-Djarot terus naik.
Apa kenyataannya? Hasilnya sangat jauh berbeda. Anies-Sandi menang mutlak dengan memperoleh 57,96%, Ahok-Djarot 42,04%. Ada selisih suara 15,92%. Kalau toh semua suara tidak menjawab 7,9% dan Margin of Error 3,5% ditambahkan ke Ahok-Djarot, hasil Pilkada tetap jauh dari prediksi Charta.
www.kumparan.com
Namun inilah memang pekerjaan lembaga survey. Seperti kata pepatah di mana ada gula, di situ ada semut. Lembaga survey akan selalu dekat dengan petahana, sementara lembaga-lembaga yang mencoba independen pun takut untuk mengambil risiko dengan bergabung ke Prabowo - Sandiaga Uno.
Lalu apa tugas lembaga survey selanjutnya bagi petahana? Jawabnya adalah penguasaan dan pembentukan opini publik. Karena lembaga survei merangkap sebagai konsultan, maka unsur publikasi hasil survei menjadi sangat penting.
Dengan berkumpulnya para pemilik media besar di kubu inkumben, maka penggiringan opini menjadi sempurna. Publik bisa didikte dan diarahkan preferensi pilihannya sesuai agenda mereka. Publikasi yang masif menjadi sangat penting untuk mempengaruhi preferensi pemilih. Dalam hal ini berlaku doktrin propanda “kebohongan yang diulang akan menjadi kebenaran”.
www.tribunnews.com
Dan tugas mereka adalah mempengaruhi terutama pada dua target pemilih, pertama para calon pemilih yang belum menentukan pilihan dan kedua para pemilih yang tingkat militansinya rendah.
Sehingga dengan publikasi hasil-hasil survey dan pengaruh dari para figur lembaga survey tersebut yang tampak netral diharapkan akan bisa mempengaruhi pilihan calon pemilih untuk memilih incumbent.
Bahkan tak jarang survey dilakukan dengan cara yang keras dengan memainkan isu SARA. Lembaga survey ada yang dekat membuat survey SARA dengan menyebut bahwa pemilih Jokowi-Ma’ruf yang setuju Pancasila meningkat, pemilih Prabowo-Sandi yang pro Pancasila menurun. Pemilih Prabowo-Sandi lebih banyak yang setuju dengan NKRI bersyariah.
Tujuannya jelas memberi stigma bahwa Islam garis keras berada di kubu Prabowo-Sandi. Ini untuk menakut-nakuti kalangan non-muslim dan nasionalis.
Sayangnya memang, praktik mencari makan dengan cara semacam itu bukan hal baru dalam dunia perpolitikan.
www.hidayatullah.com
Darrell Huff pada tahun 1954 pernah menerbitkan sebuah buku legendaris berjudul “How to lie with statistics”. Buku itu bercerita bagaimana jurus-jurus berbohong dengan metode statistik. Berbohong, tapi kelihatannya ilmiah. Keren kan?
Jadi tak pelak kita harus mengakui bahwa Jokowi adalah 'presiden' republik survey Indonesia, tapi untuk presiden rakyat Indonesia, bisa saja kan Prabowo adalah orangnya?