OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Selasa, 01 Januari 2019

Kaleidoskop 2018: Peristiwa-peristiwa Besar dalam Krisis Palestina

Kaleidoskop 2018: Peristiwa-peristiwa Besar dalam Krisis Palestina


10Berita  – Selama 70 tahun terakhir, tindakan represif Israel selama menjajah bangsa Palestina tak pernah berhenti. Kampanye penangkapan, penyerbuan, pembunuhan warga sipil dan penghancuran rumah terus dilakukan.
Pada tahun 2018, tindakan tersebut tampak lebih nyata dan mengukir ingatan tersendiri bagi warga Palestina. Kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia kia mengemuka, selain kesewenang-wenangan yang tak kunjung mereda.
Berikut adalah lima peristiwa terbesar di wilayah Palestina yang dijajah di tahun ini:
Pertama: Great March of Return di Jalur Gaza
Dalam perjuangan Palestina untuk meraih kemerdekaan, aksi protes bertajuk Great March of Return di Jalur Gaza yang terkepung menjadi salah satu yang disoroti. Pada 30 Maret, ribuan warga Palestina di Gaza berkumpul di perbatasan dalam sebuah gerakan demonstrasi massal.
Demonstrasi itu diselenggarakan bertepatan dengan Land Day, yang menandai peristiwa 30 Maret 1976 ketika polisi Israel membunuh enam warga Palestina yang memprotes pengambilalihan tanah.
Aksi protes yang hingga hari ini masih berlanjut, telah menyerukan hak untuk kembali pengungsi Palestina ke rumah mereka, dari mana mereka diusir selama Nakba di tengah pembentukan negara Israel pada tahun 1948. Protes juga menyerukan diakhirinya pengepungan Gaza selama 11 tahun dan menuntut hak kebebasan warga Palestina.
Sejak awal protes, pasukan Israel telah menewaskan sedikitnya 230 warga Palestina di daerah kantong pantai yang dikepung dan melukai lebih dari 25.000 orang.
Kedua: Israel Meloloskan Hukum Negara-Bangsa
Pada tanggal 19 Juli, parlemen Israel Knesset, mengesahkan undang-undang negara-bangsa. UU ini menegaskan bahwa orang Yahudi berhak untuk menentukan nasib sendiri di negara Israel.
Hukum negara-bangsa juga menyatakan bahwa Israel “memandang pengembangan permukiman Yahudi sebagai nilai nasional, dan akan bertindak untuk mendorong dan mempromosikan pembentukan dan penguatannya dengan mengabaikan hukum internasional yang menyebutnya permukiman ilegal.
“Hukum negara-bangsa diabadikan sebagai mandat konstitusional supremasi Yahudi atas non-Yahudi, yang telah secara efektif memandu kebijakan Israel selama bertahun-tahun.”
Ketiga: Trump Memindahkan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem
Pada tanggal 6 Desember 2017, Presiden AS Donald Trump memutuskan untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Trump juga mengumumkan bahwa negaranya akan memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke sana.
Pada 14 Mei, yang menandai peringatan 70 tahun Nakba, AS memindahkan kedutaannya ke Yerusalem. Setelah keputusan AS, Guatemala dan Paraguay mengikuti – meskipun Paraguay kemudian membatalkan langkah itu. Sejumlah politisi di negara lain juga telah menyerukan agar negara mereka mengikutinya.
Pemindahan kedutaan secara implisit menjadi dorongan bagi Israel untuk melanjutkan dan mengintensifkan kebijakan rasisnya terhadap Palestina di kota.
Dalam jangka panjang langkah pemindahan ini akan memiliki banyak dimensi politik yang merugikan pada rakyat Palestina – baik di dalam maupun di luar Palestina. Langkah itu akan membuat jauh lebih sulit di masa depan untuk mendirikan negara Palestina, terutama jika negara-negara lain mengikutinya.

Sumber : Kiblat