Kekuasaan yang Menenggelamkan
-CATATAN M RIZAL FADHILLAH, SH-
Budaya kritik tak terbangun. Padahal Kritik justru berfungsi untuk menghindari kerusakan. Mencegah kemungkaran itu sesungguhnya membawa kebaikan.10Berita, Dalam Hadits Bukhori diriwayatkan tentang dua kelompok orang dalam sebuah kapal, yaitu yang berada di atas dan di bawah. Yang di atas nyaman dan memiliki fasilitas untuk mendapatkan air. Sedang yang di bawah lebih sulit.Mengingat kesulitannya maka untuk mendapatkan air, orang yang di bagian bawah “nekat” melubangi dinding kapal itu. Yang di atas tak peduli. Air masuk semakin banyak. Lalu karamlah kapal. Orang orang di bagian atas maupun bawah sama-sama tenggelam.
Ada tiga pelajaran yang dapat ditarik, khususnya dalam kaitan kepemimpinan dan kekuasaan.
Pertama, yang berada di atas senantiasa lebih terbuka untuk mendapatkan kemudahan dan lebih kuasa. Kekuasaan itu seharusnya bukan semata untuk kemudahan diri tetapi juga perhatian pada kebutuhan kelompok yang di bawah.
Kedua, yang di bawah tak boleh tertutup aspirasi, sehingga tidak mau dan tak mampu meminta bantuan yang di atas. Akibat aspirasi tersumbat akhirnya berbuat nekat.
Ketiga, tak terbangun budaya kritik. Kritik justru berfungsi untuk menghindari kerusakan. Mencegah kemungkaran itu sesungguhnya membawa kebaikan.
Ketiga hal ini yang menjadi ciri kita dalam pengelolaan negara saat ini. Penguasa yang nampak menikmati kursi empuk kekuasaan. Saking nikmatnya hingga tak mampu bertanya masih pantaskah saya untuk memimpin? Melainkan deklarasi bahwa sayalah yang harus tetap memimpin.
Kemudian aspirasi diartikulasikan dengan bias. Kebijakan datang dari atas dengan membahasakan “demi rakyat”. Program kerakyatan tapi narasi dan formulasi penguasa sendiri.
Selanjutnya sikap kritis menjadi tabu dan ditakuti. Kesalahan dicari-cari dari banyak pintu. Targetnya hanya satu, yaitu pintu penjara.
Dalam ilmu kenegaraan kontemporer, tenggelam bersama disebut sebagai “failed state”. Negara gagal. Kegagalan berdemokrasi meliputi tiga aspek. Pertama, gagal mencapai tujuan negara yang menyejahterakan (welfare state). Korupsi, pemborosan, kesenjangan dan benturan ideologi.
Kedua, negara hukum tidak menjadi landasan. Hukum ditempatkan sebagai alat kekuasaan. Institusi peradilan tidak independen.
Ketiga, asas kedaulatan rakyat tidak dijalankan. Banyak semu-semu dalam pelaksanaan. Sementara kebebasan warga negara terancam. Hak berekspresi dan bicara dibatasi.
Jika nakhoda kapal Indonesia tidak sungguh-sungguh mengendalikan kapal dan tak peduli pada keadaan penumpang yang di bawah, teriakan pun tak didengar bahkan dianggap suara berisik, maka semua akan berbuat sesuai dengan kepentingan dan pilihan sendiri. Kapal ini pasti gagal mencapai tujuan. Yang terjadi adalah tenggelam bersama karena air masuk dari kebocoran dinding-dindingnya.
Kita mesti mencegah. Mulai dari kewajiban mengganti Nakhoda. Selanjutnya terserah Anda…! Rakyat yang berdaulat.
Bandung, 8 Februari 2019
-Penulis Ketua Masyarakat Unggul (MAUNG) Bandung Institute
Sumber : Salam Online.