OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Kamis, 14 Februari 2019

PKS Beberkan Alasan Penolakan Terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

PKS Beberkan Alasan Penolakan Terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

10Berita , Jakarta – Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) menjadi sorotan banyak pihak karena isinya dinilai berpotensi memberi ruang bagi perilaku seks bebas yang secara otomatis bertentangan dengan Pancasila dan norma agama. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi satu-satunya partai yang secara tegas menolak RUU tersebut.
Penjelasan terkait penolakan PKS terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dipaparkan Wakil Ketua Fraksi PKS, Ledia Hanifa dalam forum diskusi publik ‘Kontroversi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual’. Dalam pernyataannya, Ledia mengatakan sekilas tujuan RUU tersebut nampak baik yaitu untuk melindungi perempuan dan anak dari berbagai tindak kekerasan seksual. Namun, setelah dipelajari lebih dalam ada pasal-pasal dan ayat-ayat yang secara makna dan tafsiran bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan norma-norma agama.
Meski begitu, Fraksi PKS tidak serta merta menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Dalam perjalanan pembahasannya, Fraksi PKS telah mengajukan empat poin perubahan yang dianggap penting dan mendasar.
Pertama adalah usulan pergantian nomenklatur ’kekerasan seksual’ menjadi ’kejahatan seksual’, agar memiliki ketegasan derajat hukum yang berat. Istilah kejahatan seksual menggambarkan unsur kesalahan dan derajat tindak pidana yang Iebih tegas sehingga dapat mempermudah dalam perumusan delik dan pemenuhan unsur-unsur pidana dalam pembuktian.
“Istilah Kejahatan Seksual juga lebih memenuhi kriteria ‘darurat kejahatan seksual’ yang sedang terjadi di masyarakat. Selain itu istilah kejahatan seksual juga sudah digunakan dalam Undang-undang Perlindungan Anak,” kata Ledia Hanifa di Ruang Rapat Pleno Fraksi PKS di Gedung DPR RI, Rabu (13/02/2019).
Kedua, melakukan perubahan definisi dari kekerasan seksual itu sendiri. Definisi yang dirumuskan dalam RUU yang ada sekarang masih ambigu sehingga menimbulkan keraguan, kekaburan, dan ketidakjelasan.
“Diantaranya dengan tidak memperhitungkan risiko korban dapat kehilangan nyawa dari tindakan kejahatan seksual, memasukkan unsur ‘hasrat seksual’ yang luas yang dapat berimplikasi pada sikap permisif terhadap perilaku seksual menyimpang juga karena menggunakan istilah ‘relasi kuasa’ yang dapat disalah-pahami dengan ‘relasi suami-istri’,” kata Ledia.
Ketiga, berkaitan dengan peran pemerintah, Fraksi PKS mengusulkan untuk memasukkan klausul langkah-langkah preventif terhadap kejahatan seksual. Di antaranya dengan mewajibkan kepada pemerintah untuk memerangi pornografi, peredaran ilegal narkotika, zat psikotropika, serta minuman keras sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pencegahan kejahatan seksual.
Keempat, Fraksi PKS mengajukan untuk menambahkan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi asas pertama dalam Rancangan Undang-undang tersebut. “Penting untuk menggunakan pendekatan ketaatan terhadap agama sebagai salah satu perspektif dalam pencegahan kejahatan seksual. Ketaatan terhadap ajaran agama yang dianut akan menimbulkan kesadaran hakiki seseorang untuk senantiasa berbuat baik dan menghindari perbuatan-perbuatan yang merendahkan martabat seseorang karena dianggap sebagai perbuatan dosa,” tuturnya.
Hal ini sejalan pula dengan makna filosofis sila kedua Pancasila yang dijiwai oleh sila kesatu, bahwa upaya-upaya untuk mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab dengan menentang segala perbuatan keji, jahat, tercela yang tidak mencerminkan keberadaban sebagai manusia, haruslah dijiwai oleh nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
“Sayangnya keempat poin perubahan tersebut tersebut tidak terakomodasi dalam RUU hingga pembahasan terakhir. Maka setelah menimbang dengan cermat serta mendengarkan aspirasi dari banyak pakar dan tokoh Umat, dengan tegas Fraksi PKS memutuskan menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini,” pungkas Ledia.

Sumber :  Kiblat.