OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Sabtu, 23 Maret 2019

Ekspor Sawit di Ujung Tanduk?

Ekspor Sawit di Ujung Tanduk?


Ilustrasi. (FOTO: Media Indonesia)

10Berita, KELAPA sawit merupakan salah satu komoditi unggulan yang berperan penting dalam roda perekonomian nasional. Mengapa demikian, karena hasil pengolahan kelapa sawit berupa minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) tidak hanya menyumbang devisa paling banyak di luar minyak dan gas, tapi juga menciptakan lapangan pekerjaan.

Tercatat ekspor CPO mencapai USD17,89 miliar pada 2018 dengan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 3,5 persen. Industri menyerap sedikitnya 19,5 juta pekerja, termasuk empat juta petani kecil.

Sayangnya, permintaan akan minyak sawit yang tinggi di pasar global justru menjadi bumerang. Sebab, negara produsen minyak sawit terus dirong-rong oleh negara-negara penghasil produk sejenis. Mereka melakukan berbagai upaya untuk menjatuhkan citra minyak sawit di mata dunia. Misalnya Greenpeace pernah melakukan kampanye hitam.

Selain itu, Amerika Serikat (AS) pada 2012 menolak impor CPO dari Indonesia lantaran dianggap tidak ramah lingkungan. Keputusan tersebut diambil berdasarkan hasil Notice of Data Availability (NODA) melalui lembaga perlindungan lingkungan AS yaitu US Environmental Protection Agency (USEPA atau EPA).

Lembaga tersebut menyatakan bahwa produksi kelapa sawit Indonesia tidak memenuhi ketentuan minimum 20 persen ambang batas pengurangan emisi gas rumah kaca bahan baku untuk produk biodiesel dan renewable diesel berdasarkan program Renewable Fuel Standard (RFS) yang diterapkan di AS. CPO Indonesia hanya berada pada level 11-17 persen, sehingga tidak memenuhi ketentuan RFS untuk dapat dikategorikan sebagai bahan bakar terbarukan yang efisien.

Padahal hasil perhitungan emisi yang dilakukan oleh sejumlah lembaga kredibel di Indonesia menunjukkan bahwa minyak sawit aman untuk digunakan sebagai bahan biodiesel. Bahkan penggunaan minyak sawit lebih aman dibandingkan dengan bahan penghasil minyak nabati lainnya.

Lantas apakah alasan sesungguhnya di balik kebijakan menyetop impor CPO saat itu? Ada dugaan bahwa AS ingin melindungi industri minyak nabatinya, terutama yang berbahan baku kedelai. Tindakan ini kemudian mendorong negara lain untuk ikut menolak CPO seperti Uni Eropa.

Penolakan UE tersebut berawal dari proposal mengenai undang-undang tentang penggunaan energi terbarukan yang disetujui oleh Anggota Parlemen Eropa (MEP). Salah satu kebijakannya adalah menghapus minyak kelapa sawit sebagai salah satu bahan dasar biofuel.

Menurut Parlemen Eropa penggunaan minyak sawit untuk biofuel dapat menyebabkan deforestasi. Rencana ini pun bakal disahkan pada 2030. Bila resmi berlaku maka nasib ekspor sawit tentu berada di ujung tanduk. Sebab negara-negara pengekspor sawit seperti Indonesia dan Malaysia tidak hanya dilarang mengedarkan kelapa sawit mentah tetapi juga seluruh produk turunannya.

Bagi Indonesia, Uni Eropa merupakan pasar CPO kedua terbesar setelah India. Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menunjukkan jumlah ekspor CPO ke Uni Eropa sebesar 4,78 juta ton atau sekitar 14,92 persen dari total ekspor CPO ke berbagai negara.

Untuk produk turunan sawit, ekspornya mencapai 32,02 juta ton pada 2018. Sementara ekspor ke India sebanyak 6,71 juta ton, disusul Amerika Serikat 1,21 juta, dan negara lainnya sebanyak 6,44 juta ton.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menduga larangan ekspor sawit ke Uni Eropa serupa dengan penghentian impor CPO oleh AS. UE khawatir produk nabati mereka akan kalah bersaing dengan minyak sawit. Kekhawatiran itu dibungkus dalam proteksionisme terselubung atau dengan alasan ilmiah.

Padahal hasil studi satuan tugas kelapa sawit International Union for Conservation of Nature (IUCN), kelapa sawit hanya memerlukan 0,26 hektare lahan untuk memproduksi satu ton minyak nabati. Sementara satu ton minyak biji bunga matahari membutuhkan 1,43 hektare (ha) lahan dan kacang kedelai memerlukan dua ha lahan. Dengan kata lain, diperlukan lahan sebanyak 8-9 kali lipat lebih luas dibandingkan kelapa sawit.

"Karena kalah bersaing produk mereka dari CPO. Produktivitasnya 6-12 kali. Setiap ha grepseed oil dihitung seperti apapun itu kalah," ujar Darmin pada Rabu 20 Maret 2019.

Ironinya, kalau CPO ditutup untuk kebutuhan konsumsi maupun biofuel maka Eropa tidak akan sanggup memenuhi kebutuhannya tersebut. Di sisi lain, salah satu subsektor komoditas perkebunan ini dulunya dibawa oleh orang Eropa pada masa kolonial Belanda. Tanaman ini kemudian mulai berkembang menjadi komoditas skala komersial oleh seorang warga Belgia Adrien Hallet di Deli, Pantai Timur Sumatera dan Aceh.

Industri minyak sawit Indonesia baru menggeliat pada masa orde baru lantaran pemerintahan Soeharto membuka keran izin peraturan perundangan bagi liberalisasi ekonomi. Izin tersebut kemudian membuat perkebunan sawit yang dimiliki negara melalui PT Perkebunan Nusantara bersinar. Sedangkan perkebunan petani kecil berkembang berkat dukungan dana dari Bank Dunia.

"Sawit di Indonesia dikembangkan besar-besaran di permulaan Orde Baru, dari Bank Dunia kreditnya. Kemudian dibagikan namanya KLBI. Jadi aneh sekali, kok jalan buntu ini yang dikembangkan dan dipersiapkan legalitasnya," tambah Darmin.

Serupa, Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), MP Tumanggor mengatakan embargo CPO justru merugikan industri dan masyarakat Uni Eropa. Sebab, produksi minyak nabati mereka tidak akan mampu menutup kebutuhan industri maupun rumah tangga.

Apalagi ekspor CPO RI ke Eropa selama ini rata-rata di atas tujuh juta ton per tahun. Artinya kebutuhan negara-negara Eropa akan minyak sawit cukup tinggi. Dari sisi harga, biodiesel dari hasil olahan minyak nabati UE akan jauh lebih mahal dibandingkan biodiesel minyak sawit.

"Berapa industri dan rakyat mereka akan dapat minyak nabati atau membeli biodiesel yang lebih mahal dibandingkan membeli biodiesel dari kita," ujarnya saat dihubungi Medcom.id.

Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang menambahkan ekspor sawit sedikit terdampak sejak larangan eskpor CPO digulirkan. Meski tidak signifikan, penggunaan sawit untuk konsumsi terus dikurangi oleh Eropa dengan persentase 40 persen, selebihnya digunakan sebagai biodiesel.

"Dalam beberapa tahun terakhir ini kecenderungan penurunan itu tidak terlihat signifikan tetapi kalau diteliti lebih lanjut ke Eropa penggunaan untuk makanan itu lebih sedikit, setiap tahun turun," ujar Togar saat dihubungi Medcom.id.

Hubungan RI dan Uni Eropa akan Memburuk

Hubungan antara Indonesia dan Uni Eropa sudah terjalin sejak lama, terutama dalam bidang ekonomi. Hal ini terefleksi dalam perdagangan dan investasi. Namun, kebijakan larangan ekpor CPO membuat Indonesia mengkaji ulang hubungan bilateral dengan negara-negara anggota Uni Eropa tersebut.

Bila UE bersikeras mengesahkan aturannya maka pemerintah tak mungkin lagi menempuh jalur diplomasi. Menggugat Uni Eropa ke Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body) WTO menjadi pilihan terakhir termasuk memboikot seluruh produk yang biasa dimpor dari Uni Eropa seperti pesawat, bus, dan kereta api.

Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan larangan ekspor minyak sawit bisa membuat kerja sama ekonomi antara Indonesia dengan Uni Eropa memburuk. Apalagi, Indonesia merupakan salah satu mengimpor terbesar dari Eropa khususnya moda transportasi.

"Banyak juga produk Eropa yang bisa bermasalah, seperti truk, bus pertanian, kereta api dari Polandia, kami juga banyak pesawat terbang yang diimpor dari sana," kata Luhut pada Rabu, 20 Maret 2019.

Sementara itu, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guerend menilai pemboikotan produk Uni Eropa oleh pemerintah Indonesia merupakan solusi yang merugikan bagi kedua belah pihak. Menurutnya akan lebih bijak bila Indonesia menggugat Uni Eropa ke Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body) WTO.

Gugatan tersebut merupakan solusi terbaik dalam mengatasi perselisihan terkait kebijakan Renewable Energy Derective (RED) II yang mengembargo ekspor minyak kelapa sawit. Ia pun berharap perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia dan Uni Eropa (IEU CEPA) tetap berlanjut. Sebab, investasi UE di Indonesia telah menyerap sedikitnya 1,1 miliar pekerja.

"Jika kita bisa memiliki win-win solution kenapa tidak. Rencana boikot itu saling merugikan satu sama lain. Saya pikir jika ada ketidaksepakatan dalam perdagangan, itu harus ditentang di WTO. Itu jalan yang benar. Dan kami percaya di mana pun di dunia, jika ada perselisihan dagang, itu harus diselesaikan dengan cara yang tepat yaitu WTO," ujarnya saat ditemui di Kementerian Luar Negeri, Rabu, 20 Maret 2019.

Ketua Umum Aprobi pun menilai perang boikot tak solutif alias merugikan kedua belah pihak. Di satu sisi Indonesia menjadi pangsa pasar produk moda transportasi Eropa. Di sisi lain, Indonesia membutukan impor kedelai untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan industri, khususnya tempe dan tahu.

Menurutnya pemerintah bisa mendorong konsumsi CPO dalam negeri. Untuk memperbesar pasar domestik, beberapa upaya yang dapat dilakukan di antaranya adalah peningkatan penggunaan CPO pada pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) berbahan bakar miyak sawit.

Pemerintah dapat menugaskan PLN untuk menambah penggunaan CPO menjadi tiga juta ton. Agar PLN tidak terbebani dengan program ini, BPDP-KS dapat membantu biaya untuk pilot plant, uji coba, dan perencanaan. Begitu juga jika ada selisih harga antara BBM dan BBN.

"Bagaimana secepatnya PLN bisa mengonsumsi tiga juta ton," imbuhnya.

Terlepas dari kemungkinan buruknya hubungan RI dan Uni Eropa, pemerintah menggandeng dunia usaha asal UE untuk ikut menyuarakan kekecewaan Indonesia. Sekaligus membantu proses negosiasi dan diplomasi Pemerintah RI kepada UE terkait tindakan diskriminasi ekspor sawit.

Dengan demikian, kemitraan dan persahabatan Indonesia-UE dapat terjaga, mengingat saat ini justru kedua pihak sedang berusaha memperluas dan meningkatkan hubungan melalui kerja sama Indonesia-Uni Eropa CEPA.

Sumber: Medcom.id